Diary Book 2

1 0 0
                                    

Sepulang dari perjalanan mereka hari ini, Zea dan Rayn merasa lelah namun bahagia. Ketika sampai di kerajaan, mereka jalan sembari tertawa akan hal yang mereka bicarakan sebelumnya. 

"Ih kaka bisa aja wkkwkw."

"Lah bukan salah kaka yaa." 

"Sudah jalan-jalan nya?" Tanya Raja yang baru saja keluar dari kamar. 

"Sudah.." Jawab Zea senang. 

"Rayn, sini. Ayah ingin bicara." Ucap Raja dengan nada yang sedikit tegas.

"Iya yah, kamu masuk kamar dulu aja ze." Minta Rayn pada Zea. 

Zea merasa aneh namun mengikuti apa yang diminta kakanya itu. 

Lumayan lama berbincang, Zea mendengar bahwa pintu kamar Rayn terbuka. Buru-buru ia menyusul Rayn ke kamarnya. 

"Kak, ayah bilang apa?" Tanya Zea pada Rayn yang telah terduduk di kursi miliknya. 

"Besok ada perang, kaka yang pimpin."

Zea sudah menyangka hal ini akan terjadi. 

"Kaka pergi lagi dong, jangan lah kak. Zea masih kangen kaka." Ucap nya seolah air matanya akan keluar sebentar lagi. 

"Kaka harus pergi Ze.. Kaka usahain gak lama kok ya.. Sebenernya kaka juga capek Ze, cuman ini musuh yang bikin kakek moyang kita kebunuh. Kaka pen balesin dendamnya kakek."

"Hmm yauda kaka istirahat ya.." ujar Zea lesu dan berjalan ke kamarnya. 

"Mau bobo sini?" Tawar Rayn.

"Mauuuu." Jawabnya memutar badan menghadap Rayn sambil tersenyum. 

Keesokan paginya, Rayn sudah bersiap sementara Zea masih baru menegakkan badannya di atas kasur milik Rayn. 

"Buru-buru banget." 

"Biar gak lama aja, biar bisa cepet pulang." Ucap Rayn sembari menaikkan kedua alisnya menghadap Zea. 

Rayn lalu keluar kamar dan langsung buru-buru turun ke bawah karena semua prajurit sudah bersiap begitu pula dengan kuda milik Rayn. 

"Semua sudah siap? Persenjataan dan lain-lain?" Tany Rayn pada pengawal pribadinya. 

"Sudah pangeran." 

Tepat sebelum Rayn menaiki kuda miliknya, Zea menghampirinya dengan berlari dan langsung memeluk Rayn.

"Zea masih kangen kaka. Kaka cepet pulang ya..." Ujar sembari menangis.

"Cup cup cup, iya kaka cepet berangkat supaya cepet pulang ya..." Jawab Rayn menenangkan sambil mengelus punggung Zea. 

"Zea ikut aja ya.. Biar bisa sama kaka terus."

"Jangan Ze, bahaya ini. Udah ya, kaka berangkat dulu. Titip jagain ayah ibu ya.." Ucap Rayn mencium puncak kepala Zea dan memeluknya erat. 

"Iya, cepet pulang kak." Jawabnya sembari melerai pelukan mereka. 

"Josh, jaga kakakku." Lanjutnya. 

Josh, pengawal pribadi Rayn mengangguk tanda menyetujui. 

Akhirnya, Rayn, Josh, dan semua prajurit pergi meninggalkan istana. Sementara Zea masih saja menangis. Lala menghampiri Zea dan mengajaknya masuk ke dalam kerajaan, namun ia menolak. 

"Putri, ingin berkeliling istana?" Ajak Rey. 

"Tidak." Tolaknya. 

Zea lalu masuk ke dalam kerajaan dengan sendirinya lalu berjalan menuju kursi ya berada di taman belakang. Ia duduk dan merebahkan punggungnya di sana. 

"Kenapa aku harus terlahir sebagai seorang putri yang punya kaka seorang pangeran. Aku tidak bisa menjalani kehidupan ku layaknya seorang rakyat yang dapat hidup terus bersama dengan orang yang dicintainya." Monolognya. 

"Sabar Ze.. Nih minum." Ucap Rey yang mendekat. 

"Hm."

Rey menemani Zea di sana. Setelah beberapa saat, Zea lalu pergi ke dalam istana, masuk ke kamar. 

Beberapa hari setelahnya Zea sudah mulai ceria seperti biasanya, dan pada suatu malam ia memandangi pantulan dirinya di kaca dan bermonolog.

"Kapan Kaka Rayn pulang? Lama banget ga balik-balik." Ujarnya sebelum ia memutuskan untuk tidur. 

Keesokan paginya, Zea sedang berkumpul bersama sang raja dan juga ratu di ruang keluarga. Bercerita serta bersenda gurau, tiba-tiba salah seorang prajurit masuk. 

Zea memiliki firsasat yang buruk, namun ia menghapus perasaan itu. 

"Permisi, mohon maaf mengganggu tuan."

"Iya ada apa?" Tanya Raja.

"Ini paduka." 

Prajurit itu memberikan gulungan kertas berwarna putih kusam kepada sang raja. Raja, Ratu, serta Zea membaca dengan seksama hingga tanpa sadar ada air mata yang metes dari mata mereka. 

"Ceritakan." Ujar Zea. 

"Saya akui lawan kali ini memang berat. Di hari kedua saja 1/4 tentara kita telah terbunuh. Akhirnya pangeran mengubah strategi dan beliau meminta pendapat saya. Saya sudah memperingatkan pangeran akan segala hal buruk yang dapat terjadi. Namun, pangeran tetap bersikukuh menggunakan strategi miliknya dengan alasan untuk membalaskan dengan kakeknya. Ayah anda, tuan."

"Ketika peperangan berlangsung, saya selalu berada tepat di belakang pangeran. Saya berhasil mengawal pangeran hingga tepat berhadapan dengan pemimpin lawan. Dengan sekali tusukan saja, pemimpin dari lawan tersebut sudah jatuh dan mati. Saya pun meneriakkan kemenangan." Lanjutnya, namun ia tiba-tiba terdiam.

"Lanjutkan! Jangan diam!" Tanya Zea terisak dan mulai frustasi karena sudah memiliki firasat akan hal akan diucapkan oleh prajuritnya itu. 

"Ketika saya sedang meneriakkan kemenangan, tiba-tiba saja pangeran berteriak kesakitan. Saat saya menoleh, pangeran hampir jatuh dari kudanya. Saya langsung menangkap tubuh pangeran dan membawanya ke atas kuda saya. Sekali lagi saya meneriakkan kemenangan untuk membawa kembali pasukan ke tempat peristirahatan. Segera saya memberitahukan kondisi yang terjadi dan bergegas kembali ke istana." Ujarnya dengan berat hati.

"Kakak.." Lirih Zea.

"Saya sudah memanah orang yang membunuh pangeran. Sa-" Jelas prajurit tersebut namun terpotong oleh Zea. 

"Kakak dimana?"

"Ada di lantai bawah."

Tanpa pamit, Zea segera berlalu menuruni anak tangga untuk menemui kakaknya tercinta. 

Zea melihat tubuh kakaknya yang telah dibersihkan dan telah dibaringkan untuk siap dikubur. Tubuh tetap nan kekar itu saat ini terbaring dengan lemah. Kulit putih dan halus itu kini dipenuhi dengan beberapa sayatan dan ada pula luka yang cukup parah. 

Zea tidak sanggup melihatnya, ia langsung menangis dan memeluk kakaknya dengan keras. 

Raja dan Ratu yang baru saja sampai di lantai bawah menghampiri Zea dan mengelus punggung anak keduanya itu. 

Tak sanggup melihat wajah sang kakak, Zea segera berlari menuju kamar dan menguncinya.

Tok Tok Tok

"Siapa?" 

"Lala, putri." 

"Masuk."

Lala selaku asisten pribadinya kemudian masuk dan menghampiri sang putri. 

"Aku turut berduka cita putri atas kematian pangeran." Ucapnya sedih.

"Kenapa harus secepat ini? Kenapa?!" Ujarnya tidak terima. 

"Zea gak bisa tanpa kaka. Sakit La..." Lanjut sang putri masih dengan tangisan yang hebat. 

Lala tidak bisa menjawab pertanyaan sang putri, yang ia lakukan hanya mengelus punggung Zea dan ikut menangis. Lala tau seberapa dekat dan sayangnya sang putri terhadap sang pangeran. Maka itu, Lala ikut menangis karena tau seberapa sakit perasaan putri saat ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

That DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang