Pupil hitam yang melebar itu bergetar ketika memandang wajah lesu dominannya. Sorot mata yang seolah menunjukan adanya luka yang menganga membuatnya ikut merasakan sesak di dada. Reyan menunggu Hadden melanjutkan ucapannya setelah memanggil namanya.
"Lo mau pacaran sama Maalik gak? Kalo mau, Kita bisa putus sekarang dibanding gue harus mati-matian pertahanin hubungan ini." Kalimat yang diucap secara mendadak itu berhasil menuai keterkejutan Reyan. Ia sampai menahan napasnya beberapa detik saking terkejutnya.
"Gue gak bisa pertahanin lo disaat hati lo masih punya benih cinta buat Maalik." Hadden melanjutkan.
Sementara Reyan masih bungkam, Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa dan harus mengucapkan apa. Memang benar adanya seperti itu. Jauh di dalam hatinya, masih ada sosok Maalik yang mengisi ruang kosong di sana. Nama Maalik yang terukir indah di hatinya sudah tidak dapat Ia abaikan lagi. Ditambah, Maalik sempat mengaku bahwa dirinya juga menyukai Reyan. Di samping itu, Reyan juga dituntut untuk tidak egois dan tegas dalam memilih.
"Rey ..., Gue ngerti kok, lupain orang yang lo cinta emang gak semudah itu. Lo gak bisa tiba-tiba bunuh cinta lo cuma buat orang yang baru aja dateng ke hidup lo. Apa lagi, lo udah lama suka sama Maalik ..., rasa cinta lo ke Maalik bisa aja lebih besar dibanding cinta gue ke lo, Rey. Tapi, lo tetep maksa buat menerima cinta yang gue kasih disaat hati lo cuma pengen sama Maalik. Sayangnya, saat hati lo udah mulai menerima kehadiran gue ...," Hadden menggantung kalimatnya ketika rasa sesak memenuhi dadanya. Ia berusaha untuk terlihat tenang dan melanjutkan,
"Maalik juga terlanjur jatuh buat lo ...."
Hadden menyandarkan pungungnya pada dinding tatkala tidak mendapatkan respon apapun dari Reyan. Ia melirik Reyan sesaat, kemudian memutuskan untuk kembali bersuara.
"Sebenernya, gue udah ngerasa kalo lo sama Maalik emang udah akrab banget. Gue bisa baca dari interaksi lo sama Maalik sewaktu kita pertama kali ketemu malam itu. Maalik bener-bener khawatir sama lo sampe tangannya aja gemetar saking takutnya lo kenapa-kenapa. Lo juga simpen kontak Maalik pake nama yang spesial, 'Favorite Caffeine' .... Perlu lo inget, sebelum gue hadir, orang pertama yang lo cari sewaktu lo ketakutan atau gelisah itu cuma Maalik."
Reyan menatap Hadden yang tengah memandangi langit-langit kamarnya tanpa ekspresi. Reyan tidak menduga jika Hadden masih ingat mengenai hal itu. Namun, perkataan Hadden memang ada benarnya. Reyan mungkin tidak pernah bercerita mengenai apapun kepada Maalik, tetapi kehadiran Maalik sudah cukup membuat hatinya terasa lebih tenang meski Reyan hanya memandang senyum cerah Maalik. Dari sana, Reyan dapat mengukur seberapa besar cintanya untuk Maalik kala itu. Sayangnya, Ia tidak dapat mengungkapkan perasaannya itu kepada Maalik.
"Dari awal, gue emang gak pernah mau sembunyiin perasaan gue ke lo, Rey. Gue juga gak pernah nuntut lo buat bales perasaan gue. Kita udah pernah bahas ini sebelumnya. Karena gue tahu, gue gak mungkin bisa menang dari Maalik." Hadden mulai mengungkapkan pemikirannya selama ini. Netranya berotasi pada Reyan yang memandangnya sedu.
"Tapi, buat sekarang posisinya udah beda. Lo pacar gue sekarang. Meski tanpa gue tuntut, lo harus inisiatif jaga perasaan gue dan memberi timbal balik atas apa yang gue kasih ke lo, termasuk hati lo."
Keduanya saling memandang, tidak ada lagi kalimat yang terlontar dari belah bibir mereka. Disela kebungkaman itu, mereka berusaha menafsirkan sorot mata masing-masing. Reyan yang mendapatkan sorot keputusasaan, serta Hadden yang mendapatkan sorot penuh kebimbangan hati. Mungkin, masalah mereka memang spele. Namun, karena adanya konflik batin di dalam kalbu, mereka jadi sedikit kesulitan untuk menyelesaikannya.
"Tapi, gue punya pertanyaan buat lo. Jawab gue kalo lo udah yakin sama jawaban dari hati lo." Hadden bersuara kembali. Tangannya bergerak untuk menggenggan tangan Reyan. "Reyan, Apa lo rela hati lo digenggam sosok yang bukan Maalik?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Savor The Sweetness!
Narrativa generaleKrisis ekonomi dalam keluarga membuat Reyan terpaksa bekerja di Cafe Nemoral sejak ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Semuanya Reyan lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Adiknya yang masih sekolah dan juga Ibunya yang sudah sakit...