6

66 5 0
                                    

    Siang itu, mobil yang  membawa Neo dan Deve melaju dengan tenang di jalanan yang cukup lengang. Matahari bersinar cerah, menerangi pemandangan di sekitar mereka. Pepohonan yang hijau dan gedung-gedung tinggi yang berbaris rapi tampak indah di bawah sinar matahari.

Di dalam mobil, suasana terasa sesak. "Bagaimana dengan lengan mu? Apakah baik-baik saja?" Neo bertanya. Deve yang awalnya melihat keluar ke jalan menunduk sebentar, menghela nafas.

"Apa alasan mu mengajakku ke sana? Apakah menurutmu aku akan menyerah setelah melihat bagaimana mereka hidup? Apa yang kau dapatkan dengan melakukan ini? Apakah kau sudah membuat perjanjian pada orang-orang yang menginginkan ku gagal?"

Sebagai anak dari seorang wanita simpanan, Deve tahu betul bagaimana tekanan yang dia dapatkan dari Ibu Tirinya—Elis. Ditambah dengan penyakitnya, orang-orang di rumah seolah meragukan kemampuannya. Dia yakin Elis, Jonas atau bahkan Marjo sekalipun bisa melakukan hal-hal licik dibelakangnya. Dengan hadirnya Neo disisinya bahkan membuatnya lebih terbebani.

"Apa kau sungguh berpikir begitu? Bahwa aku membuka perjanjian dengan orang lain? Kau tidak begitu. Bahkan kau juga mengkhawatirkan mereka.

"Sadarlah, Neo. Dunia ini tidak berputar karena rasa kasihan."

"Lalu karena apa dunia ini berputar? Apakah karena uang? Aku tidak meminta mu untuk mengasihani mereka tapi lebih memahami mereka. Jika kau tinggal bersama, bukankah kau memahami satu sama lain? Paling tidak itu adalah tempat dimana orang menjalani kehidupannya. Kau juga berpikir begitu, Dev. Apa aku salah?" Neo tak meninggikan nada bicaranya, namun kalimatnya menggebu-gebu seolah ingin mendobrak tembok besar yang dibangun Deve.

"Hentikan mobilnya."

Di kursi depan, Pandu yang menyetir menuruti dalam diam. Menghentikan mobil di tepi jalan.

"Keluar."

"Eh?"

"Bukankah hubungan kita sebatas saling menguntungkan? Tidak perlu bersama jika tidak berguna untukku. Jadi keluarlah." Diam-diam Neo mengepalkan tangannya, membuat pintu mobil dan menutupnya dengan keras sampai Pandu berjengit dan telinganya berdengung.

Kabar bahwa Deve mengunjungi pasar langsung meledak di portal berita. Membuat kemarahan Marjo melonjak, kabar miring nya mengatakan bahwa Deve mengirim orang-orang bayaran untuk memukuli pedagang.

Sedangkan Deve berada di kantor, berbicara secara pribadi dengan seorang penasihat. "Wali kota akan hadir pada peringatan ulang tahun. Saya akan menyiapkan pertemuan pribadi dengan beliau. Ini mungkin kesempatan terakhir anda untuk bekerjasama dengan beliau."

Alih-alih mendengarkan, Deve menatap telapak tangannya, berdenyut-denyut akibat pukulan yang dia dapatkan.

"Uang tunai akan disiapkan dalam kotak apel. Direktur, apakah anda mendengarkan? Jika anda tidak berhasil bekerjasama dengan walikota, anda tidak akan bisa pulih. Anda tahu bagaimana pentingnya kontrak ini, bukan?"

Deve menegakkan tubuhnya, menghela nafas lembut. "Dengan siapa kau tidur?" Kalimat ini merujuk pada dengan siapa sebenarnya penasihat ini berpihak.

"Maaf?"

"Apakah kau sudah melakukan ini dengan kakak ipar ku?" Penasihat itu tak menjawab.

"Aku tahu betapa pentingnya kontrak ini, jadi jangan khawatir. Jika harus, aku akan meminta bantuan kakak ipar secara pribadi."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[BL] Not Me [DewNani]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang