Taman yang terletak di pusat kota itu dipenuhi oleh pengunjung yang menikmati waktu sore mereka. Para anak-anak berlarian, bermain tanpa memikirkan hal-hal yang memberatkan hati mereka sebab mereka terlalu dini untuk mengerti. Tanpa mereka tahu, ada dua pemuda yang sedari tadi memandangi aktivitas menyenangkan yang mereka lakukan sambil berharap jika mereka bisa kembali ke masa kecil. Saat-saat dimana tak ada satupun hal yang membuat keduanya harus tertekan memikirkan keberlangsungan hidup yang cukup rumit. Jiwa mereka ingin kembali pada tawa tanpa beban yang terlepas begitu saja oleh hal-hal yang sederhana.
Dua pemuda itu, Hadden dan Reyan terduduk pada sebuah tikar yang memang disediakan oleh pihak pengelola Taman Kota tersebut. Keduanya membisu, terlalu serius menonton aktivitas orang-orang yang berada disana sambil menilainya sendiri dipikiran mereka. Hadden membuka sekotak camilan kue kering yang diberikan oleh orangtua peserta didiknya tadi, Ia juga membuka kaleng minuman untuk Reyan yang sedang asyik melahap jajanannya. Netra coklatnya terlihat menyala akibat biasan dari cahaya senja. Hadden sempat terpesona melihatnya.
"Rey, makan aja semua. Reno gak bakal mau makan beginian, kalo di simpen di kost juga buat apa? Gue sekarang jarang di kost karena sibuk kerja." Hadden menyodorkan kotak kue tersebut kepada Reyan tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Reyan.
"Uhm ... gue coba, ya!"
Reyan mengambil salah satu kue kering itu lalu melahapnya. Mata rubahnya melebar kala merasakan manis dan gurih yang bercampur di dalam indra pengecapnya. "Ini enak banget loh, Den. Lo harus makan juga!" Reyan kembali mengambil kue kering dari dalam kotak kemudian menyodorkannya dihadapan mulut Hadden. Si Pemuda Tan lantas melirik kue dan Reyan secara bergantian sebelum akhirnya tersenyum kecil dan menerima suapan dari Reyan. Hadden jadi merasa mereka adalah sepasang kekasih yang sedang berkencan.
Apalagi, setelah Hadden mengatakan jika dirinya menyukai pemuda dihadapannya ini, respon Reyan juga terbilang baik. Pemuda manis itu tak mencoba menghindar maupun risih terhadap Hadden yang sedang mencoba mendekatinya. Reyan seolah menerima Hadden dengan tangan terbuka. Padahal, Hadden sudah memikirkan kemungkinan buruk yang mungkin akan dilakukan Reyan kepadanya. Namun, ternyata Reyan malah terlihat senang saat mengetahui ada seseorang yang menyukainya. Tetapi, Ia juga tak memberikan keputusan yang mungkin akan Ia sesali.
Lagipula, masih terlalu dini bagi mereka untuk saling berbagi perasaan. Kendatipun, kenyamanan yang membuat keduanya merasa aman itu telah muncul di hati masing-masing, Hadden dan Reyan masih membutuhkan banyak waktu untuk meyakinkan hati mereka. Toh, Reyan juga masih mencintai Maalik. Hadden jadi tak perlu terburu-buru untuk membuat Reyan jatuh hati kepadanya, karena semua pasti ada saatnya. Setidaknya Ia sudah jujur atas apa yang Ia rasakan kepada Reyan.
Hadden mengangguk-angguk kecil sambil menikmati rasa dari camilan itu, kemudian Ia berucap sambil mendekatkan tubuhnya pada Reyan, "Kue-nya makin manis, soalnya dari tangan lo, hehe .... Boleh disuapin lagi gak?"
Reyan terkekeh kecil mendengarnya, "Iya, itu rasa dari bakteri di tangan gue asal lo tahu," sahut Reyan. Ia kembali menyuapkan kue ke mulut Hadden tanpa merasa keberatan sedikitpun. "Bakteri dari tangan lo ada vitaminnya, Rey." Hadden menimpali. Keduanya tertawa kecil, menikmati waktu kebersamaan mereka yang terasa begitu mengasyikan.
"Oh ya, Den. Tadi lo bilang katanya lo penasaran sama kehidupan gue dan pengen diajarin segala hal tentang diri gue. Lo mau dengerin cerita gue dari awal?" Reyan mengingatkan Hadden soal perkataannya saat mereka masih di tempat les tadi. Sebenarnya, Reyan agak sedikit ragu-ragu untuk menceritakan tentang kehidupannya kepada Hadden, sosok yang jelas-jelas baru Ia temui beberapa hari belakangan ini. Mereka juga baru mulai akrab, Reyan hanya merasa khawatir jika Hadden akan risih ataupun meninggalkannya begitu saja setelah mengetahui latar belakang kehidupannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Savor The Sweetness!
General FictionKrisis ekonomi dalam keluarga membuat Reyan terpaksa bekerja di Cafe Nemoral sejak ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Semuanya Reyan lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Adiknya yang masih sekolah dan juga Ibunya yang sudah sakit...