Terdengar suara ketukan di pintu kamar tidurku.
"Kakak! Bangun! Sudah pagi!" Ujar Helena, adik perempuanku.
Aku membuka mata, mengerjap-ngerjapkan kedua mataku. Kurenggangkan tubuhku di atas kasur, lalu kemudian menggeserkan tubuh untuk bangun. Kukenakan sendal tidurku, lalu kuberjalan menuju pintu kamar.
Sorot matahari pagi terhalang oleh gorden jendela kamarku, kubuka gorden agar cahaya sorot matahari dapat masuk ke dalam kamar.
Kubuka pintu, dan kulihat adikku sedang berdiri di depanku.
"Selamat pagi." Sapa Helena dengan riang.
Aku tersenyum tipis pada Helena. "Selamat pagi juga Helena."
"Jangan sampai terlambat kak, ingat, kakak sekarang adalah El Presidente loh," Ucap Helena. Mengingatkan tugas dan tanggungjawabku yang kuemban sejak satu bulan terakhir.
Aku menggelengkan sedikit kepalaku sambil melemparkan senyuman pada adikku ini, Helena hanya terpaut 6 tahun lebih muda dariku, ia kini baru masuk semester awal kuliah.
Aku menepuk-nepuk kepalanya lalu mencium keningnya. "Terimakasih ya sudah membangunkan kakak."
Helena tertawa terkikik. "Sebaiknya kakak segera mandi. Aku dan Mama menunggu di ruang makan ya, Kita sarapan bersama. "
Aku mengangguk. "Baik, kakak akan segera mandi, berpakaian, lalu ke ruang makan untuk sarapan kalau begitu."
Helena mengangguk, lalu turun kebawah menuju ruang makan, sementara aku meraih handuk lalu berjalan ke kamar mandi, setelah selesai mandi, ku berpakaian ; kukenakan jas resmi kepresidenanku, kemudian aku turun menuju ruang makan ; di situ Mama dan Helena sudah menunggu.
Ibu tersenyum padaku, kuhampiri dia sambil mengulas senyum, kucium keningnya dengan hangat.
"Selamat pagi, Ma,"
"Selamat pagi juga putraku, ayo duduk, sebelum kamu dan Helena berangkat, lebih baik kita sarapan dulu." Ujar Mama.
Aku lalu duduk di kursi meja sebelah kanan, Mama duduk di kursi bagian depan, sedangkan Helena ada disebrangku.
Di atas meja makan, terdapat roti yang ditaruh di atas piring besar, mentega, dan meises yang dibungkus botol kaca berukuran kecil. Mama lalu mengambil beberapa potong roti, mengoleskan mentega di permukaan roti, lalu menaburkan meises di permukaan roti yang diolesi mentega, kemudian mama menaruh dua potong roti sandwich untukku dan Helena.
Aku hendak mengenggam roti yang ada di hadapanku, namun sebelum sempat, aku mendengar mama berdehem kepadaku.
"Putraku, bukankah lebih baik kalau kita berdoa terlebih dulu sebelum makan?" Tegur Mama.
Aku merasa agak malu karena ditegur oleh Mama, beliau memang seorang yang cukup religius dengan keyakinan Kristen katholik-nya. Aku dibesarkan oleh Mama dengan keyakinan dan tradisi katholik yang kuat, namun 8 tahun tinggal di negeri Amerika Serikat yang begitu sekuler, ternyata juga telah memberi dampak tersendiri kepadaku. Dampak yang ikut terbawa ketika aku pulang ke tanah air yang masih memegang tradisi agama Kristen dengan kuat.
"Maaf ma," Ucapku dengan nada malu.
Mama tersenyum kepadaku. Tangannya meraih tanganku lalu mengenggamku dengan lembut. "Jangan pernah engkau lupa kepada Tuhan dan agama, nak."
Aku mengangguk dengan patuh.
"Nah, karena kamu adalah anak laki-laki, bagaimana kalau kamu yang memimpin doa?" Kata Mama.
"Baik ma." Jawabku.
Aku menangkup kedua tanganku menjadi satu, kedua siku kutumpukan di atas meja. Lalu aku mulai berdoa, sementara ibu dan Helena mengikutiku berdoa dengan berbisik. Memimpin doa sebenarnya adalah hal yang simbolis ; itu berarti engkau menjadi seorang pemimpin di dalam rumah. Dan itu memang benar ; dahulu ada Ayah yang selalu memimpin doa sebelum makan, karena Ayah adalah kepala keluarga di rumah. Kini, akulah yang menggantikan posisi Ayah sebagai pemimpin keluarga di dalam rumah menjaga ibu dan saudariku, disamping juga menjadi pemimpin bagi seluruh negeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
El Jefe
General FictionTakdirnya telah digariskan. Kakeknya adalah presiden pertama, ayahnya adalah presiden kedua, dan kini Juan Mendez sebagai ahli waris, menjadi Presiden ketiga di negerinya yang bernama Republik San Pata. Di usianya yang baru 25 tahun, Juan Mendez h...