Siang hari panas, Emma tengah duduk dengan malasnya di ruang tamu rumahnya dengan buku ditangannya. Di kibas seperti kipas.
Tok tok tok. Suara ketokan terdengan dari pintu, Emma segera duduk tegak.
"Emma sayang, bisakah kamu bukakan pintu?" Ucap ibu dari dapur.
Emma berjalan ke depan dan membuka pintu, menampaikan orang yang dia tunggu-tunggu dari semalam.
"Edward!" Ucapnya senang,
Edward tersenyum arogan. Di lengannya terdapat seekor burung!. Lebih tepatnya burung hantu.
Burung hantu itu memiliki bulu lebat seputih salju, mata hitam yang menatap tajam. Tetapi ia tidak memiliki aura yang menakutkan. Malah menurut Emma ia sangat lucu.
"Apakah..?" Tanya Emma, Edward tersenyum lebar.
"Ya, ini untukmu" Burung itu terbang ke kepala Emma, membuat lelaki itu tertawa.
Emma cemberut, tangannya naik ke atas mengelus burung yang mematuk-matuk kepalanya. Untung lucu.
"Kenapa kamu membelikanku burung hantu?" tanyanya penasaran.
"Dengan burung ini, kau bisa mengirim surat padaku" Dia mengangkat tangannya, burung itu segera terbang keatasnya
"Emma! di luar panas kenapa kau tidak membawa temanmu masuk?!" Lily berteriak dari dalam.
Emma dan Edward meringis akan suara kencang itu, mereka segera masuk. Edward melepas jubahnya dan duduk bersandar di sofa dengan paha terbuka lebar. Emma yang duduk disebelahnya hanya menatap malas, pangeran itu berlagak seakan rumah ini adalah miliknya.
Burung hantu terbang ke atas sofa, menengok-nengok interior rumah dengan lucu. Edward menatap burung itu lekat.
"Kau harus menamainya" ucapnya. "Mana mungkin dia akan dipanggil 'burung ini' atau 'burung itu' selamanya," lanjutnya.
Emma melakukan pose berpikir, dia menatap bulu putih burung itu, "bagaimana dengan White?"
"ew" hanya itu respon sang pangeran.
"Snow?"
"Karena bulunya putih? pikirkan yang lain" ucapnya seraya mengusap bulu burung itu.
"ummm" Emma berpikir keras, "Pearl?"
"Maksudmu ikan dari novel itu? kenapa kau menamainya dari nama ikan? dilihat dari manapun mereka sangat-sangat tidak mirip" Edward menatapnya dengan kritik.
"Bukan! itu karena bulunya putih seperti permata!" Emma berteriak frustasi, "Jika kamu tidak suka semua kenapa tidak kamu saja yang menamainya?!"
"Mana boleh," dia berdehem, mau sih, tapi kan- "burung ini untukmu, jadi ini milikmu."
Emma kembali berpikir, alisnya menukik keras, iris coklatnya beralih ke rambut si pirang. Ia menatap lama sebelum memutuskan.
"Chick"
"Chick?" Edward mengangkat alis dan menatapnya seakan dia orang bodoh, "anak ayam? mengapa?"
Burung hantu itu terbang ke bahu Emma dan mengelus wajahnya ke gadis itu, seakan menyukai nama yang diberikan padanya.
"Apa matamu rusak? ini burung hantu bukan anak ayam"
Emma mendengus, "Aku tahu kok." Dia mengusap burung yang mengeluarkan suara 'hoo'. "Aku hanya ingin menamainya Chick."
"Terserah kamu aja deh" Edward menyerah.
"Kamu cantik sekali..." Emma mengusap bulu burung itu lembut, Chick mengusap kepalanya nyaman. Matanya berkedip lucu.
"Emma Edward ibu akan-oh?"Lily menatap burung kecil yang tengah bersandar dibahu putrinya dengan satu alis terangkat.
"Ibu, ini Chick! Edward menghadiahkannya untukku!" Emma mengusap pipi burung itu dengan miliknya, Edward mengangguk canggung menatap Lily.
"Anda terlalu baik pangeran" Lily berkata dengan rasa tidak nyaman.
"Tidak apa, saya memberikannya agar bisa bertukar surat dengan Emma.
Ada kilatan aneh dimata wanita itu, sangat samar sehingga Edward berpikir dia mungkin hanya salah lihat. Lily menatapnya dan Emma bolak-balik.
Mulut wanita itu mengulas senyum keibuan lembut yang menyilaukan,
"Baiklah, jangan lama-lama ya mainnya. Ibu akan pergi ke pasar sebentar." Lily mengusap rambut putrinya. Sejenak Edward menatap iri, Lily yang menyadari itu pun tersenyum geli dan mengusap kepalanya juga.
Sepergian wanita itu, Edward menutup wajahnya yang tersipu. Malu karena perasaan kekanakannya terlihat.
–––
Edward turun dari kereta kuda, puluhan pelayan yang menyambutnya ia hiraukan. Ia disambut oleh kakaknya yang bersandar di pintu, menatapnya penuh selidik.
"Sudah hampir sore, kamu dari mana saja?" Jarinya mengait dan memutar rambut abu panjangnya. Gerakan feminim tapi terlihat maskulin jika Harry yang melakukannya.
"Main" Edward menjawab malas, Emma telah menariknya untuk berlari-lari di kebun bunga keluarganya. Sekujur tubuhnya pegal, tetapi dia tahan asalkan gadis itu bahagia. Edward hanya ingin berbaring di kasurnya sekarang. Ia berjalan melewati kakaknya yang menatapnya diam.
YOU ARE READING
Of Flowers and Crowns
Não FicçãoNi ide gamau keluar dari kepala kalo ga aku tulis. (Bukan cerita reinkarnasi)