Arina terus mencari informasi tentang peninggalan kuno tersebut seorang diri. Remi yang tak kunjung memberi kabar membuat Arina memilih untuk memulai terlebih dahulu seorang diri. Ia tahu jika Remi butuh diyakinkan tentang masa lalu mereka dan pencarian peninggalan kuno.
Yang pertama Arina lakukan adalah mengunjungi perpustakaan besar di kota, ia bertemu dengan sejarawan ternama, dan menelusuri berbagai tempat bersejarah yang pernah disebutkan dalam buku kuno itu. Namun, setiap usaha yang dilakukannya seakan-akan tidak membuahkan hasil yang berarti.
“Kalau begini, bagaimana caranya aku bisa meyakinkan Remi?” keluh Arina dan melihat daftar perpustakaan terakhir yang harus ia kunjungi.
“Tidak Arina, kau harus semangat dan buktikan pada Remi bahwa semua benar. Semangat!” ucap Arina menyemangati diri. Arina pun memasuki perpustakaan nasional.
Setelah berkeliling mencari sesuatu yang berguna, akhirnya Arina menemukan petunjuk yang menarik perhatian. Sebuah catatan kuno menyebutkan tentang sebuah kuil tersembunyi di pegunungan Utara yang konon menyimpan artefak berharga dari zaman kerajaan Eldoria.
“Eldoria ... akhirnya aku menemukanmu. Remi pasti akan langsung percaya,” ucap Arina dengan senyuman percaya diri. Dengan segera, Arina menghubungi Remi.
“Ya,” jawab Remi dengan malas. Ia sedang berada di kantornya menyelesaikan pekerjaannya.
“Remi, aku menemukan sesuatu. Kuil tersembunyi di pegunungan Utara. Kita harus pergi ke sana,” ucap Arina penuh semangat.
“Apa? Untuk apa kita ke sana?”
“Peninggalan kuno yang kita cari-cari ada di sana. Aku menemukan sebuah petunjuk setelah mencarinya di hampir semua perpustakaan besar. Dan aku berhasil menemukannya. Kita bertemu di kafe dekat kantormu satu jam lagi. Oke?” jelas Arina dan dengan semangat memutuskan untuk bertemu langsung dengan Remi.
“Baiklah, aku akan menemuimu di sana,” ucap Remi dengan keraguan yang masih meliputinya.
Sepulang kerja, Remi mendatangi kafe yang dimaksud oleh Arina. Rupanya Arina sudah berada di sana dan menyapa Remi dengan senyuman lebarnya.
“Remi!” sapa Arina. Remi berjalan pelan dan duduk di depan Arina dengan malas.
“Lihatlah ini,” ucap Arina menunjukkan buku yang dimaksud olehnya. Tapu Remi tampak tidak antusias.
“Ah apa kau mau pesan kopi dulu? Aku lupa memesankan kopi untukmu,” ucap Arina lagi dan bersiap untuk memesan. Tapi Remi menahannya.
“Arina, bagaimana kau bisa begitu yakin?” tanya Remi, masih tampak ragu.
“Aku tidak sepenuhnya yakin, Remi. Tapi ini adalah petunjuk terbaik yang kita miliki sejauh ini. Kita harus mencobanya,” jawab Arina tegas.
“Tapi tempat itu di mana? Aku bahkan masih harus bekerja dan tidak bisa cuti lama-lama,” tanya Remi mencoba untuk membatalkan rencana Arina.
“Aku sudah mencari tahu, kita hanya perlu pergi besok sabtu dan pulang hari minggu. Kau kan tidak perlu ambil cuti karena libur,” ucap Arina sudah memperhitungankan semuanya.
Remi terdiam tidak bisa membantah dan akhirnya menyetujui rencana Arina.
Hari sabtu, akhirnya mereka berangkat ke pegunungan Utara, mengikuti petunjuk yang ada di catatan kuno tersebut. Perjalanan mereka penuh tantangan, melewati hutan lebat dan medan yang berat. Di tengah perjalanan, keraguan Remi semakin kuat, terutama ketika mereka menghadapi rintangan yang tampaknya tidak mungkin dilewati.
“Arina, aku tidak yakin kita bisa melakukannya. Mungkin kita seharusnya berhenti di sini,” ucap Remi saat mereka berhenti untuk istirahat di sebuah lereng curam.
“Kita tidak bisa menyerah sekarang, Remi. Ingat apa yang kita perjuangkan. Ingat siapa kita,” jawab Arina sambil menatap Remi dengan mata penuh keyakinan.
“Ini terlalu berat, kita sudah berjalan setengah hari dan belum menemukan apa-apa. Apa kau yakin tempatnya di sini?”
“Kita harus yakin, jika tidak maka perjuangan kita sampai detik ini akan sia-sia. Jangan menyerah, percayalah padaku,” ucap Arina masih dengan pendiriannya. Tapi Remi hanya mendesah dan terus meminta untuk berhenti.
Perdebatan mereka semakin memanas. Remi merasa frustasi dan ingin berhenti, sedangkan Arina tetap teguh dengan keyakinannya. Namun, di tengah perselisihan mereka, tiba-tiba muncul seberkas cahaya aneh dari kejauhan. Cahaya itu tampak berasal dari sebuah gua yang tersembunyi di antara tebing-tebing curam.
“Apa itu?” tanya Arina dan berjalan lebih jauh untuk mendekati sumber cahaya itu.
“Lihat, Remi. Itu mungkin petunjuknya,” ucap Arina sambil menunjuk ke arah cahaya tersebut.
Remi terdiam sejenak, ia menatap cahaya yang berkilau-kilau mengenai matanya. Lalu akhirnya mengangguk.
“Baiklah. Kita coba satu kali lagi,” ucap Remi dan Arina tampak senang lalu mengulurkan tangannya meminta untuk bergandengan tangan. Remi sempat ragu, tapi ia tidak tega melihat kelelahan yang terpancar dari wajah Arina yang telah disembunyikannya sejak tadi.
Remi pun menyambut tangan Arina dan keduanya berjalan mendekati gua tersebut dengan hati-hati. Di dalam gua, mereka menemukan sebuah altar kuno dengan ukiran yang mirip dengan simbol yang ada di buku kuno Arina.
“Woah ... apa ini? Apa tidak ada satu orang pun yang pernah datang ke sini?” tanya Remi takjub dengan apa yang mereka temukan di dalam gua.
Di atas altar tersebut, terdapat sebuah peti kecil yang terlihat sangat tua.
“Sepertinya aku melihat sesuatu,” ucap Arina dan mencoba menggapai peti tersebut. Namun, jangkauannya terlalu tinggi dan membuat Remi datang untuk membantu.
Saat berhasil mendapatkan peti itu, Arina berbalik dengan senang dan tidak sengaja menatap wajah Remi yang berjarak dekat dengannya. Keduanya tampak gugup dengan deru napas yang semakin cepat.
Tentu saja, rasa itu masih ada dalam diri keduanya. Namun, perbedaan keyakinan membuat mereka melupakan perasaan yang terpendam dalam. Remi yang tersadar pertama kali dan berjalan mundur perlahan. Arina menghela napas lega dan mengambil peti yang ada di tangan Remi.
Arina membuka peti itu dengan hati-hati. Keduanya tampak penasaran dan juga gugup bersamaan. Tak bisa membayangkan apa yang ada di dalamnya. Arina berhasil membuka peti itu, di dalamnya Arina menemukan sebuah artefak berkilau, sebuah cincin dengan batu permata yang memancarkan cahaya magis.
“Ini dia, Remi. Ini peninggalan kuno yang kita cari,” ucap Arina dengan mata berbinar-binar. Ia hampir menangis merasakan kebahagiaan yang tak pernah bisa Arina bayangkan sebelumnya.
Sementara Remi menatap cincin itu dengan penuh keheranan.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang dengan cincin ini? Aku merasa seperti ada sesuatu yang menarikku ke dalam cincin itu,” tanya Remi lebih penasaran dengan kegunaan dari cincin itu.
“Aku juga merasakan hal yang sama, seolah-olah sesuatu menarikku pada suasana yang tidak asing. Sesuatu yang telah lama hilang, tapi aku tidak ingin melepaskannya kembali. Kita harus mempelajari cara menggunakan artefak ini untuk melawan musuh kita. Ini hanya permulaan, Remi. Perjalanan kita masih panjang,” jawab Arina sambil menggenggam cincin itu erat.
Remi mengangguk, merasa beban di pundaknya sedikit berkurang. Meskipun keraguan masih ada, melihat keyakinan dan tekad Arina membuatnya merasa lebih siap untuk menghadapi tantangan yang ada di depan mereka. Mereka keluar dari gua dengan harapan baru, siap untuk melanjutkan petualangan mereka demi menyelamatkan dunia dari ancaman yang mengintai.
“Sebaiknya kita pulang sekarang, hari sudah gelap,” ucap Remi dan mengulurkan tangannya. Arina menatapnya dengan tidak percaya. Namun, ia tersenyum kecil dan menerima uluran tangan Remi.
Keduanya pun berjalan keluar dari gua dengan perasaan yang mulai hangat. Keyakinan yang sempat berpecah belah kini mulai menyatu dan akan menguatkan keduanya melawan ancaman dari musuh yang entah kapan akan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arina dan Pangeran Edric: Petualangan Cinta dan Pemberontakan
RomanceKau menciumku, memberiku cinta, hasrat dan kegembiraan. Namun sebentar saja, semuanya pergi dan kau pun berlalu. *** Dalam bayang-bayang masa lalu yang terus berpendar, Remi dan Arina menemukan diri mereka terikat oleh takdir yang berlangsung lebih...