Rana, gadis culun yang ditemui Abdi dan Gama tempo hari ternyata anak baru di sebelah kelas mereka.
Nama Gama tentu saja sudah mencuat lebih dulu. Ia terkenal bukan hanya statusnya, melainkan skill dalam bidang olahraga dan tentu saja tampangnya yang mirip salah satu aktor China.
Rana sangat penasaran dengan sosok dingin di kelas sebelahnya. Sama sekali tidak mau tersenyum kepada cewek lain.
Rana juga berusaha mendekati Abdi semata-mata hanya untuk mencari tau sosok dingin itu.
"Kata Bu Ida, aku disuruh mencari catatan kelas 12 selengkapnya, berhubung beberapa bulan lagi kita UN. Aku bisa pinjam catatan kamu, nggak?"tanya Rana saat Abdi dan Gama duduk di samping kantin.
"Kalau aku sih bisa, Ran. Cuma tulisan aku kayak cakar ayam, nanti kamu kesusahan sendiri. Heheh.."jawab Abdi.
Pandangan keduanya kemudian beralih pada Gama yang bergeming. Sampai-sampai Abdi harus menyenggol lengannya, barulah ia menoleh ke arah Rana.
"Teman sekelasmu nggak ada yang mau pinjamin kamu?"
Rana seketika shock mendengar pertanyaan Gama. Nafasnya tercekat saat itu. Ia tidak menyangka Gama akan melontarkan pertanyaan itu.
"Kamu kenapa sih, Gam? Kalau nggak bisa bilang aja nggak bisa."sahut Abdi mulai jengah melihat sikap sahabatnya.
"Emang nggak bisa."balas Gama lalu berdiri dan meninggalkan mereka berdua.
"Ck! Maafin temanku, ya. Nanti aku bantu nyariin catatan ke teman sekelasku."ucap Abdi seraya tersenyum manis pada Rana.
Rana mengangguk pelan. Sejenak keduanya terdiam sembari saling menatap. Namun, hal itu tiba-tiba buyar karena kedatangan Raisya.
"Oh, jadi sikap kamu ke semua cewek emang kayak gini, hm?" Raisya berkacak pinggang sembari mendekatkan wajahnya pada muka Abdi.
Abdi cengengesan sembari menggaruk tengkuknya. "Heheh..nggak kok sayang. Ini teman kok, namanya Rana."
"Oh, temen? Temen apa demen?"
"Temen, pikiranmu itu loh."
"Basi! Aku mau putus!"tegas Raisya lalu keluar dari kantin.
Paula mengamati keduanya, namun yang paling menarik perhatiannya adalah Rana. Wajahnya seperti tidak asing.
Siapa ya?
Rana yang mendapati sosok Paula di dekat mereka buru-buru meninggalkan tempat itu.
"Pau, bantuin ngomong ke Raisya. Aku sama Rana nggak ada apa-apa. Dia itu anak baru di kelas sebelah. Dia cuma mau pinjam catatan kok."ucap Abdi memohon pada Paula.
Paula menghela napasnya, "Kalau enggak ada apa-apa, ngapain kalian pake tatapan segala?"
"Ya... gitu doang."
Melihat Abdi yang meragukan, Paula hanya geleng-geleng kepala. Ia pun memesan makanan dan buru-buru meninggalkan kantin.
°°°
Raisya berjalan tergesa-gesa, nafasnya memburu, serta air mata yang tidak mampu dibendung itu segera mengalir ke permukaan.
Bruk!
"Kalau jalan itu pake mata!"teriak Aldo setelah mereka bertabrakan di ujung belokan.
Raisya tidak menoleh, ia hanya menunduk. "Maaf."
Aldo terkejut mendengar suara lirih yang keluar dari bibir gadis itu. Baru kali itu ia mendengar kata sakral dilontarkan oleh gadis galak di depannya ini.
Aldo yang menyadari gadis di depannya ini sedang menangis pun tidak melanjutkan omongannya.
Raisya memutuskan melanjutkan jalannya ke kelas, namun tangan Aldo tiba-tiba mencegatnya.
"Maaf kalau aku lancang. Aku hanya mau ngasih ini."ucap Aldo seraya memberikan sapu tangan berwarna kuning kepada Raisya.
"Nggak perlu kok, terima kasih."balas Raisya menarik pergelangan tangannya. Namun, lelaki itu menahannya dengan kuat.
"Ambillah, aku tidak punya niat buruk kok."
Raisya dengan ragu menerima sapu tangan itu. Setelahnya, mereka berjalan berlawanan arah. Sesekali Aldo berbalik ke belakang memastikan gadis itu baik-baik saja.
Gama yang sedang menyaksikan mereka dari kejauhan pun merasa heran. Ia terheran dengan sikap Aldo yang tiba-tiba seperti pahlawan kesiangan.
Sampailah saat Aldo berjalan melewati Gama. Gama mencegatnya. "Ada tujuan apa kamu mendekati Raisya?"
Aldo terkekeh geli, "Aku nggak seburuk itu kok. Lagian kalau aku mendekati seorang gadis, Raisya nggak masuk di dalam daftarnya. Bisa-bisa kepalaku cedera seperti Pak Beni."
Gama menaikkan satu alisnya. "Oh ya?"
"Kalau aku mendekati cewek, paling Paula sih yang pertama. Seperti ada magnet yang menarik hatiku untuk mendekatinya."
Gama tersenyum miring. "Coba aja kalau bisa."
Kemudian, Gama pun memutuskan untuk masuk ke kelasnya dan tidak melanjutkan obrolannya dengan Aldo.
Aldo pun memasuki kelasnya yang berada di sebelah kelas Gama. Saat memasuki kelas, ia berpapasan dengan Rana.
Aldo memutar bola matanya malas, apalagi saat melihat senyuman yang dilontarkan gadis itu.
"Nggak usah senyum, mungkin bagi mereka kamu itu gadis polos. Tapi, bagiku kamu itu seperti nenek sihir. Nggak usah senyum!"bentak Aldo lalu duduk di kursinya.
Senyuman Rana pun memudar, tergantikan dengan wajah seramnya memandangi pergerakan Aldo.
°°°
Sepulang sekolah, Raisya keluar lebih dulu dari kelas. Ia tergesa-gesa agar tidak bertemu Abdi. Paula pun memaklumi itu.
Setelah membereskan mejanya, Paula pun memutuskan untuk keluar kelas. Saat melewati lapangan basket, Paula mematung menyaksikan Rana sedang asik berbincang dengan Gama.
Deg!
Deg!
Deg!
Paula berusaha mencari cara agar pikirannya tetap tenang. Namun, tetap tidak bisa apalagi tiba-tiba Rana memeluk Gama. Dan Gama tidak menolak sama sekali.
Mata Paula sudah berkaca-kaca, ia tidak menyangka Gama akan berbuat seperti itu. Tanpa sadar air matanya sudah meluruh.
Dada Paula terasa sakit seperti dihantam dengan batu. Sakit sekali melihat orang yang sudah dipercayainya ternyata adalah seorang pengkhianat.
Paula sudah tidak bisa menahan diri, ia pun memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.
Gama, kamu jahat!
°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
DI ATAS LANGIT BIRU
Teen FictionKetika cinta dan cita menyatukan kita dari keluarga yang berbeda