Ciuman dan Rindu Perkenalan

155 0 0
                                    

Apakah cinta bisa datang tanpa disengaja? Kalau iya, apakah cinta bisa hilang begitu saja tanpa disengaja?

Malam kian larut dan tidak terasa sudah dua film mereka habiskan bersama. Remi merasa lelah setelah seharian berkeliling untuk menyelesaikan pekerjaannya. Namun, Arina masih terlihat segar bugar, tanpa sedikit pun tanda-tanda mengantuk.

"Sudah dua film. Masih mau nambah?" tanya Remi mencoba basa basi.

"Satu lagi yuk. Tanggung, masih belum ngantuk. Baru juga jam 2. Aku susah tidur," jawab Arina dengan wajah memelas yang membuat Remi tak berdaya menolaknya. Padahal, jam sembilan nanti ia harus ke halte dan menuju terminal untuk kembali ke rumah. Namun, karena Arina sudah baik padanya, Remi memutuskan untuk mengalah sebagai tanda terima kasih.

"Iya... nggak apa-apa. Mau horror lagi atau komedi?" tanya Remi.

"Jangaaaan. Tadi serem banget... aku tambah nggak bisa tidur nanti," jawab Arina dengan suara sedikit gemetar.

"Ya sudah. Terserah aja. Emang ada film baru?" tanya Remi lagi.

Arina memintanya menunggu sebentar dan berlari kecil ke arah kamar. Remi memperhatikan gerak tubuhnya yang gemulai saat melangkah. "Indah sekali orang ini," pikirnya.

Tak lama kemudian, Arina kembali dengan DVD di tangannya dan menyerahkannya kepada Remi untuk diputar. Remi menunduk di bawah TV, memasukkan CD ke dalam pemutar, sementara Arina masih sibuk membaca sinopsis dan mengamati sampul DVD itu. Begitu Remi menekan tombol play, ia mundur dan merebahkan badannya. Namun, ia terkejut saat merasakan punggungnya menyentuh tubuh Arina yang masih berdiri di belakangnya.

"Astaga... maaf maaf... aku kira..." Remi tergagap.

Arina menepuk pundaknya. "Udah. Nggak apa-apa. Aku tadi salah menempatkan diri," katanya lempeng. "Kamu ngantuk ya? Kita nggak perlu nonton kalau kamu capek."

Ketika Remi menoleh dan ingin membalikkan badannya, ia mendapati wajah Arina sangat dekat dengannya. Mereka begitu dekat hingga Remi bisa merasakan hangat napas Arina menerpa wajahnya. Arina tersenyum lagi, senyum yang ramah dan menenangkan.

"Terima kasih ya. Malam ini tempat ini tidak sepi seperti biasanya," kata Arina dengan lembut.

Remi merasa bingung dengan ekspresinya. "Aku dong yang justru berterima kasih karena sudah dibantu dan ditampung," jawabnya tulus.

Arina tersenyum. Remi bisa merasakan kehangatan hawa tubuhnya yang begitu dekat. Ia mengagumi wajah Arina yang selalu ramah dan baik. Arina baik sekali. Betapa beruntungnya ia malam ini.

Jarak di antara mereka semakin dekat, tak lebih dari sejengkal. Arina mendekatkan wajahnya, dan sebelum Remi sempat berpikir lebih jauh, bibir Arina yang hangat menempel di bibirnya. Dalam beberapa detik, mereka diam, terkejut dengan apa yang terjadi. Namun, dalam sekejap berikutnya, bibir mereka sudah saling mengagut. Remi merasakan manis dan hangat lidah Arina di lidahnya, dan mendengar denting gigi mereka yang beradu.

Darah berdesir di punggungnya. Entah kenapa mereka seperti sepasang kekasih yang lama sekali terpisahkan. Di luar, hujan mulai reda, tetapi di dalam apartemen kecil itu, mereka tenggelam dalam ciuman bisu, dalam sebuah perkenalan dan rindu yang ganjil.

Remi tidak tahu kenapa ini terjadi. Ada yang aneh dari dirinya. Mungkin dari diri mereka berdua. Setiap kali Arina pergi, entah ke dapur atau kamar mandi, atau bahkan hanya hilang di belakangnya, Remi merasa rindu. Ia seolah pernah mengenal Arina, pernah dekat dengannya... dulu. Tapi kapan? Remi tidak tahu. Perasaan ini begitu kuat, seakan-akan mereka telah berbagi kenangan yang lebih dalam daripada yang bisa dijelaskan oleh pertemuan singkat mereka.

Malam itu terus berlanjut dengan percakapan yang semakin dalam, menggali perasaan-perasaan yang selama ini terpendam. Arina dan Remi menemukan kenyamanan dan kehangatan dalam kebersamaan mereka, membiarkan malam itu menjadi milik mereka, penuh dengan keakraban dan janji-janji yang belum terucapkan.

Di tengah percakapan, Arina mengajak Remi untuk duduk lebih dekat dengannya di sofa. "Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan," katanya dengan suara lembut.

Remi menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Apa itu?"

Arina tersenyum kecil, terlihat agak ragu, namun akhirnya berkata, "Aku merasa seperti kita pernah bertemu sebelumnya, di tempat yang jauh berbeda. Seperti ada sesuatu yang menghubungkan kita dari masa lalu."

Remi terdiam sejenak, meresapi kata-kata Arina. "Aku juga merasakan hal yang sama," jawabnya akhirnya. "Seolah-olah kita sudah saling mengenal sejak lama."

Mereka duduk dalam keheningan, merenungkan apa yang baru saja mereka ungkapkan. Rasa nyaman dan akrab di antara mereka semakin terasa, membuat mereka semakin yakin bahwa pertemuan ini bukanlah sekadar kebetulan.

Setelah beberapa saat, Arina bangkit dan berjalan menuju jendela. "Lihatlah," katanya sambil menunjuk ke luar. "Hujan sudah reda. Udara segar sekali."

Remi mengikuti Arina ke jendela, melihat tetesan air yang masih menempel di kaca. Udara malam yang segar masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Mereka berdiri berdampingan, menikmati momen kebersamaan itu.

"Remi, apakah kau percaya pada takdir?" tanya Arina tiba-tiba.

Remi terdiam sejenak sebelum menjawab. "Aku tidak tahu. Mungkin. Mungkin ada sesuatu yang mengarahkan kita ke tempat dan waktu tertentu, seperti malam ini."

Arina mengangguk pelan. "Aku merasa seperti ini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Seolah-olah kita dipertemukan kembali untuk alasan yang belum kita pahami."

Remi merasakan getaran aneh di dalam hatinya. Ia tidak bisa menjelaskan perasaan itu, namun ia tahu bahwa apa yang mereka alami malam itu lebih dari sekadar pertemuan biasa. Ada sesuatu yang dalam dan kuat, sesuatu yang menghubungkan mereka di luar batas waktu dan ruang.

Malam semakin larut, namun Remi dan Arina terus berbicara, menggali lebih dalam perasaan dan kenangan mereka. Mereka berbagi cerita tentang masa lalu, mimpi, dan harapan, menemukan bahwa mereka memiliki lebih banyak kesamaan daripada yang mereka duga.

Sesekali, mereka tertawa bersama, mengenang momen-momen lucu dalam hidup mereka. Di saat-saat lain, mereka terdiam, menikmati keheningan yang nyaman, membiarkan suara malam menjadi latar belakang percakapan mereka.

Arina tiba-tiba meraih tangan Remi, menggenggamnya erat. "Remi, aku merasa sangat bahagia malam ini. Terima kasih telah bersamaku."

Remi merasakan kehangatan di hatinya. "Aku juga, Arina. Terima kasih telah menerimaku di sini. Aku merasa kita telah menemukan sesuatu yang berharga malam ini."

Mereka duduk kembali di sofa, tangan mereka masih saling menggenggam. Remi merasakan perasaan hangat dan damai yang jarang ia rasakan. Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi awal dari sesuatu yang indah dan bermakna.

Di luar, langit mulai cerah, menandakan datangnya fajar. Hujan telah reda sepenuhnya, meninggalkan aroma segar dan bersih di udara. Di dalam apartemen kecil itu, Remi dan Arina duduk berdampingan, membiarkan diri mereka tenggelam dalam kehangatan dan kebahagiaan yang baru mereka temukan.

Namun, dalam keheningan yang menggantung, sebuah pertanyaan terlintas di benak Remi. "Apakah perasaan ini nyata, ataukah hanya ilusi yang diciptakan oleh kesendirian dan kebetulan?" Dengan keraguan yang menggelayuti pikirannya, Remi memandang Arina, menyadari bahwa meski malam ini terasa begitu sempurna, perjalanan mereka baru saja dimulai. Di depan mereka, terbentang jalan panjang penuh misteri dan kemungkinan yang belum terungkap, seakan mengundang mereka untuk terus melangkah dan menemukan jawaban bersama.

Arina dan Pangeran Edric: Petualangan Cinta dan PemberontakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang