Beberapa bulan telah berlalu setelah kejadian itu. Musim panas telah berganti menjadi musim gugur.
Emma menangkap daun yang jatuh ke tangannya. Dia mendongkak ke atas. Daun-daun telah berubah kering menjadi warna oren kekuningan dan berjatuhan menutup tanah.
Emma menendang-nendang tumpukan daun di bawahnya. Gadis itu menghela napas, ibunya memberikannya uang jajan yang banyak dan memintanya untuk libur bekerja. Bersenang- senang katanya.
Gadis bersurai coklat itu menatap tas selempang kecil yang dibawanya. tas penuh uang yang diberikan untuknya. Apa yang harus dia beli dengan uang ini?. Ibu bilang untuk segera menghabiskan semuanya. Padahal biasanya disuruh di tabung.
Dia segera melangkah ke tempat perbelanjaan di kerajaan. Bukan ke pusat melainkan di bagian kelas menengah saja. Gadis kecil itu menengok ke toko-toko seraya berjalan.
Apa pakaian saja? tidak tidak, lebih baik minta belikan saja. Atau coklat? tidak juga, gigi Emma sedang sakit.
Emma berhenti melangkah, matanya melekat pada toko kue. Banyak kue kering tertampang di etalase kaca. Emma hampir menintikkan liurnya jika saja dia tidak segera menyapunya.
"Kamu liatin apa sih?" "UAH!"
Edward dan Emma sama-sama mundur. Edward meringis dan menutup kedua telinganya.
"Kenapa kau berteriak begitu?!"
Muka Emma merah, tangannya dikepalkan di dadanya. Mencoba menentralkan detak jantungnya yang tidak karuan.
"Kau tiba-tiba datang dari belakang bagaimana aku tidak terkejut!"
Edward mendengus, "Aku dari tadi memanggilmu, tapi kau sibuk menatap toko ini" Ia menunjuk toko kue itu.
Wajahnya semakin memerah membuat Edward menaikkan satu alisnya. Emma harap pangeran itu tidak melihat saat dia berliuran.
"A-aku hanya ingin membeli beberapa kue kering" Ucao Emma, masih agak malu.
Edward menatap kue kue itu. "Baiklah, ayo" Dia melangkah masuk lebih dulu, Emma mengikutinya dibelakang.
"Wah..." Emma menatap seluruh isi toko. Banyak sekali kue kering, puding, roti dan manisan lainnya. Aroma tokonya juga sangat enak.
Segera ia mengambil beberapa kue dan dimasukkan ke keranjang belanjanya. Donat, cookies dan roti untuk orang tuanya.
"Kau yakin ingin membeli sebanyak itu? kau akan jadi gendut nantinya." Edward menatap keranjang belanjanya dengan ejek.
Emma menukik alisnya marah "Apa masalahnya jadi gendut?! dan ini bukan hanya untukku saja!"
"Untuk ku juga?"
"Kamu punya banyak uang!"
"Baiklah baiklah, jangan marah gitu dong" Edward menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
Emma menghabiskan waktunya memilih milih kue dengan Edward disebelahnya. Pangeran itu tidak membeli apapun dan hanya memperhatikan saja.
Dirasa cukup, Emma membayar belanjaannya ke kasir. Edward membukakan pintu untuknya karena dia membawa dua tas berat, tangan kecilnya jadi pegal.
Edward memutar mata padanya dan mengambil satu tasnya. Tubuhnya langsung terbungkuk kebawah.
"Berapa banyak yang kau beli?!" Teriaknya. Mengangkat tas itu kembali dengan susah payah.
"T-tidak tahu, tapi kasirnya bilang aku pembeli yang paling banyak.." Kata Emma terbata-bata, Edward mendecih.
Edward membawanya balik ke toko dan meminta staff toko untuk menitipkan belanjaannya. Mereka dngan cepat menyetujuinya. Suka-suka pangeran.
Sekarang, Emma leluasa berjalan dengan tas kecilnya. Sementara Edward membawa tas lain yang berisi beberapa kue yang Emma minta untuk dibawa.
"Kau ingin kemana lagi?" Tanya Edward.
"Aku ingin ke taman. Pasti enak kan piknik di musim gugur?" Jawab Emma yang berjalan sambil melompat-lompat kecil.
"Omong-omong, apa yang pangeran lakukan disini?" Tanyanya. Agak jarang melihat seorang bangsawan apalagi pangeran sepertinya di perbelanjaan kelas menengah sini. Biasanya mereka berkumpul di bagian pusat dimana restoran dan toko-toko ternama berada.
"Edward saja, jangan panggil aku pangeran." Ucapnya. "Kebetulan sepupuku penasaran dengan tempat ini jadi dia membawaku untuk pergi bersama. Tapi dia sangat rewel, berjam-jam kami berkeliling tapi dia tetap tidak membeli apapun jadi kutinggakan dia." Lanjutnya, kekesalan dapat terdengar disetiap katanya.
"Apa itu tidak apa? membiarkan sepupumu sendirian?" Tanya Emma, rautnya berubah khawatir. Edward hanya mengangkat bahu.
"Tidak apa, dia bersama kesatria lain."
Mereka mengobrol cukup lama, beberapa menit kemudian mereka sampai ditaman. Emma meletakkan tikar pikniknya di depan pohon besar dan duduk di atasnya.
Edward ikut duduk disampingnya dan membantunya menyusun kue-kuenya. Mereka berdua duduk dan berbincang sambil makan.
Saat tidak ada lagi topik yang dapat terpikirkan. Kedua anak itu diam bersandar di pohon, menatap air mengalir dan ikan didanau depan mereka sampai matahari hampir tenggelam.
Di tengah lamunan mereka, Edward menginntip gadis disebelahnya.
Kelereng coklat itu bersinar terang hampir seperti matahari yang tengah di tatapnya. Helai rambutnya tertiup pelan dengan jepit rambut melatinya terjepit erat disebelahnya.
Seketika Edward teringat apa yang membuatnya begitu tertarik dengan gadis yang di sebelahnya ini.
Dia mengangkat tangannya ragu-ragu, mengusap jepit rambut itu lembut.
Emma yang menyadari tindakannya mengalihkan matanya padanya. Manik coklat itu menatapnya bingung.
"Tidak cocok."
"Umn?"
"Sudah kubilang ini tidak cocok untukmu" Edward menurunkan tangannya dan mengambil sesuatu dari saku jubahnya dan menunjukkannya pada Emma.
Alis Emma terangkat, sebuah jepit bunga matahari. Edward membelinya sebelum dia bertemu dengan Emma tadi. Mengapa? dia sendiri juga tidak tahu.
Lelaki itu memasangkan jepit rambut itu ke rambut Emma. Setelah terpasang, dia menatapnya.
Lebih cantik. Warna bunga matahari sangat mirip dengan matanya. Pupilnya berwarna coklat dan sekitarnya yang bersinar kekuningan.
"Apa ini cocok untukku?" Ucao Emma memegang jepit rambut baru itu.
"Lebih bagus" jawab lelaki itu sombong, bangga akan pilihannya.
Emma menatapnya lama sebelum dia melepas jepit rambutnnya, jepit rambut melatinya, dan memasangnya pada rambut platina pangeran itu.
"Apa terlihat bagus?" Tanya Edward, khawatir dia terlihat terlalu feminim.
"Ya, kau terlihat cantik Edward" Emma tertawa lucu.
"Aku tidak cantik, aku tampan" Jawabnya ketus. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Edward, Edward, Edward. Ini pertama kalinya gadis itu memanggil namanya. Biasanya hanya pangeran, hey, kamu, kau.
Edward tersenyum simpul.
"Kau juga cantik, Emma."

YOU ARE READING
Of Flowers and Crowns
No FicciónA classic Prince x Village girl story (Bukan cerita reinkarnasi)