12 | Pemikiran Amara

206 15 0
                                    

Malam ini Amara sibuk dengan pemikirannya sendiri. Dirinya bahkan melupakan kegiatan belajarnya untuk mempersiapkan ujian sebentar lagi. Kepalanya hanya penuh dengan berbagai macam pemikiran.

Jika ia telaah lagi, ternyata Arzan cukup baik, laki-laki itu menjadi semakin lunak dari hari kehari. Setidaknya Amara bisa menghela nafas lega mengingat itu. Pernikahannya akan berjalan satu bulam lagi dan ada sedikit keraguan yang hinggap di hatinya.

Dari awal mereka bertunangan, Amara merasa kurang cocok, tapi paksaan dan tuntutan dari keluarga membuatnya mau tak mau mengikuti jalan ini. Ia sudah berusaha semaksimal mungkin agar membatalkan pernikahan mereka, ia mencoba berbicara kepada Papa nya tanpa sepengetahuan Arzan.

Namun nihil, tak ada hasil apapun. Sekarang tidak ada yang bisa membantunya. Apakah ini memang takdirnya? Apa memang ia harus menikah dengan Arzan? Ah, Amara pusing!

Kuliahnya saja belum selesai dan mirisnya ia sudah harus menikah. Papa nya sama sekali tidak memikirkan perasaannya. Jika boleh jujur, Amara ingin hidup seperti orang-orang, lulus kuliah tepat waktu, kemudian berkarir terlebih dahulu baru memikirkan pernikahan.

Amara mengacak rambutnya geram. Tak ada yang bisa ia lakukan, suaranya tidak akan ada yang mendengar. Papa nya hanya berfikir bagaimana agar perusahaannya bisa selamat dari kebangkrutan.

Tapi kenapa harus dirinya yang lagi-lagi di korbankan?

Pernikahaan bisnis. Amara berdecak, apa ia bisa bahagia kedepannya? Ketakutan-ketakutan itu muncul dibenaknya malam ini membuat Amara tidak bisa tidur sama sekali.

"Amara."

Ketukan pintu dan seruan yang memanggil namanya membuat Amara menoleh, ia berjalan menuju pintu kamar dan membukanya. Ada Mama nya yang tersenyum sambil membawa nampan makanan di tangannya.

Mamanya melenggang masuk, di susul oleh Amara setelah menutup pintu. "Padahal nanti aku turun, makan sendiri," ucap Amara ketika melihat Mama nya menyodorkan piring.

"Kamu kenapa? Hari ini keliatannya murung terus, dipanggil buat makan jawabnya nanti terus. Nih, abisin!" titah Mamanya.

Amara mengambil piring yang di sodorkan Mamanya. Ia menatap lekat kearah nasi yang sama sekali tidak menggugah seleranya.

"Mau Mama suapin?"

Menjawab dengan gelengan, ia kemudian mulai menyendokan nasi dan memakannya dengan lambat.

"Ma," ucap Amara terkesan lirih.

"Kenapa?"

"Kalo aku nikah, jangan buang aku ya?"

"Ngomong apa kamu? Mana mungkin Mama sama Papa buang kamu? Amara, satu yang harus kamu ingat. Meskipun kamu menikah, kamu masih bisa melakukan apapun sesuka kamu. Mama bakal selalu dukung kamu, asalkan itu hal yang positif. Kamu mau kejar karir? Boleh. Mama sama Papa udah ngomongin semuanya sama Arzan," jelas Mamanya dengan tangan yang mengelus lembut surai panjang Amara.

"Amara takut," lirih Amara dengan kepala yang menunduk.

"Apa yang kamu takutin? Arzan baik, dia laki-laki yang penuh tanggung jawab. Kalo misal suatu hari nanti kalian ada percekcokan, obrolin baik-baik, selesaiin baik-baik, Arzan pasti mengerti."

"Kenapa harus nikah, sih, Ma?"

"Maafin Mama sama Papa ya? Kita orang tua yang gak becus, bahkan sekedar membahagiakan kamu aja kita gak mampu."

"Bukan gitu-," suara Amara tercekat.

"Aku cuma ..., aku- kenapa harus menikah, maksud aku? Gak ada jalan lain lagi?"

"Papa kamu itu memang rumit. Tapi dia itu sayang sama kamu, apalagi kamu itu putri kecilnya yang selalu ia nanti-nanti."

"Papa sayang sama aku?"

"Tentu. Gak ada orang tua yang gak sayang anaknya."

Amara diam, ia berusaha menghalau air matanya yang hendak meluncur.

"Sini Mama suapin, kamu harus makan banyak, jangan banyak berfikir, untuk saat ini kamu fokus buat ujian aja," ucap Mama nya sambil menyodorkan sendok ke mulutnya.

•••
makasi buat yg udah vote guys

ARZANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang