BAB III

19 8 0
                                    

"Pak Presiden, tamu anda ada di depan, haruskah kusuruh dia masuk?" Ujar Martina

Aku mengangguk. "Ya, suruh dia masuk."

Martina mengangguk lalu kembali keluar. Sesaat kemudian ia kembali dengan mengantar sahabatku, Bill Hooker.

Bill tampak sama seperti sebelumnya, perawakannya kekar seperti banteng jantan, kulitnya agak kecoklatan ; hasil dari keikusertaannya dalam klub Football semasa di kampus dulu, rambutnya yang ikal berwarna coklat agak kepirangan begitu juga dengan warna alisnya, dagu belah dan rahang yang kuat. Dengan perawakan fisik dan menjadi atlet football populer, tak mengherankan apabila semasa di kampus dulu Bill menjadi favorit para gadis.

Bill berusaha menyembunyikan senyumnya, terlihat jelas dari ujung bibirnya yang agak tertarik keatas. Ia menganggukan kepalanya kepadaku.

"Pak Presiden..." Kata Bill. Dengan nada setengah hormat dan bergurau.

Aku tersenyum, berusaha menahan tawa ketika mendengar Bill memanggilku dengan sebutan "Pak Presiden".

"Oh ayolah Bill, kau tidak perlu memanggilku seperti itu, kemarilah." Ucapku sambil merentangkan kedua tangan.

Bill tersenyum lebar dan mengeluarkan tawa singkat. Ia lalu berjalan kearahku, merentangkan kedua tangannya yang kekar memelukku dengan erat, kami berdua lalu saling berpelukan.

Bill melepaskan pelukannya, menggelengkan kepalanya beberapa kali sambil menatapku. "Wah wah wah, tidak kusangka. Kukira kemana saja kau selama setahun terakhir ini. Ternyata kau ada di sini, menjadi Presiden untuk negaramu sendiri."

Aku tersenyum kecil padanya. "Maaf, aku tak sempat memberitahumu ketika aku mau kembali kemari, semuanya berlangsung begitu tiba-tiba. Omong-omong duduklah, ada banyak yang mau kita bicarakan," Ucapku sambil menunjuk ke sofa. "kau mau minum sesuatu?"

"Ya tentu, kalau ada Whiski dengan es boleh juga," Kata Bill.

Aku melihat Martina yang masih berdiri di ujung pintu. "Oh ya Martina, tolong bawakan sebotol whiski dan dua gelas kosong kemari."

Martina mengangguk lalu kembali keluar. Aku menuntun Bill untuk duduk di sofa, kami berdua kemudian duduk saling bersebelahan, aku menyenderkan sebelah tubuhku di  dan menaruh lenganku di atas sofa agar dapat menatap Bill.

Mata Bill yang berwarna coklat abu memindai seisi ruangan sambil berdecak kagum. "Wow, ini ruangan tempatmu bekerja?"

"Yah begitulah. Mungkin tak sebagus gedung putih. Tapi yah Inilah ruang kerjaku sebagai Presiden," Ucapku, berusaha untuk merendah.

Ia menoleh sambil menatapku dengan senyum lebar. "Bicara apa kamu buddy? Ini sangat bagus sekali... Dan lagipula kamu sekarang adalah seorang Presiden, hei hei katakan padaku buddy, bagaimana rasanya menjadi seorang Presiden? Pasti rasanya menyenangkan sekali menjadi orang nomor satu yang berkuasa di negerimu?"

Menyenangkan? Mungkin tidak, aku memulai pekerjaanku dengan tantangan masalah ekonomi dan tuntutan politik yang harus aku jawab ; sebab jawabanku menentukan kehidupan 1,5 juta jiwa rakyat San Pata. Baru satu bulan lebih aku mengemban jabatan ini, tantangan dan tuntutan serasa seperti beban berat di pundak yang memberatkan langkahku, dan terdengar seperti dengungan di dalam kepala yang menganggu ketenanganku.

Tapi meski begitu, ada satu hal yang baru saja kurasakan, yang begitu menyenangkan sekali dari posisiku ini. Dua hari lalu aku berkunjung ke sebuah pertanian tembakau kolektif tak jauh dari ibukota. Para petani tembakau beserta keluarga mereka, menghampiriku dan bersorak sorai ketika presidennya datang, kusapa mereka dan kujabat tangan mereka, aku merasa takjub dengan kehangatan mereka yang meluap-luap yang ditujukan kepadaku.

El JefeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang