Chapter 00

37 6 0
                                    

Langit malam di kota itu terasa dingin dan tanpa bintang, seolah-olah semesta meresapi ketegangan yang sedang terjadi di atas gedung pencakar langit tertinggi di pusat kota. Angin berhembus kencang, menggoyangkan rambut lebat seseorang yang berdiri di tepi lantai seratus enam puluh lima. Lantai itu tidak memiliki balkon karena ditakutkan akan ada yang melompat dari sana. Orang itu memandang ke bawah, melihat cahaya lampu kota yang berkilauan seperti bintang-bintang yang hilang di langit.

Seorang remaja berusia tujuh belas tahun dengan rambut tebal yang tertiup angin, mata yang biasanya penuh keceriaan kini dipenuhi dengan ketakutan dan kebingungan. Tubuh ramping orang itu gemetar hebat, tangan kanannya yang apik berpegangan pada tembok kaca yang telah pecah tengahnya, darahnya sedikit menetes. Keringat dingin membasahi dahinya, meski angin malam terus berhembus. Kaki-kakinya yang kurus bergetar, hampir tak mampu menopang tubuhnya yang lemah.

Sebuah suara mengerikan memecahkan keheningan malam dari belakang orang itu. "Lompat, atau orang-orang bodoh berhargamu disini akan mati," kata seorang pria dengan nada yang dingin dan penuh ancaman. Wajahnya tersembunyi di balik gelapnya ruangan, hanya matanya yang tampak bersinar dengan kegilaan. Orang itu tau betul identitas si pria yang mengancamnya.

Ia memejamkan mata, mencoba menahan air mata yang menggenang. Di benaknya, terbayang wajah orang-orang yang paling berarti dalam hidupnya: keluarganya yang selalu mendukung, dan sahabat-sahabatnya yang sudah menemani dirinya hingga detik ini. Bayangan mereka memberikan kekuatan sekaligus menambah beban di pundaknya. Dirinya merasa seperti sedang melayang di ambang keputusan yang mengerikan.

Angin malam terasa semakin kencang, seolah-olah mendorongnya untuk membuat keputusan. Dalam kepanikannya, orang itu ingat pesan dari seseorang, "Ketika kamu merasa paling lemah, itulah saat kamu harus paling kuat." Kata-kata itu terngiang di telinganya, memberikan secercah keberanian di tengah kegelapan. Ia membuka mata dan menatap ke depan, melihat pemandangan kota yang seolah mengingatkannya akan kehidupan yang masih ingin dia perjuangkan. Dengan napas yang dalam, dia berusaha mengumpulkan keberaniannya.

"Aku akan lompat," katanya dengan suara yang lebih tegas, meski hatinya masih berdebar kencang.

Sahabat-sahabatnya yang terluka parah dan terkapar lemah tidak jauh dari orang itu terus berteriak mencoba menghentikan tindakan orang yang paling berharga bagi mereka. Kepala orang itu mendangak menatap bulan sabit yang tidak seterang biasanya, ia menghirup panjang udara malam untuk terakhir kalinya.

"Aku menyayangi kalian"

Darah pekat mengalir, membuat jalan berwarna abu menjadi merah gelap. Tubuhnya sudah tidak tersusun, terpecah belah di atas aspal yang dingin. Suara jeritan sahabat-sahabatnya masih menggema di udara yang kelam. Seseorang yang paling berharga bagi mereka telah meninggal karena loncat dari gedung lantai 165.

~~~

hay hay selamat datang di cerita pertamaku. berhubung aku masi pemula, kritik n saran dari kalian sangat dibutuhkan.
so... silahkan komen ya apapun terserah kalian! ditunggu!🩵🩵

LILAC : Till The EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang