[7]. Setan sialan.

322 30 1
                                    

Sulit untuk di percayai. Namun, harus di percayai. Pertunangan adalah hal yang seharusnya membahagiakan, karena dengan itu bisa terikat, sebelum mengucapkan janji suci diatas altar.

Tepat pukul dua dini hari. Seorang pemuda berdiri di balkon. Lengan bertopangan pada pembatas, manik hitam gelapnya menatap kosong bangunan tinggi jauh disana. Jari mengimpit satu benda berbahan nikotin, rokok. Rambut acak acakan, kancing tuxedo ia lepaskan.

Asap rokok mengguar mengikuti arah angin. Erick kembali menyebat rokoknya, entah sudah berapa bungkus rokok yang anak itu habiskan. Bahkan sekujur badannya sudah seperti orang habis mandi asap, bau rokok semua.

Menghela nafas berat. Erick melemparkan ngasal puntungan rokok barusan. Angin semakin berdesik kencang, membuat bulu kuduk seakan akan berdiri. Bintik bintik merah kecil timbul pada leher jenjangnya. Namun, di abaikan.

Berbalik. Langkah kecil di ambil oleh Erick untuk menuju kedalam kamar. Setibanya di dalam, ia mengambil ponsel di nakas. Duduk di tepi ranjang, dirinya lantas menyalakan ponsel yang sengaja ia nonaktifkan.

Baru saja menyala. Erick lantas menatap ponselnya dengan tatapan sulit di artikan. Memindahkan ponselnya ketangan kanan, Erick menunjukkan punggung tangan kiri, dimana di salah satu jari terdapat cincin terampit sempurna. Merebahkan diri, ia kembali memfokuskan diri pada foto yang terpapang di lockscreen HP nya.

"Sampai kapanpun hanya kamu yang akan selalu ada di hati kecil ini." lirihnya pelan. Mengusap wajah manis lelaki di foto tersebut.

Sudah seperti orang gila. Erick terus mengusap layar ponselnya, wajah sentiasa datar. Namun, mata tajam setajam ujung pisau itu berkaca kaca dan siap tunpah kapan saja.

"I'm sorry. And, i love you, Sea."

Memejamkan mata perlahan. Setelah terpejam sempurna, setetes buliran halus terjatuh ke dekat telinga. Ponsel menyala menampilkan foto di letakan diatas dada.

•••

Bulan dan bintang berpamit dan mentari tiba. Jauh di bawah kaki kaki langit sana ogok ogokan berjejeran membentuk bentuk yang aneh.

Pagi ini di jakarta, suara derungan kendaraan menggelebu di dalam telinga. Partikel partikel kecil yang bisa membuat wajah menjadi kusam berterbangan dengan bebas menaburi wajah orang orang.

Padahal mobil baru berjalan lima menit yang lalu. Namun, bagi Sea itu sudah hampir berjam jam lamanya. Mungkin salah satu gejalanya gara-gara duduk bersebelahan dengan manusia tidak punya hati, pikir negativenya.

"Lo niat nyetir gak sih? Lama banget sampainya" kesal Sea membuka pembicaraan.

Sudut mata bergerak ke samping sekilas. Erick kembali fokus menatap kedepan. Memegang stir dengan satu tangan, ia menopangkan sebelah tangan lagi pada jendela mobil sambil memijat pangkal hidungnya.

Sea yang sadar kalo ucapannya cuma dianggap angin lewat menoleh ke samping dan siap untuk memberikan jutaan argumen serta umpatan. Namun, baru saja menoleh si Sea sudah dibuat terpesona oleh lelaki tampan di sebelahnya.

Kancing baju atas sengaja Erick buka, rambut di acak acak dan sedikit memperlihatkan jidatnya. Saat sedang asik mengagumi paras menawan mantan kekasihnya, tapi sekarang malah jadi tunangnya itu. Sea tidak sengaja menjatuhkan fokusnya pada leher jenjang Erick.

"Aler- turun" belum sempat Vansa menyelesaikan kalimatnya. Namun, sudah lebih dulu di putuskan oleh Erick.

"Hah?" membeo bingung, Sea melayangkan tatapan bingungnya. Apa apaan coba maksudnya ini?

A true mate? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang