第 112-1 章

219 34 7
                                    

Bilah pedang Owen yang menembus armor padat, merobek daging, dan menghancurkan tulang, akhirnya mencapai jantungnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bilah pedang Owen yang menembus armor padat, merobek daging, dan menghancurkan tulang, akhirnya mencapai jantungnya.

Theodore merasakan akhir hidupnya semakin dekat. Rasanya seperti selamanya dalam sekejap. 

Di saat-saat terakhirnya, dia mengangkat kepalanya untuk menatap wajah Lily. Mata hijau mudanya itu, yang penuh kejutan terbuka lebar. Dia selalu berpikir warnanya mirip dengan warna peridot, atau mungkin tunas baru musim semi.

"Lily."

Suaranya tegang, sisa kekuatannya. Darah menetes dari mulutnya, dan dia merasakan punggung juga dadanya basah karenanya. Rasa sakit yang luar biasa melanda dirinya, seolah-olah dia akan pingsan kapan saja. Biarpun begitu, Theodore tersenyum, seolah berusaha menyembunyikan rasa sakitnya.

"Aku mohon... kau harus selamat..."

Nafasnya perlahan memudar.

Dia kemudian memanggil api Seraphim. Membakar sisa hidupnya, lebih intens dari sebelumnya, menggunakan nafas terakhirnya sebagai persembahan.

"Bajingan ini..."

Menggeretakkan giginya, Owen menghunus pedangnya. Pada saat itu, api biru murni menembus pertahanan Frigga dan Caligo dan mengenai mata Owen.

"Aaagh!"

Owen menjerit kesakitan saat matanya terbakar. Nyala api yang membara dengan ganas hingga akhir hidup tuannya, menyelesaikan misinya dengan sempurna. Itu menghanguskan mata musuh dan menelan seluruh tubuhnya.

"Ahh... Ahhh... Uh..."

Dalam keadaan buta dan menderita luka bakar mengerikan di sekujur tubuhnya, Owen terhuyung di tempat sebelum pingsan.

Dan ketika apinya akhirnya padam, Theodore menutup matanya.


* * *

"....Theodore?"

Tidak ada tanggapan terhadap panggilan tersebut.

Dengan tangan gemetar aku memegang kepalanya yang terjatuh di bahuku.

Ujung jariku menyentuh lehernya. Tidak ada.... detak.

"....Tidak, Theodore..."

Bibirku bergetar saat aku menggumamkan namanya. Aku segera membaringkannya di tanah dan melepaskan baju besinya. Menyentuh sisi kiri dadanya di mana jantungnya berada, tanganku berlumuran darah.

....Tidak, ini tidak mungkin. Tidak mungkin.

Seluruh tubuhku gemetar, aku menggerakkan tanganku ke bibir atasnya. Tidak ada nafas. Aku kemudian menyandarkan kepalaku ke dada kirinya. Tidak ada detak jantung.

Aku tidak bisa mempercayainya.

Dia masih sangat hangat.

"Theo, Theodore..."

Air mata memenuhi mataku.

Air mata panas jatuh ke wajahnya. Tak bisa menerima keadaan, aku memeriksa napas dan denyut nadinya berulang kali, hingga kusadari semuanya sia-sia.

"Ah..."

Aku duduk di tanah, membiarkan tanganku terjatuh lemas.

Aku merasakan air mata mengalir di pipiku saat aku mengedipkan mata kosong. Aku diam-diam menatap mata Theodore yang terpejam, wajahnya sedamai seperti sedang tertidur lelap.

Ini terasa tidak nyata.

Rasanya seperti mimpi, tidak dapat dipercaya namun kebenarannya nyata dan menusuk pikiranku.

Theodore sudah mati.

Ketika kenyataan kematiannya menjadi jelas, rasa sakit perlahan mulai menyebar di hatiku dan semakin cepat intensitasnya. Aku menangis tak terkendali sambil memegangi dadaku. Tak lama kemudian, isak tangis mengalir dari bibirku.

"Ah... ah, ahh..."

Pertanyaan-pertanyaan tak berarti melayang di benakku.

Kenapa menjadi seperti ini?

Bagaimana bisa?

Kenapa?

Momen dia ditikam terus menghantuiku. Tanpa henti memutar ulang pikiranku di luar keinginanku. Kali terakhir dia memanggil namaku, bisikannya demi keselamatanku, dan senyum tipis di wajahnya saat menghadapi kematian.

"Huuh... Uhhk, uhh, ahh..."

Kapan semua ini dimulai? Tanpa kusadari, aku mendapati diriku memeluknya sambil menangis seolah dunia telah hancur.

Aku terus menatap wajahnya yang damai. Khawatir pipinya yang masih hangat akan menjadi dingin, aku memeluknya erat-erat, melingkarkan tanganku di sekelilingnya. Walaupun aku tahu ini sia-sia.

Hatiku sangat sakit.

Rasanya sangat sakit hingga aku merasa seperti akan mati.

Kenapa ini sangat menyakitkan? Kenapa air mataku terus mengalir?

Aku tidak pernah membayangkan akhir seperti ini.

Aku tidak pernah berpikir kau akan mati.

Aku tidak pernah mengharapkan kematianmu.

Aku tidak pernah ingin kau menderita atau tidak bahagia...

"Theodore..."

Rasa sakit di dadaku sepertinya tidak kunjung hilang. Rasanya justru semakin kuat.

Melalui rasa sakit ini, aku menyadari alasan kesedihanku.

Aku akhirnya mengerti.

Hanya pada saat yang dipenuhi dengan kesedihan murni inilah aku menyadarinya.

Semua kebencian, semua kemarahan, terhapus oleh air mataku. Kesedihan menghabiskan segalanya. Di bawah bayangan pucatnya, emosi yang lebih murni tetap tak tersentuh. Itu adalah cinta yang aku kubur jauh di dalam diriku.

Cinta yang kukira telah kubunuh, ternyata tidak hilang.

Itu terlalu transparan bahkan menyaring kebencianku.

Selalu ada, tapi tidak terlihat kecuali aku memilih untuk merasakannya.

Sekarang, aku akhirnya melihatnya sebagaimana terlihat. Tercermin dalam cahaya biru kesedihanku.

"Aku... aku..."

Aku menggumamkan kata-kata tak berarti ini melalui air mataku beberapa saat.

Cahaya merah samar menarik perhatianku.

Tiba-tiba, aku mengangkat kepalaku dan melihat ke bawah. Gelang berwarna merah koral bersinar lembut di kegelapan.

Gelang koral Arendelle.

Untuk sesaat, aku linglung, tapi kemudian aku segera sadar dan melepaskan gelang itu dari pergelangan tanganku.

Dan buru-buru, aku menaruhnya di pergelangan tangan kanan Theodore.

"Kumohon..."

Konon gelang ini mengandung kekuatan penyembuhan yang sangat ampuh. Tapi masih belum pasti apakah itu bisa menghidupkan kembali orang mati.

Tapi, tetap saja... kumohon.

Aku berharap ada keajaiban.



-次-

.

.

Vote Please

.

Thankyou

My Husband Hates Me, But He Lost His Memories (Book II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang