07|Kehilangan

487 111 22
                                    

"Mau coba gendong nggak, Dek?"

Kepala Jisoo menggeleng. "Nggak ah." Bukannya Jisoo nggak suka, malahan dia kelewat gemes sama ponakannya yang masih bayi. Cuma mungkin karena bawaan Jisoo anak bungsu, apalagi ini anak pertama abangnya, jadi belum punya pengalaman gendong bayi.

"Kenapa? Lucu loh. Kali aja ntar kamu kebelet pengen juga abis gendong."

Jisoo memanyunkan bibirnya. Sejak tadi ia memang tampak gemas melihat putri kakaknya, dan kedapatan beberapa kali menyentuh pipi sang anak, tapi dikasih kesempatan menggendong malah nolak. "Takut, Bang. Gimana kalau nanti Heerin remuk di tangan aku?"

Ucapan polos Jisoo mampu mengundang Seokjin dan Sowon yang ada di ruangan itu tertawa. Ngomong-ngomong ini sudah hari ketujuh kakak iparnya itu dirawat. Bayi mereka; Heerin, juga sudah dipindahkan dari inkubator ke ruangan terbuka. Kata dokter, semuanya sudah normal dan aman.

"Nggak gitu juga, Dek," Sowon coba menengahi, "nggak bakal remuk kok, kecuali emang kamu gencet. Cobain gih, nggak apa-apa."

Seolah menjemput keberanian yang besar, Jisoo akhirnya berjalan mendekat ke arah si abang yang sedang menggendong Heerin. Memposisikan tangan sesuai yang diarahkan, kemudian dengan penuh rasa gugup, pelan-pelan mengambil alih tubuh Heerin dari sang abang. Rasanya berdebar, antara masih takut dan takjub.

"Ringan banget, Bang."

Lagi-lagi Seokjin dan istrinya terkekeh mendengar dan juga melihat raut Jisoo sekarang.

"Ukuran bayi prematur udah lumayan itu, Dek. Mana minum asinya kuat." Jelas Sowon. Dibanding saat lahir, bayi mereka mengalami perkembangan fisik yang sangat baik. Dokter saja sampai takjub, karena biasanya jarang bayi prematur bisa seluwes itu perkembangannya.

"Dilihat-lihat kok malah lebih mirip abang sih!" Jisoo mendelik protes. Semakin ia amati rupa sang bayi, apalagi dalam jarak yang lebih dekat, Jisoo dapat melihat rupa wajah Seokjin yang begitu kental.

"Ya iyalah, Dek! Orang abang bapaknya. Kalau mirip Jimin sih lebih bahaya."

"Mas..."

"Hehe, bercanda, Sayang."

Eh kok anget? Jisoo merasakan lengan bajunya yang mulai basah dan dialiri aliran hangat. Beberapa detik kemudian wajah tenang Heerin berubah merah, dan bayi itu menangis.

Jisoo? Dia panik maksimal. "Eh? Abang, nangis loh. Ini..."

Haduh, adek-adek. Seokjin malah tertawa. Bukannya buru-buru mengambil sang anak ketika Jisoo berusaha menyerahkannya, Seokjin malah sibuk bermain-main dan meledek adeknya. "Hayo, kamu apain sampai Heerinnya nangis?"

"Abanggggg..."

Sowon hanya geleng-geleng melihat tingkah suami dan juga adik iparnya tersebut. Sejak awal kenal Jisoo dan Seokjin, bahkan sampai sekarang ia dan laki-laki itu menikah, suaminya tetap saja suka jahil pada adiknya. Kadang Sowon iri melihat hubungan kakak beradik itu. Mereka sangat dekat, dan suka bercanda bersama.

"Mas..."

Akhirnya Seokjin kembali mengambil alih sang anak. Diciumnya wajah Heerin yang masih menangis. "Udah basah ya, Sayang? Pantesan nangis. Yuk, Papa gantiin popoknya ya. Cup cup cup." Begitu telaten, ia memindahkan tubuh sang anak di tempat tidur kecil yang memang disediakan untuk Heerin. Mengganti kain basah anaknya itu dengan yang baru.

Meski sering kesal karena abangnya suka rese, namun Jisoo tidak akan berbohong untuk mengatakan bahwa abangnya adalah laki-laki yang hebat. Seokjin yang dulunya tidak suka peduli dengan anak-anak, sekarang menjadi pria yang sangat manis. Bahkan menjadi Papa terbaik yang telaten menggendong, menggantikan pakaian, pokoknya mengurus semua kebutuhan bayi. Jisoo sadar, ternyata selama kita mau berjuang dan memiliki orang yang tepat, maka tidak akan ada yang namanya kemustahilan.

Geng Bengkel (√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang