Bab 131

6K 17 0
                                    

Setelah selesai makan sore ini, aku pun segera kembali menuju garasi yang ada di samping perusahaan. Dengan berjalan sangat kencang, aku menarik napas panjang. Tujuan utama adalah pulang ke rumah dan akan mengajak sang cucu pertama untuk berobat ke rumah sakit. Karena sudah berjanji dan menggunakan sebuah kendaraan roda empat, akhirnya aku pun menyalakan kendaraan untuk fokus menatap depan.

Di sepanjang perjalanan, aku mendengarkan tip seraya bersenandung dan bernyanyi. Lagu-lagu yang terputar adalah tentang lagu masa lampau, pernah merajai dan menemani masa kecil. Teringat akan kisah lalu, yang kemungkinan akan menjadi sebuah kenangan. Beberapa menit di perjalanan, tibalah aku di rumah dan tampak dari depan teras kalau rumah sedang terbuka lebar. Pintunya sangat membuat aku merasa rindu.

Padahal baru beberapa menit saja meninggalkan rumah, sudah sangat ingin bertemu sang cucu yang katanya sedang sakit demam. Mendengar berita itu, isi dalam kepalaku terasa hendak pecah, di tambah lagi ketika berada di rumah aku tidak pernah melihat Pratama sakit atau pun meriang.

Anak kecil harus di ajak untuk bermain, dia juga suka dengan beradaptasi pada orangtua. Untuk usia seperti Pratama, sedang lincah-lincahnya dalam beradaptasi pada lingkungan, dan pelajaran terbaik sebagai orang tua adalah memberikan dia sebuah ucapan baik, aku tidak pandai mengurus anak, akan tetapi siapa pun yang menangis akan merasa nyaman berada dalam dekapan.

Kini sampailah aku di ruangan, terlihat di kamar kalau Reno dan Ni Ira sedang menenangkan sang cucu yang sepertinya menangis hebat. Aku pun memasuki ruangan dan menemui sang cucu pertama, lalu kami saling tatap dan aku melihat Pratama sedang di berikan baju yang panas kalau menurut aku.

Dengan cepat aku pun membukanya, dan menggendong sang cucu sambil berkeliling ruangan. Sementara Bi Ira dan Reno hanya diam melihat aku menenangkan bayi, akhirnya cucu pun diam dan dia tidak menangis lagi dalam hitungan detik saja. Seraya mengelus kepalanya, sekarang aku memberikan sentuhan pada pundaknya agar merasa sangat tenang.

"Tuan, sejak kapan datang ke rumah?" tanya Ni Ira spontan.

"Baru aja tiba kok Bi, oh ya dokter udah datang belum ke sini?" tanyaku pada si Bibi.

"Udah kok tuan, tapi tadi katanya baik-baik aja dab cuma capek aja katanya," ujar si Bibi.

"Ini adalah anak kecil, kita harus paham akan semua yang dia inginkan. Jangan memiliki pikiran yang beban-beban, anak kecil paham dengan orangtua yang punya beban banyak Reno," ujarku pada sang anak.

Reno hanya diam saja, dan dia tidak berkata sama sekali. Biasanya kalau aku sedang berkata, dia tidak mau mendengar dan selalu melawan. Setelah melihat anaknya memang nyaman padaku, tidak ada yang mampu menjawab lagi. Sentuhan seorang kakek adalah sentuhan paling nyaman seorang anak, dia paham letak kenyamanan itu baik dalam sebuah pelukan.

"Cup-cup-cup sayang ... kamu kenapa memangis terus anak baik, kamau mau ikut kakek itu nanti malam. Kita tinggal di rumah baru, biar Pratama ada yang jaga di rumah," kataku sambil menghibur sang cucu.

"Tidak perlu ayah, biarlah Pratama aku yang urus, lagian ... ini adalah tanggung jawab aku sebagai ayahnya, dan kalau dia di sana bisa membuat kalian repot nantinya," jelas Reno lagi.

"Tidak ada yang di repotkan, karena aku tidak memaksa kalau Pratama harus berbuat apa. Saat ini, kami sedang menginginkan sosok bayi dalam kehidupan. Kalau nanti Pratama sudah sembuh lagi, aku akan kembalikan dia di sini. Kau jangan menghalangi aku membawanya, bagaimana pun dia adalah cucu aku juga," paparku menjelaskan.

"Ya sudah kalau ayah mau bawa Pratama, tapi benar kalau dia sudah sembuh kembalikan ke rumah ini, mungkin dia rindu sosok sentuhan dari wanita yang di anggap sengai mama," balas Reno.

"Tetapi tidak merubah pemikiran kamu juga, kalau Julia adalah mama dari Pratama. Kalau begitu aku gak terima, soalnya dia istri aku bukan istri kamu lagi," jelasku mengomel,

Reno pun mengangguk mendengar kata-kata dariku, kemudian kami berkemas untuk membawa semua perlengkapan Pratama dan akan membawanya pergi dari rumah ini. Karena dia di sini seperti tidak betah, kemingkinan akan ada yang lebih baik kalau Julia sebagai ibu susu dari sang cucu.

Dengan di bantu oleh bibi dan Reno, sekarang sudah selesai dan terdapat di dalam sebuah tas ransel. Sedikit saja perlengkapan yang aku bawa, untuk hal penting-penting saja. Kemudian aku pun berpamitan dari rumah ini dan akan beregrak menuju tempat tinggal, yang baru dan kemungkinan sudah di tunggu oleh Julia—istriku.

"Kalau begitu aku permisi dulu Reno, kamu urus rumah ini dan taman nya. Kalau bisa, kamu juga yang pangkas. Karena aku akan berikan bonus untuk itu," kataku padanya.

"Baik ayah, semua yang ayah katakan akan aku kerjakan. Termasuk membersihkan perkarangan. Oh, ya, baik-baik jaga anak aku ya ayah, kalau dia rindu padaku secepatnya kembalikan ke sini," ucap Reno pasrah.

"Itu pasti, kamu pamitan dulu sama ayah kamu sayang ...," kataku pada sang cucu.

"Adek cepat sembuh ya tinggal sama kakek, jangan nakal di sana. Kalau udah sembuh pulang lagi ya sayang, ayah akan tunggu kamu di rumah ini, selamat jelan sayang ayah ...," kata Reno sambil mengelus kepala sang anak.

"Aku pergi, Ren, dan Bi Ira. Assalammualaikum ...," kataku.

"Wa-alaikumsallam ...," jawab mereka merespons.

Kemudian kami berdua masuk ke dalam mobil, dan dengan cepat pergi meninggalkam rumah mewah ini. Di sepanjang perjalanan, Pratama pun tidur tepat berada dalam gendongan, entah kenapa kata Bi Ira dia malah gampang menangis. Apalagi belakangan ini, suka sekali menjerit di rumah.

Kalau menurut aku, biasa saja dan sangat baik budi. Dia paham akan dekapan lelaki tulus dan tidak, sekali pun kandung pada Reno, dia juga merasakan apa yang aku rasakan. Ikatan batin di antara kami tidak akan terpisahkan, sebagai cucu dan kakeknya, sambil menatap beberapa kali, tibalah aku di depan rumah sang istri.

Kami pun segera turun dan langsung berjalan masuk membawa tas ransel, lalu aku membuka sepatu tepat du depan teras rumah. Seketika tatapan aku lempar le depan, dan dengan sangat saksama aku pun memgucapkan salam.

"Assalammualaikum ...," ucapku pada orang yang ada di rumah.

"Wa-alaikumsallam ...," jawab sang istri, lalu dia datang menemui aku dan Pratama.

Seketika Julia tercengang, melihat Pratama sudah ada dalam pelukan. Lalu dia pun menarik napas panjang, dan menyentuh pipi dari Pratama.

"Mas, kenapa Pratama di bawa ke sini, entar Mas Reno malah marah?" tanya samg istri. "Loh, kok, malah anget banget badannya gini, apakah kamu sakit sayang?"

"Iya, dia lagi sakit, dan dari tadi nangis saja di rumah, makanya aku bawa ke sini. Dengan harapan, kalau sama kamu bisa lebih nyaman dan sehat di sini. Tapi kau mau gak menerima dia?" tanyaku pada sang istri.

"Mau sayang, kenapa enggak," jawab Julia.

Bersambung ...

Kecanduan Kontol MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang