Suara teriakan keras menganggu Cakra yang sedang bermain video game di kamarnya. Pasti ayahnya akan memarahinya lagi.
"CAKRA !" Teriakan itu semakin keras bersamaan dengan pintu yang digedor dengan kuat.
"Cih, ngapain lagi tuh orang," dengan enggan, Cakra melepas headset dan terpaksa memberhentikan permainannya sementara untuk membuka pintu kamarnya yang terkunci.
Pintu kamarnya terbuka dan menampilkan figur ayahnya dengan wajah merah padam dan tangannya sedang meremas sebuah kertas putih yang ia sendiri tak tahu isinya.
"Ada apa ?"
"Bisa-bisanya kamu bersantai setelah kamu dinyatakan drop out dari kampus ?"
"Oh. Ternyata jadi di drop out ya," ayahnya menarik nafas dengan kasar. Kalau di dunia komik, mungkin sekarang ia sudah mengeluarkan dua tanduk di kepalanya.
"Selama dua semester kemarin, kamu kemana ?" Cakra menggaruk lehernya, malas menanggapi pertanyaan itu.
"Main lah, ngapain lagi." Ayahnya sudah terlalu geram dengan sikap anak angkatnya itu. Berjuang sendiri tanpa seorang istri benar-benar menyulitkan hidupnya.
"Kenapa Cakra ?! Ayah udah cari duit mati-matian buat biayain kuliah kamu, tapi kamu malah seperti ini ?" Perlahan wajah ayahnya mulai memutih kembali, tidak lagi mendidih seperti pertama Cakra membukakan pintu untuknya.
"Cakra gak tertarik buat ambil jurusan teknik." Sikap Cakra juga semakin melunak setelah melihat ayahnya terlihat benar-benar kecewa kepadanya.
"Kenapa kamu nggak bilang dari awal ?"
"Memangnya, ayah mau dengerin keinginan Cakra ? Nggak kan ? Jadi ya, bersyukur kalau Cakra di DO dari kampus. Nggak bakalan nguras kantong ayah lagi."
"Kamu nggak punya sopan santun ?!"
"Emang situ pernah ngajarin anaknya sopan santun ya ?"
Cakra menutup paksa pintu kamarnya dan mengabaikan sosok ayahnya yang masih berdiri di depan pintu dengan raut kesedihan.
Cakra memang anak yang keras kepala. Dia tidak suka diatur dan tidak mengerti tata krama. Terlebih ketika ibu angkatnya memilih untuk berpisah. Kehidupannya seolah menjadi kacau ketika semua keputusan berada di tangan ayahnya.
Sejak perceraiannya dengan sang istri sekitar lima tahun yang lalu, Adi merasa hubungannya dengan Cakra semakin merenggang. Ia juga menyadari kalau pekerjaan juga menuntutnya untuk meninggalkan Cakra dari pagi hingga malam hari dan ia tak memiliki waktu untuk anaknya.
Sejak satu setengah tahun yang lalu Cakra menempuh pendidikan di Yogyakarta atas keinginan ayahnya, ia tidak pernah tertarik dengan program studi yang ia tempuh. Berada jauh dari pantauan sang ayah, Cakra semakin tumbuh menjadi bad boy alias bocah badung.
Pergaulan juga menarik Cakra ke dunia berandal yang membuatnya malas untuk pergi kuliah. Sehingga selama dua semester yang lalu, Cakra selalu bolos dan uang yang diberikan ayahnya masih ia simpan dalam rekeningnya.
"Cakra ! Ayah belum selesai bicara sama kamu,"
Cakra sudah terlanjur merebahkan diri di kasur busa dan menenggelamkan wajahnya di bantal.
" Bodo amat !"***
Sejak semalam, Cakra enggan untuk menutup matanya. Ia lebih memilih meneruskan permainannya hingga menjelang waktu subuh. Lingkaran hitam di wajahnya cukup untuk menjelaskan bahwa ia melewati malam di depan monitor LCD sampai detik ini.
Drrrt... Drrrt...
Cakra mengerjapkan kedua matanya yang berat ketika mengetahui bahwa hp nya berdering. Ia menyalakan lampu kamarnya dan mencari asal suara getaran dari hpnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince Keraton
Historical FictionCakra Abimanyu, cowok yang anti dengan hal berbau kuno atau tradisional tiba-tiba tersedot ke dalam masa lalu kakek buyutnya. Bukan tanpa alasan ia dipanggil ke era tersebut. Ia mengemban tugas untuk mengubah sejarah kelam yang terjadi di kerajaan...