00:00:07

51 1 7
                                    

Dinar turun dari angkot. Memasuki gang sempet nan gelap. Berjalan cukup jauh dari jalan besar menuju tempat yang masih banyak pepohonan dan rumah-rumah warga berjauhan.

Akhirnya tempat tujuannya tiba, ia mengelus perutnya, menyakinkan diri menghilangkan sesuatu diperutnya.

Ketika hendak membuka pagar.

"Jangan bunuh dia. Jangan tambah dosa lo dengan bunuh anak lo sendiri. Cukup memfitnah, jangan ngebunuh." Suara seseorang menghentikan gerakannya.

Dinar berbalik badan, dibelakangnya ada Lunar dan Daniello.

Mereka berdua memang sengaja mengikuti Dinar sejak tadi tanpa sepengetahuannya.

"Ngomong apa sih lo? Jangan ngaco. Ini rumah gue," kilah Dinar yang dengan gampang Lunar tebak, gadis itu dilanda gugup.

"Main lo kurang rapih. Ini rumah Mbok Darsih, dukun beranak terkenal yang bisa bantuin melahirkan dan gugurin anak. Pilihannya cuma dua itu."

"Lo kalo gak mau ketahuan, carinya yang jauh. Jangan sekitaran daerah rumah gue." Lunar tersenyum sinis buat Dinar terintimidasi.

Tanpa di duga Dinar bersimpuh di kaki Lunar seraya menangis.

Gadis itu mencoba menghindar, tapi kakinya dipegangi.

"Nar, gue mohon sama lo jangan kasih tau soal ini ke siapa pun," mohon Dinar.

"gue masih pengen sekolah," sambungnya dengan mudahnya mengatakan itu bikin gigi Lunar bergemeletuk menahan emosi.

"Emang cuma lo yang pengen sekolah! GUE JUGA!" jerit Lunar yang langsung Daniello tenangkan. "Ngomongannya pelan-pelan, Nar. Udah malem gak enak kalo kedengaran warga."

Lunar melepaskan pegangan tangan Dinar pada kakinya. Berjalan mundur lalu berjongkok, meremas rambutnya frustasi.

Merendam emosi yang sangat ia ingin luapkan.

"Kenapa lo ngelakuin ini sama gue dan Kak Daniello?" geram Lunar.

Daniello menyandarkan punggungnya ke tembok. Sejak dirumah Ambar, ia menahan diri agar kepalan tinjunya tidak melayang.

Lunar memukul-mukul dadanya. "Sekarang gue gak ada harga dirinya, Din! Kehilangan masa depan, kehilangan kepercayaan orangtua itu semua gara-gara ulah lo dan Barra! Kenapa gue yang harus menanggung kesalahan lo berdua?"

Dinar tidak menjawab, terus menangis. Sikapnya yang seolah-olah korban membuat Lunar muak. Padahal dirinya pelaku.

"Lo punya hati gak, sih, Din? Tenang hidup lo setelah fitnah gue sama Lunar? Tidur nyenyak setelah melimpahkan semuanya sama kita?" Daniello bersuara.

Lagi-lagi Dinar hanya geming.

Setelah kejadian ini kepercayaan Lunar pada orang menurun drastis.

Orang-orang terdekatnya mengkhianatinya, dimulai Alam, Ambar, sekarang Dinar. Padahal awalnya Lunar mengira Dinar itu baik. Tapi ternyata salah.

Traumanya oleh beberapa oknum tapi trust issuenya sama semua orang.

Pantas aja ada kata-kata. Jangan  percaya pada siapapun. Bayanganmu saja meninggalkanmu di kegelapan.

Akhirnya Lunar mengerti artinya.

Kebungkaman Dinar akhirnya pecah. "Maaf."

Lunar berdecih. "Lo berharap apa dengan minta maaf? Gue maafin? Sakit dibales maaf itu gak adil!"

"Maaf," lirih Dinar lagi.

"Gue gak butuh minta maaf lo! Yang gue butuh lo ngaku ke semua orang kalo divideo itu lo bukan gue!" sentak Lunar.

00:00:30Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang