Sinar matahari pagi menyapa Dikara lewat celah jendela kamarnya. Meski sang surya sudah menampakkan diri dan menyapa Dikara, namun sang pemilik kamar begitu enggan untuk bangun dari tempat tidur nya.Kebetulan hari ini dia tidak memiliki mata kuliah pagi, karena itu dia bisa melanjutkan tidur nya di pagi hari. Apalagi semalam dia pulang begitu larut. setelah perdebatan dengan sang ayah tadi malam dengan sang ayah, dia akan pulang ke rumah larut malam dan jika weekend pun dia akan pergi pagi-pagi dan lebih memilih menghabiskan waktu nya di studio musik, menenangkan pikiran nya.
Pukul 9 akhirnya Dia bangun dari tempat tidur, Dikara langsung menuju kamar mandi untuk bersiap-siap ke kampus.
Sedangkan di dapur, Aria baru saja membereskan meja makan setelah sarapan pagi bersama sang suami. Saat membereskan sarapannya, dia langsung teringat sang putra yang belum keluar dari kamar. Awalnya dia ingin ke lantai atas untuk membangun kan Dikara, tapi dia ingat jika belum membuat sarapan untuk sang putra.
Aria hanya membuat sarapan simple untuk sang putra, dia hanya membuat sandwich dan susu karena Dikara juga tidak begitu suka sarapan dengan yang berat-berat.
Setelah sarapan jadi, Aria langsung membawa nya ke lantai dua kamar Dikara. Sampai di depan pintu kamar sang putra, dia mengetuk pintu dengan sedikit kesusahan karena membawa nampan berisi sarapan Dikara.
" Nak, Ini mama sayang." Ucap Aria sambil mengetuk pintu kamar Dikara.
Tanpa menunggu lama, pintu kamar Dikara langsung terbuka menampakkan diri dari balik pintu. Saat mendengar suara sang ibu, Dikara langsung buru-buru membukakan pintu. Untung nya dia sudah berpakaian rapih.
" Mama!" Dikara terkejut saat melihat sang ibu membawa nampan berisikan sarapan.
" Kenapa repot-repot di bawa ke sini sih," Ujar nya langsung mengambil nampan yang berada di tangan Aria.
" Mama gak merasa di repotkan, kok. Justru mama seneng." Balas Aria sambil tersenyum. Dikara membuang nafas perlahan setelah mendengar kata-kata sang ibu, dia hanya takut Aria kecapean apalagi kamarnya berada di lantai atas.
Dikara dan Aria berjalan bersama memasuki kamar. Dikara langsung menaruh nampan tersebut di atas nakas samping tempat tidur.
" Di makan dulu sarapannya, mumpung susunya masih hangat." Pinta Aria, Dikara pun menuruti perintah sang ibu.
Dia menjatuhkan pantat nya di bibir tempat tidur untuk memakan sarapannya, Dikara begitu menikmati sarapan yang di buat oleh sang ibu.
Aria tersenyum saat melihat Dikara memakan sarapan nya dengan lahap, dia jarang sekali melihat dikara makan. Karena sang putra lebih memilih sarapan di luar di bandingkan satu meja makan dengan Ayah nya. Tapi Aria memaklumi itu, dia tahu sang putra hanya menghindari perdebatan dengan Arkatama.
" Dika selalu suka apapun yang mama buat," Katanya sambil tersenyum ke arah sang ibu.
" Makanya jangan sarapan dan makan di luar terus, katanya suka masakan mama tapi kamu gak pernah makan di rumah," Ujar Aria sendu.
" Maaf ma, mama tau kan alasan Dika?" Dikara menaruh sandwich yang sedang di pegang kemudian langsung mengenggam kedua tangan sang ibu.
" Nak," Aria menatap manik mata Dikara dengan intens. Melihat kedua mata sang putra membuat dia ingat, dia tidak tahu kpn terakhir kali Dikara menangis. Ah ya! Terakhir kali dia melihat sang putra menangis saat alat musik kesukaannya di hancurkan oleh Arkatama dan saat itu Dikara berumur 8 tahun.
" Ada apa, ma? Kenapa mama menatap Dika seperti itu?" Tanya nya.
" Maafin mama belum bisa merubah sikap papa kamu," Ujar Aria sambil mengusap kepala Dikara.
" Mama kenapa sih, kenapa jadi minta maaf. Semua ini bukan salah mama." Protes Dikara.
Dikara menghela nafas secara perlahan, sepertinya sang ibu masih memikirkan perdebatan nya dengan sang ayah malam itu.
" Ma, Dika sudah berusaha mengikhlaskan semua yang terjadi di kehidupan dika, jika papa membenci Dika karena tidak suka dengan impian dan cita-cita ku, itu berarti memang takdir dikara seperti itu," Ucap Dikara dengan bijak dan tutur kata yang lemah lembut.
Mendengar kata-kata Dikara membuat dirinya semakin bersalah dan sedih. Kenapa suaminya begitu membenci putranya sendiri hanya karena impian dan cita-cita Dikara menginginkan sang suami pada masa kecilnya.
Aria terdiam sejenak, ada hal yang ingin dia ceritakan pada sang putra. Tapi dia sedikit ragu untuk menceritakan semuanya, dia takut Dikara kecewa saat mendengar semuanya. Sepertinya, memang sudah saatnya sang putra tau apa yg membuat Arkatama membenci Dikara saat bermain piano, dia juga tidak suka Dikara menjadi pianis terkenal.
" Nak, ada yang ingin mama ceritakan sama kamu. Tapi mama harap setelah mendengar semua cerita ini, kamu tidak membenci papa kamu." Ucap Aria menatap sang putra, Dikara melihat raut wajah sang ibu. Sepertinya cerita kali ini begitu serius dan penting.
Aria menceritakan semuanya pada sang putra, tentang Arkatama yang begitu membenci Dikara. Sebenarnya, bukan Dikara lah yang dia benci, tapi cita-cita sang putra yang membuat luka lamanya kembali bangkit dan karena itu juga membuat dia begitu marah.
Dikara mendengar semua yang di cerita sang ibu dengan serius, sesekali tangan nya terkepal karena menahan amarah. Wajar bukan? Jika dia marah karena alasan sang ayah membenci dirinya.
Bagaimana bisa, semua kekecewaan dan rasa amarah sang ayah di lampiaskan pada dirinya yang tidak tau apa-apa. Menurut nya semua ini terlalu kekanak-kanakan, harusnya sang ayah belajar mengikhlaskan semuanya. Toh, semua itu sudah berlalu.
Tapi di sisi lain, dia juga merasakan kesedihan yang di rasakan sang ayah. Karena dia juga tengah mengalami nya, bedanya jika sang ayah hanya pasrah dan mengikuti keegoisan kedua orang tuanya. Tapi tidak dengar dirinya, dia justru melawan dan tetap mempertahankan apa yang menjadi kesukaannya dan cita-cita nya.
Dikara tertawa sumbang, lebih tepatnya dia menertawakan dirinya sendiri. Aria yang melihat dikara tertawa pun ikut khawatir dan sedih. Tawa itu mengandung kekecewaan, bukan tawa bahagia.
" Kenapa harus Dikara yang jadi pelampiasan nya?" Lirih Dikara. Aria langsung menarik sang putra kedalam pelukanya.
Dikara memeluk sang ibu dengan erat, hatinya sesak setelah mendengar semuanya. Tapi sayang nya, dia tidak bisa menangis karena air matanya sudah habis di masa kecilnya yang penuh luka.
" Mama jangan nangis, Dikara gak papa kok." Ucap nya sambil tersenyum. Dikara langsung menyeka air mata sang ibu.
" Maafin mama baru menceritakan semuanya," Ujar Aria.
" Mama jangan khawatir, ya. Dikara gak akan benci papa kok, meski setelah tau semua ini."
" Terimakasih, nak." Ujar Aria sambil meneteskan airmata.
Setelah mendengarkan semua cerita dari sang ibu, Dikara memutuskan untuk pamit pergi ke kampus.
" Kalau gitu, Dika berangkat ke kampus ya ma." Pamitnya sambil mencium punggung tangan sang ibu.
Aria menjawabnya dengan anggukan, dia tahu samg putra pasti butuh waktu untuk menerima semua cerita ini.
Sebenarnya itu semua hanyalah alasan Dikara, karena dia ingin segera pergi dan menangkan hati dan pikiran nya.
*****

KAMU SEDANG MEMBACA
DIKARA MELODY
Random" sakit pa!, " Dikara kecil meraung memohon agar ARKATAMA menghentikan semuanya. Namun sayangnya, Arkatama mengabaikan raungan sang anak. Dia melirik sekilas ke arah Dikara kemudian matanya mengarah ke alat yg sangat dia benci. Jika Arkatama membe...