Pepatah Itu Benar

29 5 0
                                    

⋆˚࿔ Tinta Pertama Untuknya 𝜗𝜚˚⋆

Assalamu'alaikum! Hallo guys, selamat datang di cerita pertama Bblueuphoria. Saya selaku author sangat berterimakasih kalian ingin membaca cerita ini! Harap-harap para pembaca bisa menikmati dan menyukainya!

Jangan lupa bantu vote dan comments sebagai penyemangat author 💌
Selamat membaca!

Jangan lupa bantu vote dan comments sebagai penyemangat author 💌Selamat membaca!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🪐🪐🪐🪐🪐

Dulu Adipa mentertawakan orang yang percaya dunia itu sempit dan sekarang dirinya termakan ketidakpercayaan sendiri karena ia mulai mengalami kalimat tersebut. Adipa tidak menduga kala ia tengah menghubungi teman lamanya—Daffa Naransyah Wistara—sosok gadis cantik yang pagi tadi ia temui ternyata satu sekolah dengan Daffa.

Entah kenapa garis pipi Adipa terangkat sebab senyumnya. Sesuatu menariknya untuk merasakan senang.

"Adipa," panggil dari wanita paruh baya namun masih memiliki kulit kencang layaknya masih muda. Wanita tersebut ialah orang paling Adipa sayangi. Bundanya, Hani.

"Kenapa, Bun?"

"Kamu sudah tentukan mau sekolah dimana?" Hani memasuki kamar putra tunggalnya, "kalau belum juga, Bunda sama Ayah yang daftarkan kamu ke pilihan kami."

"Adipa udah nentuin mau dimana." Senyum Adipa semakin mengembang dan itu menimbulkan pertanyaan di benak Hani, senyuman anaknya tampak berbeda.

"Dimana nak?"

"Adipa mau satu sekolah sama Daffa."

••••••

Jalannya pelan seraya menatap sekitar, sekiranya ada yang menarik perhatian. Walaupun daerah sana sudah ratusan lebih ia lewati. Namun tetap menyenangkan setiap menapakkan kaki pada jalanan aspal tersebut.

Lagipula rute nya memudahkan Aira untuk membeli bahan-bahan dapur yang sudah habis. Seperti saat ini, ia sedang melabuh di toko kelontong.

"Eee cah ayu! Arep tuku opo saiki nduk?" Ibu penjual buah-buahan menyapa Aira.

(Eh anak cantik! Mau beli apa sekarang nak? *Nduk untuk anak perempuan*)

"Ajeng tumbas tempe sami telur, Budhe," balas Aira ramah, "monggo, Budhe."

(Mau beli tempe sama telur)

"Ya ya manis! Silahkan dilanjut belanja nya." Ibu tersebut tertawa ramah.

Aira ikut terkekeh kemudian lanjut keliling. Aira tidak pernah mengeluh terlambat pulang karena harus belanja sebab ia bisa bertemu banyak orang-orang baik di sini yang banyak juga memberi nya pelajaran hidup.

Seluruh penjual di sana mengenal Aira sebab gadis itu sering belanja di sana sejak ia masih SMP. Tidak ada yang tidak menyukai Aira. Selain mereka yang memberi pelajaran hidup, Aira pun sama halnya. Melihat semangat dan ceria dari seorang anak tanpa Ibu, menjadi gambaran untuk mereka agar tetap semangat berjualan.

Tinta Pertama Untuknya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang