Chapter 24 : My World Already Fallen Apart

252 55 2
                                    

⚠️ Perhatian! Konten Sensitif! [Depression, Self-harm]

Sebagian dari kalian mungkin akan merasa kurang nyaman. Bilamana diantara kalian ada yang "merasakan" ataupun "mengalami" hal serupa, dimohon untuk segera menghubungi pihak professional!

⊹  ☾  ༝   ♡   ༝  ☽ ⊹

Malam yang semakin larut menuai kesunyian pada lorong panjang rumah sakit. Suasana semakin terasa mencekam tatkala pencahayaan lorong tersebut tampak remang dan tidak ada satupun orang yang melintas disana. Bukannya merasa takut akan hal-hal mistis yang mungkin akan menghampiri, pemuda yang dibalut oleh hoodie tebal dengan rambut kusut itu terduduk pada kursi tanpa seorangpun yang menemani.

Helaan napas beratnya seolah mengisi kekosongan pada lorong tersebut, Reyan mengusap kasar wajahnya yang menunjukan gurat kelelahan dengan sangat jelas. Mata bengkak yang sedikit menghitam, pandangan kosong, bibir pucat dan napas yang sedikit tak beraturan mampu membuat orang-orang menebak bila Pemuda Manis itu tidaklah beristirahat dengan cukup.

Kepalanya terasa penuh mengingat akhir-akhir ini hidupnya tidak berjalan mulus. Masalah keluarga, masalah ekonomi, bahkan masalah cinta sekalipun, Ia gagal menemukan titik terangnya. Reyan sudah sangat lelah. Ia tidak makan dengan baik hingga tubuh yang tadinya cukup berisi kini tampak lebih kurus dikarenakan hilangnya nafsu makan.

Diliriknya ponsel yang tergeletak pada kursi sebelahnya. Tidak ada satupun seseorang yang menghubunginya disaat-saat seperti ini. Termasuk Hadden. Sosok yang tanpa sengaja datang pada kehidupannya itu tidak lagi menghubunginya. Terhitung sudah dua minggu lamanya mereka tidak bertukar kabar, layaknya seperti orang asing yang tak pernah mengenal. Reyan juga tidak berniat untuk mengubungi Hadden terlebih dahulu.

Selama itu pula Reyan mengisolasi dirinya dari rekan-rekannya. Ia tidak pernah menerima panggilan telepon dari Maalik ataupun Liviana yang terkadang ingin mengetahui keadaannya. Meskipun terkadang Maalik langsung datang ke rumah sakit untuk memastikan, Reyan tetap menolak berinteraksi bersama pemuda tampan tersebut. Namun, Reyan merasa sangat-sangat kesepian bilamana tidak ada seorangpun yang mengajaknya berbicara. Situasi ini membuatnya semakin stress dan tertekan.

"Padahal lo satu-satunya tempat singgah buat gue, Hadden .... Kalo kita asing begini, gue ngerasa rumah gue baru aja direnggut secara paksa." Bibir pucat yang sedikit kering itu bergumam.

Netra yang tidak lagi menunjukan binar cantiknya itu bergulir pada pintu putih dihadapannya. Sudah lebih dari dua minggu juga Erina terbaring tak berdaya di dalam sana. Kondisi Ibu dari Reyan itu kian memburuk, menimbulkan kekhawatiran berlebih pada anaknya. Reyan sampai harus mengkonsumsi obat penenang ketika kecemasannya tidak dapat terbendung. Semuanya terasa sangat berat untuk dilewati. Tidak ada satupun keluarga yang bersedia untuk merangkulnya selain Rean.

Dan keadaan seperti inilah yang menghancurkan pertahanan Reyan yang sudah Ia bangun dengan susah payah. Mental yang selama ini dijaga untuk tetap waras, kini semakin terkikis dan hancur lebur. Meski perjalanan hidupnya sudah keras sejak dirinya lahir, percayalah bahwa Reyan tidaklah sekuat itu. Semestanya hancur, sementara Reyan memilih untuk tertimbun di bawah reruntuhan itu tanpa berusaha untuk bangkit.

Reyan sudah tidak peduli mengenai hal-hal baik yang terjadi pada hidupnya. Nyatanya, Sang Waktu tetap berputar tanpa mempedulikan seberapa letih raga yang dipaksa untuk tetap utuh. Ironisnya, tidak pula satupun manusia yang peduli, seberapa besar keinginan jiwa itu untuk lenyap dari panggung kehidupan ini, meninggalkan wangi kehadirannya yang lambat-laun menghilang terbawa angin. Sebagian jiwanya ingin bertahan hidup, tetapi sebagian lagi Ia ingin mati.

Savor The Sweetness!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang