15. confess

39 13 0
                                    

Hujan telah usai, kini hanya menyisakan rintik-rintik kecil dan angin dingin yang mampu membuat tubuh menggigil. Tapi dingin yang dicipta oleh hujan samar terasa karena tangan Kahill yang sedang membungkus tangan Laras terasa begitu hangat, tapi anehnya gadis itu tetap membeku dan kaku. Lidahnya kelu, tak tahu respon apa yang harus Laras utarakan atas tanya yang dilontarkan oleh Kahill beberapa menit yang lalu.

Laras merasa, kalau apa yang barusan dia dengar hanyalah suara dalam kepalanya yang terdengar begitu nyata.

"Ras!" panggilan Kahill menyadarkan Laras dari lamunan. Gadis itu gugup, hanya mampu mengedipkan mata beberapa kali dan menatap Kahill bingung. "Kok diam?"

"Kamu jangan bercanda deh!"

Respon yang membuat Kahill kecewa. Lelaki itu menghela napas panjang, melepas genggamannya pada Laras. Tapi setelah itu, dia melepas jaket yang melekat pada dirinya dan menyampirkannya di bahu Laras.

"Katanya cinta itu bukan permainan tebak-tebakan, giliran ditanya malah dibilang bercanda."

"Jadi... yang barusan itu beneran?"

"Gak dijawab sekarang juga gak apa-apa, kok."

Laras mengalihkan pandangan, dia merapatkan jaket Kahill yang kini membungkus tubuhnya. Hangat merambat menuju pipinya, dada Laras mulai berdebar. Dia tak mau menyia-nyiakan hal yang sudah dia tunggu ribuan hari, tapi dia tak tahu harus merespon seperti apa. Sebagian dari dirinya masih meragukan kenyataan yang barusan terjadi.

Dering ponsel Laras mengalihkan pikirannya, nama Tirta terpampang jelas di layar. Satu kali tekan, suara Tirta datang menyapa telinga Laras.

"Pulang! Udah ditungguin bapak di depan pintu, tuh!"

Panggilan itu tak berlangsung lama, bahkan sebelum Laras sempat menjawab Tirta sudah mengakhiri panggilan secara sepihak. Wajah bingung Laras berubah was-was dan dari raut itu Kahill bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

°°°

Suasana setelah hujan tak pernah terasa semenyeramkan malam itu. Dingin yang datang terasa amat menusuk, ditambah dengan debaran gelisah yang mereka rasakan sepanjang jalan membuat malam mereka terasa makin mencekam.

Karena jalanan basah, Kahill tak berani mengendarai motornya dengan cepat. Meski sedang berpacu dengan waktu, ada nyawa lain yang harus dia lindungi. Kahill lebih siap dimarahi habis-habisan daripada dia harus mencelakai anak orang.

Begitu sampai, apa yang Tirta sampaikan melalui telepon benar. Bapak sedang duduk di teras ditemani kopi hitam di atas meja. Laras turun dari motor Kahill dan melihat bapak dengan takut.

"Pak!" Sapa Laras sambil melepas helm dari kepalanya. Pria setengah baya itu tak mengatakan apapun, hanya melihat mereka berdua yang sedang berdiri kaku di halaman rumah.

Kahill dan Laras masih berdiri mematung ketika bapak berdiri dengan gelas kopi dalam genggamannya. "Lain kali, kalau udah tau mau hujan buru-buru pulang!" ujar bapak sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah.

"Udah? Gitu aja?" Kahill berujar lega. Seketika tubuhnya terasa ringan, semua beban berat meluap dalam satu detik. Untungnya semua kemungkinan yang ada di kepalanya tak menjadi nyata. Ribuan alasan yang sudah dia siapkan sepanjang jalan telah hilang dalam kepala, lelaki itu bernapas lega.

I'll Be Friend's With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang