El mematikkan sebuah korek untuk menghidupi api pada ujung rokoknya. Menyesap rasa manis itu yang membuatnya sedikit tenang. Entahlah, sepertinya ia sudah kecanduan dengan nikotin.
Berduduk santai dipagi hari, dengan segelas kopi hangat adalah kegiatan yang sangat menyenangkan. Gadis itu duduk santai di sebuah kursi rotan dengan satu kaki yang ia angkat.
Semilir angin yang berasal dari luar jendela membuat asap rokok terbang bebas kemana saja.
BRAK
Terlihat Gavar yang dengan cepat menghindar dari sebuah plesetan belati. "Wow, santai dong." Ucapnya terkejut. Telat gerak sedikit saja mungkin mata nya ini akan tertusuk belati yang dilempar Chiel.
El meliriknya tajam, "Lo yang kurang ajar. Siapa yang izinin lo masuk ke kamar gue? Langsung banting pintu gue lagi!" Aura El sangat mengintimidasi saat ini, ia tidak suka waktunya diganggu.
Dan ini kesekian kalinya, laki-laki menyebalkan itu mengganggu waktunya. Gavar hanya membalas dengan cengiran, tanpa rasa malu pemuda itu nyelonong masuk dan duduk dikasur El.
"Jangan galak galak dong, lagian masa tadi gue ditinggal sih?! Lo tega banget enggak bangunin gue. Untung ada anak lain yang ngebangunin."
El memutar bola matanya malas, ia menggeser kursinya untuk sedikit menghadap ke arah Gavar. "Mau ngapain lagi?" Tanyanya tak ingin basa basi.
Gavar berdeham pelan. "Emang enggak boleh ya main sama tetangga sendiri?"
El mendengus kasar, sudah muak dengan tingkah laku Gavar. "Mau minjem uang lagi?" Tebaknya yang tepat sasaran. Gavar tersenyum kikuk sembari menggaruk tengkuknya. Kok udah tau sih...
"Terakhir ini aja, El." Pinta Gavar dengan wajah memelasnya. Ia sudah tidak tahu meminta pertolongan kepada siapa.
Sementara Chiel menghela napas berat, entah sudah berapa kali ia meminjamkan uang pada Gavar. Entahlah, jika tidak ditolong pun lelaki itu akan terus mengganggunya.
"Utang kemaren aja belom lo lunasin." Balas El dengan malas. Saat Gavar ingin menjawab, El terlebih dulu memotongnya. "Duit gue pas-pasan, kebutuhan gue juga banyak, lo jangan kebiasaan minjem mulu dong! Cari duit sendiri kek,"
Gavar memajukan bibirnya sekilas. "Gue udah cari duit sendiri, El. Tapi tetep aja duitnya kurang."
El memutar bola matanya malas. "Ya lo jangan boros makanya!" Sewot gadis itu yang sudah kesal dibuatnya. Ia hanya ingin bersantai, tetapi ada saja makhluk pengganggu.
Gavar menumpukan kedua tangannya dan berjongkok di bawah kaki gadis itu. "Plis, El. Minjem buat bayar sewa aja kok! Secepatnya bakal gue ganti."
Halah omongan klasik!
Dengan ogah-ogahan, El mengambil dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang untuk meminjamkannya kepada Gavar. "Paling lama minggu depan harus udah keganti." Ingatnya kepada Gavar.
Senyum pemuda itupun terukir lebar. Dengan rasa yang amat senangnya, ia refleks memeluk tubuh El dengan riang.
Bugh
Gavar mengaduh kesakitan saat tubuhnya terlempar begitu saja menabrak tembok. Perutnya terasa sangat sakit akibat terkena bogeman. Siapa lagi pelakunya jika bukan Archiel?
"Duh, perut gue serasa mau keluar El isi-isinya." Adu Gavar dengan sorot mata yang kesakitan. Baru saja tadi malam ia kena berbagai hujaman, sekarang ditambah lagi.
Itulah kenangan terakhir Gavar untuk pertemuan mereka, kini lelaki itu sudah beranjak 17 tahun. Tangannya memegang ponsel yang memperlihatkan foto El saat ia memotretnya diam diam.
Tok tok tok
"GAVAR, AYO SARAPANN!!"
Gavar menoleh ke arah pintu dan langsung berjalan untuk membukanya. Ia tersenyum kecil ketika melihat seorang gadis berseragam yang sama sedang tersenyum manis menyapanya.
"Pagii!"
Tangan Gavar terangkat untuk mengacak-acak rambut gadis itu. "Udah disini aja, Na."
Nagia memberenggut, ia menghentakkan kakinya kesal. "Rambut aku udah rapih, jangan diacakin lagi dong!" Protesnya. Sedangkan Gavar terkekeh gemas melihatnya.
"Iya-iya. Maaf," Ucapnya dengan tangan yang merapihkan kembali rambut gadis tersebut.
Melihat Nagia masih saja cemberut, Gavar menarik lengannya. "Ayo, sarapan. Ngambeknya nanti lagi aja."
Lelaki itu menuruni tangga dengan menggandeng lengan Nagia. "Waduh masih pagi udah mesra mesraan." Goda Sang Mami dengan senyuman jahil.
Mami dan Papinya itu sudah duduk santai di atas kursi. Meja makan mereka sudah penuh dengan berbagai macam lauk.
"Sarapan dulu yuk, abis itu baru kalian berangkat sekolah." Ucap Mami yang sedang menyendokkan nasi ke piring suaminya.
"Gimana sekolah kamu, Gav?" Tanya sang Papi kepada anak tunggalnya itu. Sedangkan Gavar hanya mengedikkan bahunya santai. "Biasa aja sih."
Papi menggelengkan kepalanya pelan. "Dari dulu enggak ada yang berubah." Ujarnya melihat kelakuan sang anak. Sementara istrinya hanya tertawa pelan, sudah memaklumi itu.
"Kamu juga makan yang banyak ya, cantik."
"Hehe, siap Mam!" Balas Nagia dengan acungan jempol. Entah bagaimana hubungan antara Gia dan keluarga Gavar, yang pasti mereka sangat dekat. Hingga orangtua Gavar pun sudah menganggap Nagia seperti anak kandung sendiri.
Mereka berdua seringkali berangkat dan pulang sekolah bersama. Bahkan di sekolah pun mereka seringkali bersama. Tak sedikit orang yang menganggap status mereka berpacaran.
Nagia makan dengan sangat lahap, ia sangat menyukai masakan dari Maminya Gavar. Benar-benar tidak bisa diragukan lagi rasanya! Mungkin jika Mami mengikuti audisi MasterChef, Nagia yakin beliau akan menjadi sang Juara.
Gavar geleng-geleng kepala dibuatnya, ia mengambil tissue dan mengelap saus yang menempel pada sudut bibir Nagia. "Pelan aja, masih banyak waktu." Tegur Gavar dengan lembut.
Sementara Mami dan Papinya hanya saling lirik, sudah biasa dipertunjukkan pemandangan uwu ini. Huh, seperti mereka yang jadi pasutri!
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
LENGKARA
Teen Fiction𝐋𝐢𝐧𝐠𝐤𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐠𝐞𝐥𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐭𝐢𝐚𝐝𝐚 𝐚𝐤𝐡𝐢𝐫. 𝘛𝘦𝘯𝘨𝘨𝘦𝘭𝘢𝘮 𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘭𝘢𝘮 𝘓𝘢𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘳𝘢𝘮 𝘈𝘬𝘢𝘯𝘬𝘢𝘩 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘬𝘢𝘳𝘢𝘮? 𝘔𝘦𝘯𝘨𝘪𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘵𝘢𝘬𝘥𝘪𝘳 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘮 Ini kisah...