Chapter 3

8 2 0
                                    

{Happy Reading}

“Kami akan … bercerai!”

Ivana mematung di tempat dengan wajah tampak terkejut setelah mendengar apa yang dikatakan oleh papanya. Apakah papanya sedang bercanda? Ia menggeleng tidak percaya.

“Papa gak usah bercanda! Tolong katakan yang sebenarnya kemana mama pergi? Dia pergi cuma mau nginep aja kan?”

“Papa tidak bercanda! Itulah yang sebenarnya jika kami memang akan bercerai. Mamamu sudah memutuskannya, dia bilang akan mengurus perceraian dengan cepat dan dia pergi karena perceraian ini!” Irfan tahu jika putrinya pasti tidak akan percaya begitu saja, tetapi ini memang kenyataannya.

Tatapan dan raut wajahnya berubah sendu, menatap papanya yang juga menatapnya sedih.

“Ka-kalian … kenapa, Pah? Kenapa kalian mau bercerai?” tanyanya lirih.

Irfan tidak menjawab, pria tua itu meraih tangan sang putri lalu membawa Ivana ke dalam pelukan. Namun, Ivana segera melepaskan pelukan, menjauh dari sang papa.

“Jawab aku pah! Kenapa kalian mau bercerai?”

Irfan tidak tega melihat putrinya yang tampak terkejut dan tidak terima dengan keputusan yang diambil dirinya dan sang istri.

“Pah, tolong jawab aku. Kenapa Pah, kenapa?” 

“Nak, kami sudah tidak bisa mempertahankan hubungan ini lagi. Mamamu terlalu sering menyalahkan Papa atas semua yang terjadi termasuk kepergian kakakmu,” terang Irfan berusaha menyembunyikan kesedihannya.

“Mamamu menyalahkan papa jika Papa penyebab kakakmu tiada.”

“Alasan yang konyol. Kalian bercerai hanya karena saling menyalahkan? Aku sudah katakan bukan, jika kalian yang salah karena terlalu sibuk bekerja!” kelakar Ivana, “Seharusnya kalian merenungi kesalahan kalian, mencoba untuk memperbaiki diri bukannya malah berpisah.”

“Tidak bisa Iva. Mamamu terlalu keras kepala, dia juga bilang kalau memang hubungan kami tidak bisa dipertahankan lagi. Sudah banyak ketidakcocokan di antara kami, setiap ada masalah bukannya menyelesaikan tapi malah saling menyalahkan dan berujung ribut.”

Ivana menyadari itu, semenjak kepergian sang kakak membuat kedua orang tuanya sering ribut. Keduanya bahkan tidak jarang saling berteriak ketika beradu argumen, bahkan Ivana juga pernah melihat papanya menampar sang mama.

“Iva, Papa sangat menyayangi kamu seperti menyayangi kakakmu. Mungkin Papa sebelumnya salah karena terlalu sibuk bekerja sehingga mengabaikan kamu dan mendiang kakakmu.” Irfan mendekat, menangkup wajah sang putri.

“Papa janji sayang, mulai detik ini papa akan memperhatikan kamu, memfokuskan diri untuk peduli padamu.”

Isak tangis mulai terdengar, bulir-bulir bening mulai menetes dari kedua mata indah Ivana. “Ta-tapi pah, kenapa kalian harus berpisah?”

Irfan kembali menarik sang putri ke dalam pelukan, mengusap lembut kepala Ivana.

“Ini jalan pilihan kami sayang. Ini yang terbaik untuk kami. Papa gak mau selalu ribut dengan mamamu yang akan mempengaruhi kamu.”

“Tapi kalian berpisah juga mempengaruhi aku. Aku jadi korban disini, aku gak mau kalian berpisah. Please pah tolong jangan berpisah, aku sayang kalian, aku gak mau melihat keluarga kita hancur karena perceraian kalian,” lirih Ivana sangat berharap sang papa mengurungkan niatnya bercerai dengan Julia.

Irfan tidak membalas ucapan Ivana. Hanya mengeratkan pelukan dan berusaha menenangkan sang putri.

***


Hembusan angin malam yang terasa menusuk kulit sama sekali tidak membuat seorang Ivana masuk ke dalam kamarnya. Sejak setengah jam yang lalu gadis itu masih berdiam diri di balkon kamar, menatap kosong ke depan sembari memeluk kakinya yang ditekuk.

Matanya tampak sembab karena menangis cukup lama, bibirnya sedikit pucat. Ivana hanya diam melamun.

Pikirannya kacau, ia sangat tidak suka dengan keputusan yang kedua orang tuanya ambil. Tidak bisakah mereka menyelesaikan masalah daripada mengambil jalan buntu.

Ivana belum lama kehilangan sang kakak yang selama ini selalu menemani dan mendukungnya dan sekarang ia harus kehilangan keharmonisan keluarganya. Memang selama ini baik Irfan maupun Julia sama-sama sibuk bekerja, hampir jarang ada waktu bersama kedua anaknya.

Namun, Ivana sangat menyayangi keduanya. Ia hanya tidak suka dengan sikap mereka bukan berarti ia benci. Ivana ingin terus bersama sang papa maupun mamanya, tidak ingin keluarganya terpecah seperti ini.

Ivana mendongak, melihat ke langit malam yang di hiasi bulan dan bintang-bintang.

“Ka-kak, kakak tahu, papa dan mama akan berpisah. Mama bahkan udah pergi dari rumah, dia ninggalin aku kak,” lirih gadis itu. 

“Aku harus gimana kak? Aku gak mau mereka pisah gitu aja. Kepergian kakak bukan salah mereka, tapi ini adalah takdir. Kenapa mereka gak mau merenungi, dan mencoba memperbaiki diri.”

Ivana menelungkupkan wajahnya, suasana sepi dan sunyi menjadi saksi saat Ivana menumpahkan kesedihannya mengenai keputusan kedua orang tuanya.

Tangisan Ivana terdengar pilu bagi siapa saja yang mendengarnya. Gadis itu memang tidak terlalu di perhatikan kedua orang tuanya, namun itu terjadi saat ia mulai memasuki usia remaja.

Saat masih kecil, justru ia mendapat limpahan kasih sayang baik dari orang tua maupun mendiang sang kakak. Ivana terbiasa dengan kehadiran kedua orang tua dan kakaknya, jika sekarang semua terpecah bagaimana dia bisa menjalani hidup dengan baik?

Beberapa menit kemudian Ivana memilih masuk ke dalam kamar. Duduk di kursi meja belajar, dibukalah buku catatan milik sang kakak.

Membaca buku itu kembali dengan kondisi mata sembab sebab menangis terus-menerus. 

“Iva harus janji sama kakak, kalau kamu akan jadi anak baik dan mandiri, yah?” 

Ivana terdiam ketika sang kakak mengatakannya dengan tatapan penuh harap. Kedua gadis itu berada di ruang rawat dimana Intania dirawat.

“Iva, kakak, papa dan mama gak akan terus-menerus ada di sampingmu. Ada kalanya takdir membuat kami pergi dari sisimu, saat itu terjadi kamu hanya bisa mengandalkan dirimu sendiri.”

Ivana ingat dengan semua pesan yang pernah kakaknya sampaikan, saat yang pernah Intania katakan adalah kini. Ivana sudah di tinggal sang kakak selamanya, orang tuanya memiliki niat untuk bercerai, lantas bagaimana dirinya?

Tok tok tok.

Ivana menoleh, lalu bangkit untuk membuka pintu kamar. Saat dibuka terlihat asisten rumah tangga yang berdiri di hadapannya.

“Ada apa, Bi?” tanya Ivana.

“Non, waktunya makan malam.”

 “Papa lagi makan?”

“Nggak Non. Tuan pergi.”

Ivana menoleh cepat dengan wajah penasaran. “Kemana?”

“Kalau saya tidak salah, ke luar kota.”

Tbc 

💮💮💮

Ivana Story [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang