.
.
.
***
.
.
.
Sebagai detektif muda di kalangan detektif senior, ada rasa segan bersemayam di hati Renjun ketika ia ditugaskan oleh komandan untuk menangani kasus terbaru yang sering mendapatkan laporan dari orang kehilangan. Padahal masih banyak detektif profesional lain bisa diandalkan, bukan semerta-merta anak bawang seperti dirinya.
Renjun menghembuskan napas panjang kala ia telah tiba di Desa Arthalena, sebuah desa yang agak terpencil dikelilingi hutan tetapi ternyata warganya makmur seperti tidak terbelakang. Apa yang membuat desa ini menjadi salah satu tempat yang dicurigai? Seberapa banyak kasus orang hilang khususnya perempuan tak berbekas setelah mereka berkunjung ke sini?
Sebenarnya dia justru takut keselamatannya sendiri yang terancam. Namun, berbekal ilmu pengetahuan dengan minimnya pengalaman lapangan, ia hendak mencoba menuntaskan. Iming-iming naik jabatan serta penghargaan detektif terbaik menjadi isu keberanian menginjakkan kaki ke kampung ini.
"Permisi, Bu." Renjun berhasil mencegat seorang ibu-ibu yang berjalan melewatinya. Sekilas ia agak silau dengan gelang-gelang emas di tangan ibu tersebut, sedikit curiga tentang bagaimana warga desa tertinggal berhasil memiliki perhiasan sebanyak itu.
"Iya Dek?"
"Saya seorang jurnalis yang ditugaskan meliput keberadaan desa ini," Renjun memulai penyamaran, memberikan kartu nama yang sudah didesain sedemikian rupa untuk menguatkan alibi, "boleh saya tahu dimana kantor desanya?"
Si Ibu memandang Renjun dari kepala sampai kaki, seperti menginspeksi sesuatu tak kasat mata pada penampilan Renjun sekarang. Perempuan berambut ekor kuda tersebut lumayan risih, tetapi berusaha mempertahankan ekspresi netral.
"Kamu jalan ke sana, belok kanan sekitar 10 meter di situ kantornya,"
Renjun mematri senyum sopan seraya mengangguk, "Baik, terima kasih Bu, atas arahannya."
"Kamu baru di sini?" tiba-tiba si Ibu bertanya, membuahkan anggukan lagi. "sudah menikah?"
Ha. Pertanyaan macam apa ini. Kan tidak sopan menanyakan status perkawinan orang yang tidak dikenal. Renjun menyeringitkan dahi, kemudian menggeleng. "Belum, Bu."
"Masih perawan berarti?"
Huhhh? Mendengar pertanyaan nyeleneh tersebut seakan memiliki maksud ambigu sebab tidak ada di dunia ini yang berbasa-basi mempertanyakan keperawanan seseorang, apalagi perempuan asing. Tatapan si Ibu tak dapat ditelisik lebih jauh, meski Renjun sangat bertanya-tanya tentang arti pertanyaan itu. Dia mengangguk lagi, mendapat reaksi anggukan kepala serta 'oohh' pelan. Sehabis itu si Ibu berpamitan hendak melanjutkan perjalanan, meninggalkan Renjun dilanda keheranan.
Penduduk macam apa yang tinggal di desa ini huh? Apakah semua turis mendapat pertanyaan yang sama? Apakah wanita-wanita yang dilaporkan hilang kemarin juga ditanya seperti ini? Renjun tidak habis pikir pada kesan pertama ia menginjakkan kaki, bergegas mengikuti petunjuk menuju kantor desa untuk bertanya lebih mendalam.
"Permisi, selamat siang.." sapa gadis itu melongokkan kepala melalui celah pintu kantor. Tidak terlalu banyak staf yang sedang menetap di sana disebabkan ia datang pada saat jam makan siang. Seorang karyawan buru-buru menghampiri, menanyakan maksud kedatangan seorang wanita asing ke kantor mereka. Renjun mengulas senyum sopan, memberitahukan bahwa ia seorang jurnalis yang ingin menemui kepala desa untuk meliput tentang keindahan Desa Arthalena.
KAMU SEDANG MEMBACA
COME AND SACRIFICE 🔞[21+] [NOREN]✔️
FanfictionPengusaha muda yang suka minjamkan uang ke warga cuma punya 1 permintaan aneh yang harus dibawakan yaitu gadis perawan. . . ⚠️ : mengandung konten dewasa ; dead dove : do not eat ; criminal ; black magic! au ; girl!renjun ; jeno the 'young' enterpr...