第 129-End 章

426 29 4
                                    

Aku turun ke lantai pertama dan langsung menuju ruang tamu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku turun ke lantai pertama dan langsung menuju ruang tamu.

Meskipun Veronis dan Brienne secara geografis dekat, itu bukanlah jarak yang dapat ditempuh hanya dalam waktu satu jam.

Tapi, jika menggunakan alat-alat sihir atau berkendara tanpa henti, itu dapat membuat perjalanan menjadi lebih cepat.

Dan intuisiku mengatakan, bahwa Theodore kemungkinan besar memilih yang terakhir.

"Saya sudah memberinya teh hangat, karena saya khawatir beliau mungkin kedinginan..."

Meskipun sudah bulan Mei, udara malam masih cukup dingin.

Bepergian selama satu jam tanpa henti bukanlah hal yang ideal.

Sambil mendesah pelan, aku mengangguk kepada pelayan itu.

Pelayan itu mengangguk singkat sebagai balasannya dan perlahan membuka pintu ruang tamu.

Udara di dalam terasa hangat karena perapian. Aku melangkah perlahan ke ruang tamu. Hampir bersamaan dengan suara pintu tertutup di belakangku, Theodore menoleh untuk menatapku.

Dia tidak duduk di sofa.

Di atas meja, secangkir teh dibiarkan mengepul, perlahan mendingin dalam kesunyian.

Berdiri canggung di dekat jendela, Theodore dengan hati-hati mendekatiku seolah-olah sedang mengumpulkan keberaniannya. Melalui jendela besar di belakangnya, aku bisa melihat kaca buram.

"Lily..."

"Ya, Theodore. Apa kau benar-benar berkuda ke sini selama satu jam?"

"Aku sudah menerima kalungnya..."

Theodore, pipinya memerah karena angin dingin, gelisah. Tak dapat menahan diri lebih lama lagi, aku melangkah mendekat dan menggenggam pipinya dengan tanganku. Kulitnya masih dingin karena berada di luar.

"Aku sudah bilang padamu untuk datang menemuiku saat kau sudah mendapatkan kalung itu, tapi aku tidak bermaksud agar kau melakukannya seperti ini."

"Tapi... aku ingin menemuimu secepatnya."

"Kau seharusnya menunggu dan datang besok pagi. Bodoh sekali..."

Mata biru Theodore berkilauan karena emosi. Ia menatapku dengan campuran rasa kagum dan tak percaya, seolah-olah ia tidak bisa sepenuhnya menerima kenyataan situasi ini.

"Aku tidak pernah benar-benar percaya... kau akan menerimaku."

"...."

"Kupikir bahkan jika kau mengabaikanku selamanya, aku akan menerimanya dalam diam..."

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Theodore. Saat ia menatapku dan tersenyum tipis, air mata mengalir di pipinya. Karena tak mampu menahan emosinya yang meluap-luap, ia mulai berbicara cepat.

My Husband Hates Me, But He Lost His Memories (Book II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang