Ruang tamu yang tak begitu luas sesekali diisi oleh tawa renyah dari dua pemuda yang saling melempar canda. Beberapa bungkus camilan sudah tergeletak begitu saja di atas lantai, begitupun beberapa buku dan alat tulis. Atmospir kost sempit itu terasa sangat nyaman, layaknya rumah hangat yang tepat untuk keduanya mereka berteduh. Reyan menopang dagunya, memandang Hadden yang bersandar pada dinding sambil membacakan buku kuliahnya. Yang lebih muda berusaha menjelaskan kepada Reyan, materi apa saja yang Ia pelajari di perkuliahan. Hadden juga merangkum garis besar dari materi yang dibacanya agar Reyan lebih mudah mengerti.
Iris coklat yang berbinar cerah tak henti-hentinya memandang wajah ber-moles yang membentuk rasi bintang itu. Sorot mata tegas, hidung mancung, bibir berisi dan rahang tajam yang dipadukan oleh warna kulit tan eksotis sungguh menggambarkan fitur wajah yang sempurna bagi Reyan. Bagaimana bisa Reyan tidak langsung berpaling dari Maalik jika begini caranya? Reyan sampai sempat melupakan, bahwa dirinya pernah memiliki perasaan spesial terhadap Maalik. Hadden benar-benar berhasil mencuri segala perhatiannya, bahkan hatinya.
Mengingat seberapa dewasa pemikiran pemuda dihadapannya ini membuat Reyan berpikiran, bilamana Hadden menjadi pasangannya, seberapa bahagiakah dirinya? Hadden pasti akan memprioritaskan dirinya, mengajarinya dengan tutur lembut, menegurnya menggunakan cara yang penuh kasih, dan mencintainya seperti dirinyalah satu-satunya orang yang ada di muka bumi ini. Membayangkannya saja sudah membuat sudut bibir Reyan tertarik tinggi-tinggi, menciptakan sebuah senyum cantik yang dipenuhi oleh perasaan tulus. Tanpa sadar, Reyan melewati segala penjelasan Hadden sebab terlalu sibuk mengagumi sosok yang tengah membacakannya buku itu.
Hadden yang menyadari dirinya ditatap penuh puja oleh Reyan menjadi salah tingkah. Telinganya memerah, suara yang tadinya lantang untuk membacakan buku pun perlahan-lahan memelan seiring Sang Empu tidak dapat lagi membendung rasa gugupnya. Siapapun, tolong selamatkan Hadden. Jantungnya seperti sudah meletup-letup akibat tak kuasa menahan gejolak perasaannya. Hadden menepuk pelan wajah Reyan menggunakan buku yang dipegangnya.
"Lo dengerin gue gak, Rey?" tegurnya memastikan. Seraya mencoba biasa saja meskipun dirinya memiliki hasrat untuk mengecup pipi tembam itu.
Reyan terkekeh pelan mendengar teguran Hadden. Anggukan kecil menjadi jawabannya, kendatipun Reyan tidak tahu apa yang terucap dari bibir Hadden sebelumnya. "Dengerin kok .... Suara lo merdu, Hadden. Ayo bacain lagi, gue suka dengerin suara lo. Suara lo bikin tenang," katanya terus terang. Tubuhnya bergerak guna menghapus jarak diantara mereka.
Hadden menggigit bibirnya cukup keras sambil mendongak, memandang langit-langit kost-nya. "Oh God ..., Ini boleh di cium aja gak sih? Pengen cium tapi takut dianiaya, dia galak banget soalnya." Hadden memegang erat dadanya seolah takut jantungnya akan melompat keluar saat itu juga.
"Maksud lo, gue itu pelaku KDRT gitu, Den?" Reyan bertanya dengan mata yang memicing.
"Iy—AAAKKHHH!!"
Sebuah cubitan kecil terpaksa harus diterima Hadden pada pinggangnya. Pemuda itu terlonjak sambil berusaha melepaskan cubitan Reyan yang terasa begitu nyeri dan kuat. Namun yang membuat kesal, Hadden tetap tertawa puas seolah tengah mengejek Reyan. Hal itu tentu saja membuat Reyan semakin membabi-buta dengan melayangkan serangan-serangan lainnya. Hadden memberikan serangan balik dengan menggelitik tubuh Reyan. Keduanya benar-benar menikmati waktu kebersamaan mereka tanpa mempedulikan ada orang lain yang terganggu oleh suara tawa mereka yang mengisi keheningan malam.
Tubuh keduanya terbaring di atas lantai dengan napas yang terengah-engah setelah terlalu asyik bercanda. Ternyata tertawa juga membutuhkan banyak tenaga. Namun, momen seperti inilah yang akan dirindukan oleh keduanya suatu saat nanti. Dipandangnya wajah yang sedikit berkeringat milik Si Manis. Melihat bagaimana pemuda itu menghirup oksigen secara rakus hingga dadanya naik turun, Hadden jadi kesulitan meneguk salivanya. Reyan terlihat begitu panas. Tidak, perasaan seperti ini tidaklah benar! Buru-buru Hadden beranjak dari posisinya guna menghindari hal-hal yang tidak Ia inginkan. Ia menggeleng pelan sambil berharap pikiran negatif itu tidak mengambil alih kewarasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Savor The Sweetness!
General FictionKrisis ekonomi dalam keluarga membuat Reyan terpaksa bekerja di Cafe Nemoral sejak ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Semuanya Reyan lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Adiknya yang masih sekolah dan juga Ibunya yang sudah sakit...