Pertunjukan Terakhir

24 7 0
                                    

Rasa dingin menyebar ke dahi Cakra ketika kesadarannya mulai pulih. Dilihatnya, seorang wanita dengan rambut terurai tengah mengompres badannya. Matanya masih terasa berkunang-kunang.

"Mas Cakra ?" Gita memanggil nama Cakra yang mulai mengedipkan matanya perlahan.

"Kenapa gue ada disini ?"

"Tadi mas Cakra pingsan. Masuk angin kayaknya."

"Masuk angin ?" Cakra menyentuh kain yang membalut dahinya. Ia mulai melepaskan dan membuangnya asal.

"Kok dicopot ? Ini biar suhu badannya bisa turun." Gita memposisikan kembali kain kompres itu di tempatnya.

Cakra mengernyit dan mengerang kesakitan. Sensasi dingin dari kain itu membuat tubuhnya bereaksi nyeri dan ingin menolak sentuhan itu. Sehingga berulang kali Cakra membuang kain yang mengompres dahinya.

"Gimana, nduk ?"

"Ini mbah, mas Cakra nggak mau dikompres."

"Tapi keadaannya apa sudah lebih baik ?"

"Sampun¹, Mbah." Gita menyingkir dari kursinya dan membiarkan Ki Seno memeriksa keadaan Cakra.

"Sudah kamu kasih parem² ?"

"Belum, mbah. Habis ini saya mau buatkan jamu paremnya. Saya tinggal dulu ya, mbah." Gita meninggalkan kamarnya setelah anggukan dari Ki Seno.

Selang beberapa menit, Gita kembali dengan membawa segelas parem kunyit dan air putih. Tangannya juga berubah menjadi kuning karena efek dari kunyit.

Cakra sempat mual ketika gelas berisi cairan oranye terang itu didekatkan ke arah mulutnya. Tangan Ki Seno mengambil gelas yang didekatkan ke mulut Cakra. Ki Seno merapal beberapa mantra lalu ia tiupkan ke dalam gelas.

"Sekarang, kamu minum paremnya, le." Cakra mengernyitkan dahinya dan menjauhkan gelas yang dipegang Ki Seno.

"Mas Cakra, diminum to biar cepet sehat."

"Apaan sih, lo malah ikut-ikutan."

"Nduk, tolong pegang kedua tangan Cakra."

"Siap mbah !" Gita melakukan apa yang disuruh Ki Seno. Tangan Gita mencengkeram pergelangan tangan Cakra hingga ia kesulitan bergerak. Kepalanya juga ikut menindih perut dan dada Cakra agar tak ada pergerakan yang membuat isi gelas itu bercecer karena gerakan Cakra.

"Eh ! Apa apaan nih !!! Pergi nggak !" Cakra masih berusaha terlepas dari jeratan Gita. Hidungnya juga dipencet oleh Ki Seno. Perlahan, parem di gelas mulai mengucur ke dalam tenggorokan Cakra.

Detak jantung Cakra terdengar jelas di telinga kiri Gita yang menempel pada dada Cakra. Laki-laki dengan tampang garang seperti Cakra ternyata takut dengan ramuan tradisional seperti parem. Setelah gelas sudah kosong, Gita melepas cengkeramannya dan mengambilkan Cakra segelas air putih hangat untuk menetralkan rasa pahit dari kunyit.

"Cuih ! Pait banget ! Kalian mau bunuh gue ?" Cakra mengelap bibirnya yang terkena ceceran air kunyit asam.

"Mas Cakra, parem nggak sampai membunuh orang. Malah Penyakitnya nanti hilang."

"Nyawa gue juga ikut ngilang !" Gita tertawa bahagia ketika melihat raut wajah Cakra yang nampak tidak terima dengan pernyataannya. Dari awal bertemu Cakra, Gita tidak pernah merasa sedekat ini dengan Cakra.

"Kalau begitu, sekarang kamu tidur lagi ya, le." Ki Seno mulai beranjak dari kursi di samping tempat tidur Cakra dan keluar dari kamar.

"Udah sono ! Gue mau tidur !"

Prince Keraton Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang