𝐁𝐀𝐁 𝟗

37 8 4
                                    

─── 𝐌𝐞𝐫𝐞𝐤𝐚 𝐍𝐲𝐚𝐭𝐚 ──

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

─── 𝐌𝐞𝐫𝐞𝐤𝐚 𝐍𝐲𝐚𝐭𝐚 ──

⋆⋅☆⋅⋆

Apa kalian bisa membayangkan bagaimana delapan orang tinggal di rumah kecil yang sederhana, hanya memiliki 3 kamar dan persediaan makanan yang menipis dari hari ke hari? Ini sudah hari keenam dan besok adalah hari terakhir kengerian ini berakhir, Haikal yang awalnya pesimis jika mereka tidak bisa bertahan lama dari serangan makhluk-makhluk itu yang setiap saat menggedor pintu bahkan mulai mengelilingi rumah meminta untuk dibukakan akhirnya mempunyai pikiran jika mereka masih punya harapan untuk hari esok.

❝Ini malam terakhir,❞ ujar Erina saat mereka semua sedang menyantap makan malam di ruang tengah.

❝Malam ini juga pasti akan menjadi serangan terakhir mereka,❞ ujar pria bernama Pak Bina.

❝Apa ada kemungkinan mereka akan menyerang serempak para warga?❞ Tanya Arin.

Baik Haikal dan anak gadis yang bernama Ratna itu tidak mengatakan apa-apa sementara para orang dewasa sedang berdiskusi kemungkinan terburuk yang harus mereka lakukan.

Siang berganti malam dan saat ini mereka sedang bersiap pada kemungkinan yang telah dibicarakan. Pak Dani dan keempat pria lainnya sudah bersiap dengan senapan tua milik mendiang kakek Haikal juga tombak untuk menangkap ikan, sedangkan Erina, Arin, Haikal dan gadis muda sedang berada di lantai atas untuk menata tempat tidur mereka berdelapan. Memang sempit tetapi itu lebih baik daripada malam-malam sebelumnya dimana mereka tidur terpisah, dan malam ini mungkin tidak akan sesepi sebelumnya.

❝Haikal, bisa bicara sebentar?❞ Erina datang saat Haikal selesai mengeluarkan kasur-kasur tipis untuk di tata oleh Arin dan gadis lainnya.

Haikal berjalan mengikuti Erina yang masuk ke kamar wanita itu dan duduk di atas kasur. ❝Ada apa, Nek?❞

Erina duduk di samping Haikal sambil memegang kedua tangan cucu satu-satunya itu, tangan keriputnya mengelus pipi gembul Haikal sedangkan binar matanya berkaca-kaca. ❝Haikal, malam ini kemungkinan akan terjadi sesuatu jadi Nenek ingin meminta sesuatu darimu.❞

Haikal menganggukkan kepalanya tanpa membalas, hingga Erina kembali berkata. ❝Jika terjadi sesuatu, selamatkan dirimu sendiri.❞

❝Apa yang Nenek katakan,❞ ujar Haikal tidak mengerti. ❝Aku pasti akan menjaga Nenek dan Ibu lebih dulu, aku tidak akan menyelamatkan diri sendiri.❞

Erina menggelengkan kepalanya dengan cepat, ❝tidak, dengarkan Nenek.❞ Erina menunjuk ke sebuah titik plafon dan berkata, ❝disana sudah ada tali yang jika kau tarik maka ada tangga menuju ke loteng. Nenek mau kau masuk kesana jika situasi disini tidak memungkinkan lagi, tidak perlu memperdulikan Nenek ataupun Ibumu karena kami akan baik-baik saja.❞

❝Ak―❞ Protesan Haikal terhenti saat melihat wajah Erina seolah tidak menerima apapun yang keluar dari mulutnya jadi pemuda itu hanya mengangguk terpaksa.

❝Kau tidak boleh keluar dari loteng hingga pagi menjelang, dan keluarlah dari jendela jangan turun lagi. Mengerti?❞ Ujar Erina dengan suara tegas.

Walaupun Haikal tidak mengerti apa alasan Neneknya mengatakan hal tersebut ataupun kenapa Neneknya seperti mengetahui apa yang akan terjadi tetapi untuk sekarang Haikal tidak membantah apapun. Dalam hatinya ia berharap jika keluarganya tidak mengalami hal buruk dan mereka bisa melihat matahari besok bersama. Ya, ia berharap.

ʕ•㉨•ʔ

Terdengar teriakan seolah bersahutan dari segala arah, membuat mereka yang berada di dalam rumah bersikap siaga dengan senjata apapun yang telah dipegang. ❝Mereka mulai memaksa masuk ke rumah samping.❞

Ucapan Pak Bina tersebut membuat beberapa orang di sana langsung mendekati jendela dan melihat sendiri bagaimana sosok berperawakan seperti manusia dengan wajah mengerikan―beberapa memiliki mata biru atau hijau yang menyala juga mulutnya yang seperti sobek besar, gigi-gigi yang lancip juga tajam seperti gigi buaya dan hidungnya yang seperti ular.

Haikal yang melihat itu merasa ngeri dengan pemandangan banyaknya sosok seperti itu mendobrak masuk dari pintu seperti zombie yang menyerang dan terdengar teriakan panik dari penghuni rumah. Begitu juga dengan rumah-rumah di sekitar Haikal, ia bisa melihat mungkin ada sekitar empat puluh sosok mengerikan berada di luar rumah juga termasuk yang mendobrak masuk ke rumah-rumah.

❝Kita tidak punya kesempatan,❞ ujar salah satu pria di sana dan itu membuat kepanikan melanda di antara mereka termasuk Arin, ibunya.

❝Haikal, pergi ke atas.❞ Titah Erina yang membuat Haikal ragu maka dari itu Arin menarik tangan anaknya dan mendorong tubuhnya untuk menaiki tangga.

❝Tapi, Bu..❞

❝Tidak apa-apa, dengarkan Nenekmu.❞ Ujar Arin menyakinkan Haikal jika semua akan baik-baik saja.

Tetapi sebelum itu terjadi, pintu depan didobrak sangat keras hingga gembok-gembok yang terpasang bergoyang dengan sangat kencang.

❝Mereka datang,❞ ujar Arin yang langsung menghampiri ibunya.

Dan benar saja, hanya butuh tiga kali dobrakan dan pintu kayu itu hancur berkeping-keping. Terlihat sosok tubuh besar dengan mulut terbuka memamerkan gigi-gigi tajamnya berhiaskan cairan merah tersenyum pada mereka. ❝Waktunya makan.❞

Keberanian yang awalnya tertanam kini mulai membuyar, para pria hanya mengayunkan senjatanya tanpa arah dan itu tidak cukup untuk melukai para penyusup yang berjumlah 6 orang itu. Sedangkan yang lainnya berlarian dan memaksa Haikal berjalan naik ke atas tangga dengan terpaksa. Nasib naas bagi ibunya, Arin yang merasa khawatir pada Haikal itu memaksakan untuk mendekatinya saat orang-orang yang lain panik hingga terdorong, jatuh dan terinjak-injak.

Erina dan Haikal berteriak memanggil Arin yang tak menjawab sama sekali, Erina terpaksa menarik beberapa orang berada di dekatnya dan mendorong Haikal naik ke lantai atas. ❝Pergi sekarang,❞ Teriak Erina yang bertahan di anak tangga paling bawah dengan meletakkan kedua tangannya di pegangan tangga untuk menghalangi orang-orang itu untuk naik mengikuti Haikal.

Dari atas tangga Haikal bisa melihat para makhluk itu mulai menarik satu persatu orang-orang di bawah dan mulai membunuh dengan sadis sebelum menggigit tubuh-tubuh itu dan memakannya menggunakan gigi-gigi tajamnya.

Haikal langsung berlari menuju kamar Erina dan menutup pintu, tak lupa ia juga menahan gagang pintu dengan menggeser lemari pakaian menutupinya. Dengan tergesa-gesa, Haikal menarik tali tipis itu dan benar, sebuah tangga gantung turun dari plafon itu. Sesampainya di atas, Haikal menutup kembali pintu rahasia itu dan menarik talinya masuk agar para makhluk itu tidak mengetahui dimana dirinya sembunyi.

Haikal duduk di pojokan loteng, jauh dari jendela besar yang mungkin akan dipantau oleh makhluk malam di luar sana. Dengan memeluk lututnya, Haikal menangis tanpa suara mengingat kembali apa yang terjadi. Ibunya yang berteriak untuk dirinya pergi dan Neneknya yang masih mendahulukan dirinya dibandingkan hidup dua orang kesayangannya itu.

Malam ini ia menangis dan menyesal untuk pertama kalinya tidak bisa menahan ibunya agar tidak pergi kemari.

❝Marv..❞

[✓] 𝐌𝐇 [𝟒] 𝐄𝐍𝐈𝐆𝐌𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang