Chapter 2

18 1 0
                                    

Beberapa hari telah terlewat setelah pertemuan kedua orang itu. Sekarang sang pangeran kedua sedang mengalami situasi ektrim yang mengancam nyawanya.

Dia berlari kencang didalam hutan, satu-satunya jalan pintas keluar akademi Eden. Suara langkah-langkah kaki terdengar dibelakangnya. Edward memaksa kakinya untuk tetap berlari.

Gelapnya malam dan lebatnya hutan membuatnya tidak mengetahui arah jalannya. Dia hanya dapat berlari dijalan yang terbuka.

"Cepat tangkap dia!" Sebuah anak panah menancap ditanah sebelah kakinya melangkah, Edward mengabaikannya dan berlari sekencang detak jantungnya.

Seseorang menyewa pembunuh untuk menghabisinya. Ini memang bukan yang pertama, tapi bukan berarti Edward terbiasa. Anak sekecil dia tidak bisa berkelahi dengan puluhan orang dewasa.

rambut coklat terang di belakang semak-semak di kejauhan menarik perhatiannya. Terlihat mencolok di gelapnya malam. Dia loncat ke belakang semak itu.

Segara dia menutup mulut gadis yang ditindihnya, hampir saja perempuan itu berteriak. Dia menunduk dan menatap ke atas semak, memberi kode kepada gadis itu.

Untunglah gadis itu tidak bodoh, dia diam membeku setelah menyadari ada orang lain selain mereka berdua.

"AKH DIMANA ANAK ITU!" Suara frustasi terdengar tepat diatas mereka. Mereka diam seperti orang mati, hanya suara detak jantung mereka yang membuktikan bahwa mereka tidak.

"Carilah lebih teliti, kita harus mendapatkannya," teliti yang dimaksud adalah melihat semua area sekilas dan pergi ke yang berikutnya. Edward tidak tahu apakah dia harus senang atau terhina bahwa seseorang membayar pembunuh tidak berotak ini untuknya.

Suara langkah kaki memudar menandakan bahwa orang-orang orang itu sudah menjauh. Edward mendesah lega kemudian dengan cepat menutup mulutnya lagi. Berjaga-jaga kalau saja mereka mendengar.

Setelah beberapa lama barulah dia bisa melihat gadis itu dengan benar. Edward melotot, nafasnya tercekat di tenggorokan.

Mata coklat yang dia lihat beberapa hari yang lalu sekarang berada tepat didepannya. Bedanya, mata itu membulat dan berkaca kaca. Gadis itu menunjuk ke mulutnya.

Edward sadar bahwa tangannya masih menutup mulut gadis itu dan segera menjauh. "Uh-um.." tidak pernah dia merasa secanggung ini untuk berbicara dengan perempuan. Kakaknya akan menertawakannya jika ia tahu.

Emma menatap keranjang apelnya yang terjatuh saat lelaki itu tiba-tiba datang. Apel-apel merah berserakan di atas rumput.

Semuanya terjadi begitu tiba tiba. Mungkin ini juga salahnya karena berusaha mengejar kupu kupu dan malah masuk ke hutan.

Emma segera mengambil apel apel di tanah dan meletakkan semuanya ke keranjang. Anak bangsawan disebelahnya membantunya dengan ragu ragu.

"Maaf.." Hanya itu yang bisa Edward katakan. Tidak pernah dia akan berlagak serendah ini untuk meminta maaf kepada seorang yang jauh dibawahnya.

Emma tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak pernah diberi tahu apa yang harus dilakukan saat berbicara dengan seorang bangsawan. Apalagi yang dimaksud sedang meminta maaf kepadanya. Haruskah dia bersujud dan berterimakasih atas kebaikannya bahwa lelaki itu tidak menjadikannya sebagai umpan untuk orang-orang tadi?

Emma memutuskan untuk hanya tersenyum dan mengangguk. Semua apel sudah ada di keranjang. Pangeran itu menatap ke sekeliling dengan bingung dan khawatir. Dia tidak tahu area sini.

Beruntung untuknya, ibu Emma sering pergi dan keluar hutan, mencari bunga liar untuk dijual. Mungkin orang tuanya sedang mencarinya sekarang. Emma hanya dapat berharap bahwa mereka tidak bertemu orang orang tadi.

Emma mencari tempat yang nyaman dan duduk di atas rumbut tebal, menawarkan apel kepada sang pangeran "Mau?"

Edward menatap tanah kotor dan rumput itu jijik. Tidak mungkin dia akan duduk disitu. Pakaiannya sudah cukup kotor karena berlarian.

Emma mengembungkan pipinya dan memutuskan untuk memakan apel yang dipegangnya. Lama-lama pangeran itu juga akan lelah berdiri.

Pemikirannya benar karena setelah beberapa menit dia merasakan seseorang duduk disampingnya. Tuh kan.

Sebuah tangan mencomot apel dari keranjangnya, Emma terlalu lelah untuk protes.

"Siapa namamu?" Tanya pangeran itu disela makannya.

"Emma, Emma Florance" Jawabnya.

"Aku Edward Eden, aku berasumsi kamu sudah tau." Emma berdehem.

Hanya kesunyian yang tersisa, tidak ada satupun yang angkat bucara. Emma sendiri tidak tahu harus membicarakan apa. Angin malam yang dingin membuatnya menggigil.

Edward menyadari bahwa perempuan itu kedinginan. Dia memutar mata dan melepaskan jubahnya. Melingkarinya di bahu gadis itu.

Emma terkejut dengan sikapnya. Ternyata dia baik juga. Dia memeluk jubah itu erat dan berterima kasih.

Sudah beberapa lama dan Emma mulai risih karena dari tadi Edward terus menatapnya. Dia menaikkan sebelah alisnya. "Apa?"

Edward menatapnya sebentar kemudian beralih ke jepit rambutnya. "Tidak cocok" Gumamnya.

"Apa?"

"Jepit rambutmu itu. Jelek kalau kamu memakainya" Edward berkata dengan enteng.

 Jelek kalau kamu memakainya" Edward berkata dengan enteng

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Of Flowers and CrownsWhere stories live. Discover now