Matahari belum sampai di pucuk kepala, namun cikar mereka telah menginjak ke tanah desa di pinggir hutan. Memang bukan desa ini yang sedang mereka tuju. Masih beberapa desa lagi yang harus mereka lewati untuk mencapai kampung halaman Pandji.
Di setiap sisi kiri dan kanan jalan berjajar kayu dan beberapa hasil hutan lain. Desa pertama yang mereka lewati merupakan pusat dari kayu dan bahan bangunan karena letaknya sangat dekat dengan hutan.
Terlihat mereka sudah mulai beraktifitas seperti memotong kayu, memilah hasil hutan dan ada yang sudah membuat barang-barang rumah tangga.
Tidak ada yang aneh dari desa tersebut, hanya saja keadaan di desa tersebut kurang hidup. Atau mungkin waktu masih pagi, sehingga belum banyak orang beraktifitas seperti biasa.
Bergeser ke desa kedua. Letak desa ini cukup strategis untuk area perdagangan. Karena lokasinya juga berada di pusat kawasan kekuasan Hasthana Wijaya. Bisa dibilang area yang paling penting dalam wilayah kerajaan.
"Pandji, kalau kemarin kita lewat sini, nggak mungkin kita kelaparan di hutan." Celoteh Cakra saat menyadari ada jalan lain dari kerajaan menuju tempat pengasingan.
"Itulah,"
"Ada alasan lain saya membawa mas Cakra melewati kawasan seperti ini."
"Apa ?"
"Nanti mas Cakra juga akan mengetahuinya." Bisik Pandji pada dirinya sendiri.
Cakra duduk sendiri di bagian belakang kereta, sedangkan Pandji dan juga Kirani duduk di bagian pengendali kereta. Keduanya terlihat sangat dekat. Dan hal itu yang membuat Cakra sedikit jengkel. Karena mereka berdua seperti melupakan kehadirannya.
Kini mereka melewati pasar. Aktifitas di pagi menjelang siang tidak terlalu padat seperti aktifitas di pagi buta. Hanya tersisa beberapa orang yang melakukan transaksi jual beli. Mereka juga melewati penggembala kambing yang bersiap menuju bukit di desa seberang.
Setelah melewati pusat perdagangan, mereka telah memasuki kawasan pertanian dan perkebunan. Selain itu, tak jarang mereka akan menemukan domba, kambing dn hewan ternak lainnya yang berkeliaran bebas di kawasan bukit dengan hamparan rumput hijau yang menyejukkan mata.
Penggembala yang mereka lihat tadi sekarang sudah menyandarkan tubuhnya di bawah pohon sambil mengamati kambing yang ia bawa.
"Masih jauh ?"
"Kamu tidak bisa diam ?" Sahut Kirani yang mulai risih ketika Cakra berulangkali menanyakan hal yang sama.
"Saya hanya bertanya."
"Saya juga menjawab." Keduanya selalu memiliki keinginan untuk berdebat dan tidak mau mengalah.
"Tapi jawaban kamu tidak bisa dikatakan sebagai jawaban." Cakra memilih mengalihkan pandangan ke barisan ladang yang menghijau daripada melanjutkan perdebatan.
"Apa kamu tidak mendengar apa yang dikatakan mas Pandji sebelumnya ?"
"Sudahlah, daripada berdebat, lebih baik kita bersiap karena sebentar lagi kita akan melewati jembatan tua." Ucap Pandji menenangkan perdebatan itu.
Melewati jalan penghubung antara desa pertanian dengan desa kesatria memerlukan nyali yang cukup besar. Bagaimana tidak, satu-satunya akses jalan yang bisa dilewati adalah jembatan kayu tua yang tidak tau kapan akan putus.
Jembatan yang membentang melewati arus sungai yang deras membuat suasana semakin mencekam.
Dibawanya kereta kuda itu dengan pelan. Pandji enggan bertaruh nyawa dengan mengendalikannya secara terburu-buru. Perlahan namun pasti. Suara decitan kayu yang bergesekan membuat Pandji semakin waspada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince Keraton
Historical FictionCakra Abimanyu, cowok yang anti dengan hal berbau kuno atau tradisional tiba-tiba tersedot ke dalam masa lalu kakek buyutnya. Bukan tanpa alasan ia dipanggil ke era tersebut. Ia mengemban tugas untuk mengubah sejarah kelam yang terjadi di kerajaan...