1300 Tahun Menunggu

44 0 0
                                    

Remi mengucapkan kata-kata perpisahan dengan ragu, sambil berharap Arina dapat merasakan ucapan terima kasih yang tulus darinya. Namun, wajah Arina tiba-tiba terlihat murung, menunjukkan ekspresi yang sulit dipahami. Remi merasa kebingungan, tidak yakin bagaimana cara menanggapi perubahan suasana hati tiba-tiba ini.

"Kenapa diam?" tanya Remi dengan lembut, mencoba mengorek lebih dalam untuk memahami perasaan Arina.

Namun, Arina tetap bungkam, hanya memandang majalah di tangannya tanpa sepatah kata pun. Remi merasa semakin tidak nyaman dengan keheningan ini.

"Aku kehilangan dompetku. Semuanya hilang, KTP, SIM, ATM, semuanya..." ucap Remi, berusaha untuk mengalihkan perhatian mereka dari suasana yang tegang.

Arina menoleh padanya dengan ekspresi bingung. Remi mencoba menyemangatinya dengan humor ringan, mengetuk lembut pahanya yang sedang bersila di sampingnya.

"Aku sendirian, nih. Di sini... kamu tidak senang?" lanjut Remi, berharap bisa mengurangi ketegangan di antara mereka.

"Hmmm..." Arina hanya mampu menjawab singkat, membuat Remi semakin bingung. Remi merasa perlu untuk menjelaskan perasaannya.

"Aku senang sekali, Arina. Kamu anak yang baik dan ramah. Rasanya kita sudah kenal lama," ucap Remi dengan jujur, berharap dapat meredakan ketegangan di antara mereka.

"Bukan begitu. Kamu tahu posisiku," jawab Arina tanpa menatapnya, terus fokus pada majalah di hadapannya.

Remi merasa semakin kebingungan. Ia merasa ada sesuatu yang tidak terungkap di balik kata-kata Arina. Sebelum Remi bisa mengungkapkan lebih lanjut, Arina memutuskan untuk mengakhiri keheningan dengan pertanyaan tiba-tiba.

"Kalau kamu pulang... Apa kita akan melompat lagi?" tanyanya, mencoba menyelesaikan sesuatu yang tak tersentuh di antara mereka.

"Tentu saja, jika takdir mempertemukan kita lagi," jawab Remi mantap, merasakan kecocokan dan kehangatan di antara mereka.

Arina meletakkan majalahnya dengan kasar di lantai, lalu berlalu cepat menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Remi tersadar akan kebingungannya.

"Aduh, Maaaak... Kenapa semuanya jadi rumit begini?" gumam Remi sendiri, memikirkan berbagai kemungkinan yang ada.

Remi merasa tidak mungkin untuk pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal yang layak kepada Arina. Ia merasa berhutang budi padanya atas bantuan dan keramahan yang telah diberikan.

Lalu, pikiran Remi beralih pada situasi finansialnya yang sulit. Ia tidak memiliki cukup uang untuk kembali ke rumahnya sendiri, dan kehilangan dompet semakin mempersulit semuanya.

Tidak ada suara yang terdengar dari dalam kamar. Remi ingin memasuki kamar itu, tetapi merasa enggan. Mereka baru mengenal satu sama lain kurang dari 24 jam. Siapa sebenarnya Arina, dan mengapa Remi merasa terdampar di sini?

Malam itu, ingatannya kembali pada momen ciuman mereka semalam. Semuanya terasa seperti mimpi, terlalu cepat dan intens untuk dipahami. Mereka belum membahasnya sejak pagi, dan Remi merasa perlu untuk membuka percakapan itu.

Dengan beraninya, Remi mendekati pintu kamar Arina. Ia mengetuk dengan lembut, meskipun pintu itu masih sedikit terbuka, Remi tidak ingin sembarang masuk.

"Arina..." panggil Remi dengan suara lembut, berharap mendapatkan respons darinya.

Namun tidak ada jawaban.

"Arina... maafkan aku. Aku tidak bermaksud tidak mengucapkan terima kasih," lanjut Remi, merasa kesepian dalam keheningan.

Tunggu sebentar, ada suara dari dalam. Kepala Arina muncul setengah, membuat Remi merasa lega.

"Arina... maafkan aku," ucap Remi lagi, mencoba untuk menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh.

"Kamu tidak salah apa-apa," jawab Arina dengan senyum, mencoba untuk menenangkan keadaan. "Kamu bisa pulang, kamu bisa menjalani hidupmu sendiri. Dan begitu juga aku."

Remi hanya bisa diam. Ada bara hangat di dalam dadanya, namun juga rasa takut yang tidak diketahui. Ia takut untuk meninggalkan Arina, meskipun ia tidak tahu apa arti dari perasaan yang mereka rasakan.

"Bagaimana kalau aku merindukanmu?" tanya Arina, tiba-tiba mengungkapkan perasaannya.

Remi membayangkan momen ketika Arina memeluknya, hangatnya pelukan itu menghangatkan tubuhnya. Remi merasa haru, meskipun tidak tahu mengapa. Tidak ada kepura-puraan dalam kata-katanya, atau dalam pelukannya. Sekali lagi, mereka berpelukan, dan Remi merasa seolah-olah dia pernah merasakannya sebelumnya, di masa lalu yang jauh.

Arina menatapnya dengan tajam, matanya menembus hati Remi. Remi bisa merasakan nafas hangatnya di wajahnya.

"Kau tahu, sudah tiga belas ribu tahun aku menunggumu?" ucap Arina, membuat Remi terkejut.

Remi terdiam, tidak bisa menemukan kata-kata untuk menjawabnya. Tiga belas ribu tahun? Apa yang Arina maksudkan dengan itu?

Arina dan Pangeran Edric: Petualangan Cinta dan PemberontakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang