EPS [1]

68 18 4
                                    

   6 tahun berlalu.

Asta Reandra J. Kini berusia 26 tahun, setelah kejadian 6 tahun lalu, Asta memilih tinggal di pedesaan kecil yang sempit. Tidak ada kebisingan, hanya ada ketenangan.

Pria itu berada diatas per-batuan besar dipinggiran laut, menatap kosong ke-arah ombak-ombak kecil yang dihembus secara halus oleh angin.

Sebatang rokok masih setia ia hisap lalu dihembuskan asapnya.

Betapa lelahnya, namun senja hari ini begitu terang tidak seperti biasanya. "Ibu, andai kamu masih disini, pasti setiap hari kamu mengajakku ke-sini." Kembali menghisap sebatang rokoknya lalu dihembuskan asapnya.

Brag!

"Apasih! Perasaan tadi baik-baik saja," pekik seorang perempuan merasa kesal.

Sepeda yang ia kendarai memiliki kerusakan pada rantainya. Terpaksa ia harus turun dan melihat rantai sepeda miliknya.

"Yah! Putus," keluhnya.

"Huaaa- sepeda kamu kenapa? Kemarin-kemarin kamu tidak seperti ini."

"Ck, berisik sekali gadis itu," gumam Asta.

"Aku ingin menelpon seseorang, tapi handphoneku ada di rumah,"

Mata gadis itu celingak-celinguk mencari seseorang, dengan sigap indra penglihatan gadis itu mendapatkan sosok pria yang nampak memandangi senja.

"Ah, ada orang," ucapnya, ia mulai berjalan menghampiri pria itu, dengan hati-hati berucap,"Uhm permisi,"

Tidak ada sahutan sama sekali. "Bolehkah aku meminta bantuan, rantai sepedaku putus, d-dan rumahku jauh dari sini," ucap gadis itu dengan suara rendah.

Masih tidak ada sahutan. Gadis itu menarik nafas dalam-dalam. "PAK! SAYA NGOMONGLOH,"

"Berisik," sentak Asta, membuat gadis itu terkejut. "Maaf, t-tapi saya ingin meminta bantuan, pak."

"Tidak menerima bantuan."

"Yahh, bapak kurang baik. Ingat kata orang-orang. Berbaik lah selagi masih sehat dan hidup. Hidup itu banyak tantangannya, makanya kita harus saling menolong. Nanti kalau misalnya bapak ada masalah terus minta bantuan sama saya, saya tidak akan membantu bapak,"

Asta terdiam, sepertinya ada beberapa kata yang mengganjal. Ucapan itu sangat ia kenal.

"Hidup itu menyusahkan. Namun sebagai manusia kita harus saling membantu selagi masih bernyawa, karena dikemudian hari, mereka lah yang akan membantu kita, mengerti, sayang?"

"Pak!" pekik geram gadis itu, disaat ia terus memanggil nama Asta, pria itu malah melamun.

Tanpa mengucapkan satu kata, Asta bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke arah sepeda gadis itu.

"Makasih, pak. Oh, yah, nama saya senja, kalau bapak?" senja terus bertanya disaat Asta tengah memperbaiki rantai sepedanya yang putus.

"Pak, bapak ini memang dari sananya tidak suka berbicara, yah?" tanya Senja.

Asta masih fokus untuk memperbaiki rantai sepeda yang putus itu. "Yahh, di-kacangin lagi, saya tuh ngga suka pak, di-kacangin, ke—"

"Berbicara sekali-lagi sepeda ini yang akan putus," ucap Asta dengan nada dingin namun berat.

"Ohh." Mulut Senja berbentuk "0" saat mendengar Asta berbicara. Kejam sekali bapak itu, pikir Senja.

"Sepedamu ini buang saja. Belilah yang baru."

Mata Senja terbelalak. "Bapak niat ngga sih, bantuin sepeda aku?" Senja menatap Asta dengan kesal.

Senja kembali melihat ke-arah rantai sepedanya,"Kalau ngga bisa di perbaiki, aku pulang lewat mana dong. Mana disini sepi sekali, cuman ada bapak, bapak mau antar saya pulang?"

"Saya tidak berniat menampung manusia berisik seperti anda," ucap Asta, berlalu meninggalkan Senja. "Bapak! Jangan tinggalin saya dong, pak!" Senja berteriak. Gadis itu bingung, mengejar Asta atau membiarkan sepedanya begitu saja. Kalau meninggalkan sepedanya disini, ia harus menggunakan apa untuk bersekolah?

"Arhh, aku bingung." Gadis itu berjalan kesini dan kesana, ingin mengejar Asta namun kasihan sepedanya.

"Tidak bisa! Aku harus pulang dan menghubungi Serena saja." Senja berlari mengejar Asta, keputusannya sudah bulat.

"Pak, tunggu! Saya mau nebeng!"

.
.

"Pak, saya nebeng dong, pleaseee."

"Sudah kukatakan, saya tidak berniat menampung manusia berisik," ucap Asta, siap memakai helm-nya.

"Pak, tolong dong. Hari sudah mulai gelap, saya takut di lecehkan sama preman-preman malam," ucap Senja terus memohon, gadis itu terus membujuk Asta. Matanya pun sudah berkunang-kunang, membuat wajahnya seimut mungkin agar Asta luluh. Namun pria itu mengabaikannya.

"Bapak tega? Meninggalkan perempuan semanis dan secantik ini? Coba bapak bayangin, seberapa ngerinya ketika aku dibunuh preman-preman malam disini, kasihani aku, Pak!" Senja terus saja membuka suara.

Namun Asta, pria itu menarik dalam-dalam nafasnya. Dengan berat, pria itu turun dari motornya.

"Ku-antar." Pria itu berjalan ke-arah sepeda Senja, meraih sepeda itu lalu didorongnya. Asta memegang kedua setir sepeda Senja.

Senja melototkan kedua matanya. Tidak seperti yang ada didalam otaknya, dia pikir Asta akan mengantarnya menggunakan motor, namun ternyata pria itu memilih untuk berjalan kaki.

"Saking tidak ingin memberiku tumpangan di motornya? Dia memilih berjalan kaki, omaga! This is crazy." Dengan cepat gadis itu berlari meraih langkah Asta.

" Dengan cepat gadis itu berlari meraih langkah Asta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Visual : Asta Reandra J.

Visual : Asta Reandra J

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Visual : Senja

KALASTA [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang