Handuk Mandi dan Tawa Genitnya

100 0 0
                                    

Pagi itu, Remi dan Arina terbangun dengan tubuh saling berpelukan di depan ruang TV. Hanya beralaskan kasur tipis dan berbagi satu bantal yang sama, mereka terbaring dalam kehangatan kebersamaan. Remi merasa kikuk sebenarnya, tetapi kenangan obrolan panjang malam sebelumnya—perkenalan tentang usia, sekolah, pekerjaan, dan hal-hal pribadi lainnya—membuatnya merasa nyaman. Mereka mengantuk menjelang pagi dan tertidur bersama, Arina memeluk Remi dan ia membalasnya.

Ketika Remi bangun, jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih tiga puluh lima. "Sial!" pikirnya, menyadari betapa terlambatnya ia bangun. Namun, ia tak tega membangunkan Arina yang masih tertidur lelap.

Dengan hati-hati, Remi menyeret badannya ke kamar mandi. Ritual bangun tidur diselesaikannya di toilet sambil merenung banyak hal. Mengingat ciuman manis mereka sebelum tidur tadi, gelak tawa Arina yang masih terasa di telinga, dan hangat pelukan mereka yang tak juga hilang. Semuanya terasa seperti mimpi indah yang sukar dipercaya.

Remi mandi dengan sabun cair di kamar mandi. Ia membilas rambutnya dengan sampo yang harum. Arina ternyata punya selera aroma yang bagus—aroma mawar dari sabun yang sempat dihirupnya dari tubuh Arina, dan sampo beraroma lavender yang menenangkan sekali.

Ketika akan menggosok gigi, Remi baru sadar ini bukan kamar mandinya. Ternyata, tas mandinya tertinggal di tas punggung. "Duh... bahkan aku tidak bawa handuk," pikirnya panik. Ia mendengar suara air direbus dari dapur, tampaknya Arina sedang memasak air. Remi ingin keluar, tapi tidak mungkin. Mau memanggil Arina, tapi tidak enak rasanya. Namun, mau tidak mau, Remi harus meminta bantuan.

"Remi... ada handuk?" Tiba-tiba, suara Arina terdengar dari luar.

Duh... kok dia tahu aku butuh handuk ya. "Nggak, Arina. Aku bingung mau keringkan badan..." jawab Remi dengan suara agak keras.

"Hahaha... kamu itu lo. Minta bantuan donk!" Arina tertawa.

"Hehehe... aku merepotkan terus," jawab Remi malu-malu.

Arina memanggil lagi namanya dan mengantarkan handuk untuknya. "Ini handuknya...". Waduh, bagaimana ini? Bagaimana aku keluar dan mengambilnya? Remi berpikir keras. Kalau ia memakai baju lalu keluar, sama saja bohong. Ia bingung dan tidak tahu harus bagaimana.

"Remi... kamu masih hidup? Ini handuknya."

"Iya... masih belum mati."

"Kirain kamu masuk jamban?"

"Aku nggak pakai baju, Arina."

"Loh... kamu kalau mandi biasa pakai baju?"

"Maksudnya...."

"Udah buka pintunya."

"Aku malu."

"Hahaha.... ya nggak usah keluar. Gimana sih?"

Remi membuka sedikit pintu dan mengulurkan tangannya. Namun, handuk tidak kunjung mendekat. Ia menggapai-gapai, hasilnya nihil. "Arina?? Kamu masih hidup?"

Terdengar suara Arina cekikikan... lalu Remi akhirnya merasakan handuk di tangannya. Begitu ia menarik, handuknya terasa berat. "Arina.... jangan bercanda. Aku kedinginan," keluhnya. Kembali terdengar cekikan Arina, lalu handuk terasa ringan. Segera, Remi menutup pintu dan mengusap tubuhnya dengan handuk.

Remi merasa ceroboh. Baju ganti masih di tas. Ia nyelonong masuk kamar mandi tanpa persiapan. Kini ia harus keluar hanya dengan handuk terlilit di sebagian bawah badannya. Arina mungkin akan tertawa melihatnya, tapi bagaimana lagi. Remi keluar saja.

Arina sedang mengaduk cangkir di dapur. Aroma kopi menguar, memenuhi ruangan. Ia menoleh dan tertawa lagi saat melihat Remi. Remi berlari kecil menuju tas di pojok sofa, kebingungan berikutnya adalah... di mana ia harus mengganti baju?

Remi ingat semalam, ia mengganti baju di ruang tengah ketika Arina masuk kamar. "Ketika kuminta Arina masuk kamar," pikirnya sambil tersenyum malu. "Ia malah tertawa lagi." Akhirnya, dengan langkah berat, Remi berjalan ke kamar mandi, menutup pintu dan mengganti baju di dalam.

Setelah keluar dari kamar mandi, Remi mendapati secangkir kopi sudah terhidang di meja. Arina menawarinya kopi. "Aku mandi dulu ya..." ucapnya sambil nyengir genit menggoda.

Remi hanya mengangguk dan menggeleng sambil tersenyum. "Arina... Arina... anak ini kalau genit bikin pusing juga," pikirnya.

Sementara Arina mandi, Remi duduk di sofa dan menyeruput kopi. Pikiran tentang kejadian malam tadi dan pagi ini terus berputar di kepalanya. Ada perasaan aneh yang semakin kuat mengikat hatinya kepada Arina. Namun, ia juga tahu bahwa mereka baru saja bertemu dan masih banyak yang perlu dipahami tentang perasaan ini.

Arina keluar dari kamar mandi dengan wajah segar. "Kamu kelihatan lebih baik setelah mandi," katanya sambil tersenyum.

"Terima kasih," jawab Remi, "Kopi ini enak sekali."

Arina duduk di sebelah Remi, mengambil secangkir kopi untuk dirinya. Mereka terdiam sejenak, menikmati kehangatan kopi dan kebersamaan. Namun, di dalam hati, Remi tahu bahwa ada banyak pertanyaan yang belum terjawab, banyak hal yang belum terungkap. Ia ingin tahu lebih banyak tentang Arina, tentang perasaan yang aneh ini, tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Remi," panggil Arina tiba-tiba, "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan nanti, setelah kita sarapan."

Remi menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Apa itu?"

Arina tersenyum kecil, menyesap kopinya. "Nanti saja. Sekarang kita nikmati dulu sarapan kita."

Dengan perasaan yang campur aduk, Remi setuju. Mereka menikmati sarapan sederhana yang disiapkan Arina, sambil terus bertukar cerita dan tawa. Di antara canda dan obrolan ringan, Remi merasakan ada sesuatu yang mendalam dan serius yang ingin disampaikan Arina. Sesuatu yang membuatnya semakin penasaran dan tidak sabar menunggu.

Setelah sarapan, mereka kembali duduk di sofa. Arina terlihat sedikit gugup, namun ia berusaha tetap tenang. "Remi, ada sesuatu yang ingin aku ceritakan tentang diriku," katanya akhirnya.

Remi mendengarkan dengan penuh perhatian. "Apa itu, Arina?"

Arina menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Sejak kecil, aku sering merasa ada sesuatu yang aneh dalam hidupku. Aku sering bermimpi tentang tempat-tempat dan orang-orang yang tidak pernah aku kenal, tapi terasa sangat akrab. Dan sejak bertemu denganmu, perasaan itu semakin kuat."

Remi terdiam, merenungkan kata-kata Arina. "Aku juga merasakan hal yang sama, Arina. Seolah-olah kita sudah saling mengenal sejak lama."

Arina menatap mata Remi dengan serius. "Aku percaya bahwa kita mungkin terhubung oleh sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Mungkin ada alasan mengapa kita dipertemukan."

Remi merasa hatinya berdebar. "Apa maksudmu?"

"Saya tidak tahu pasti, tapi saya merasa kita harus mencari tahu bersama," jawab Arina dengan mantap. "Mungkin kita bisa memulai dengan berbagi cerita tentang mimpi-mimpi kita dan mencoba mencari tahu apa artinya."

Remi mengangguk setuju. "Aku setuju, Arina. Mari kita cari tahu bersama."

Mereka duduk berdampingan di sofa, berbagi cerita tentang mimpi-mimpi dan perasaan-perasaan aneh yang mereka alami. Semakin lama mereka berbicara, semakin kuat perasaan bahwa mereka memang terhubung oleh sesuatu yang tak terlihat namun sangat nyata.

Di luar, langit mulai cerah, menandakan datangnya fajar. Hujan telah reda sepenuhnya, meninggalkan aroma segar dan bersih di udara. Di dalam apartemen kecil itu, Remi dan Arina duduk berdampingan, membiarkan diri mereka tenggelam dalam kebersamaan dan kebahagiaan yang baru mereka temukan.

Namun, di balik senyum dan tawa, ada sebuah rasa penasaran yang tak terelakkan. Apa sebenarnya yang menghubungkan mereka? Apa makna dari mimpi-mimpi aneh yang mereka alami? Dan bagaimana masa lalu mereka bisa begitu terkait erat dengan masa kini? Dengan perasaan yang campur aduk dan tekad untuk mencari jawaban, Remi dan Arina memulai perjalanan mereka, sebuah perjalanan yang penuh misteri dan kemungkinan yang tak terduga.

Di dalam hatinya, Remi tahu bahwa ini baru permulaan. Dan apapun yang terjadi, mereka akan menghadapi semuanya bersama, dengan harapan dan keyakinan bahwa jawaban dari semua pertanyaan ini akan membawa mereka pada sebuah kebenaran yang mendalam dan mungkin, sebuah cinta yang abadi.

Arina dan Pangeran Edric: Petualangan Cinta dan PemberontakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang