02 | Capek

706 41 58
                                    

"Amara! Arzan sebentar lagi sampe, kamu siap-siap."

Amara menghela nafas lelah, sebenarnya bagaimana pikiran kedua orang tuanya itu? Ia baru pulang kuliah, baru sampai di kamar dan baru mendudukkan diri di kasur. Lantas mereka langsung menyuruhnya kembali bersiap-siap?

Untuk Arzan?

Dirinya benar-benar tak habis pikir. Arzan. Kedatangan laki-laki itu benar-benar membuat hidupnya hancur. Setiap mengingat semua itu, ingin rasanya ia menangis meraung-raung.

"Aku baru pulang, Pah. Capek. Lagian mau ngapain sih dia? Bukannya fitting baju udah kemaren?" tanya Amara menatap datar Papa nya.

"Mungkin dia mau ngobrol sama kamu, atau mau ajak kamu ke luar supaya lebih deket."

"Papa gak liat aku baru aja pulang?"

"Amara! Kamu mau malu-maluin keluarga kita?" sarkas Papa Amara menatap putri nya nyalang.

"Malu? Seharusnya sekarang Papa juga malu! Papa harusnya malu karena jual anak Papa sama cowok kayak dia!" balas Amara sambil berdiri.

"Papa gak jual kamu! Papa lakuin ini buat masa depan kamu!"

Amara terkekeh sinis, "Masa depan aku atau masa depan Papa? Papa gak sadar sama kelakuan Papa? Papa nuker anak papa sama perusahaan gak jelas itu!"

"Diam Amara! Jangan buat Papa marah! Siap-siap sebelum Arzan datang, jangan buat dia menunggu!"

Brak

Pintu kamarnya dibanting begitu saja, air mata Amara mengalir, sungguh kecewa dengan sikap Papa nya yang selalu mengutamakan harta.

•••

"Lo ngapain kesini?" Amara berkata ketus setelah kepergian kedua orang tuanya.

Arzan menoleh, ia tersenyum kecil. "Ke luar, yuk?" ajaknya.

"Ogah."

Melihat raut wajah Amara yang tak enak di pandang itu, Arzan berdehem pelan. Sebenarnya agak canggung, karna setiap ia berbicara atau bertanya, Amara hanya akan berdehem dan menjawabnya singkat namun ketus. Kentara sekali jika gadis itu sedang kesal.

"Lo kenapa gini banget sih sama gue?" tanya Arzan intens yang sukses membuat Amara menoleh.

"Ya Lo pikir aja sendiri! Kenapa gue bisa kayak gini sama Lo!"

Arzan menghembuskan nafas kasar, tanpa mengalihkan tatapannya, ia berkata, "Sikap gue tergantung sikap Lo ya Mara. Kalo lo selalu kayak gini sama gue, jangan harap gue baik terus sama Lo."

"Hah?" Amara membuka mulutnya kaget.

"Lo ngancem gue di sini? Di rumah gue? Sadar lo?"

"Kalo Lo gak mau keluar hari ini, oke. Gue pulang sekarang, gue liat sampai mana Lo bersikap kayak gini sama gue."

Bangkit dari duduknya, Arzan kemudian menghampiri kedua orang tua Amara yang sedang di ruang keluarga. Ia pamit kemudian pulang mengendarai mobilnya.

"Gak jadi pergi?" tanya Mama Amara membuat gadis itu menoleh.

"Ngga."

•••

"Kak! Gue cuma minta satu kartu atm Lo doang!"

"Cherry! Gue udah ngasih Lo uang ya Minggu lalu!" balas laki-laki itu sambil melepas kacamata yang melekat di matanya.

"Kurang!"

Arzan menatap kesal adiknya, ia kepalanya yang sedang pening itu. Sungguh, racauan Cherry membuatnya tak bisa fokus bekerja. Gadis itu tiba-tiba datang ke kantornya, menerobos masuk, kemudian meminta kartu atm milik Arzan.

Padahal Arzan selalu rutin memberi gadis itu uang. Minggu lalu ia sudah memberi gadis itu 200 juta. Entah di gunakan untuk apa hingga gadis itu tiba-tiba minta kembali kepadanya.

"Kak," suara Cherry melunak. Ia menatap Arzan dengan raut wajah sedihnya.

"Lo tau kan kak kalo Papa-"

"Diem," balas Arzan datar.

"Papa-"

Arzan menggebrak meja, terlalu pusing mendengar ocehan Cherry mengenai pria brengsek yang dia sebut Papa itu.

"Diem! Jangan sebut si brengsek itu di depan gue!" bentak Arzan membuat Cherry mendekat.

"Yaudah! Kalo gitu kasih gue uang! Gue lagi butuh, gue kalo gak minta sama Lo mau sama siapa lagi?!" ucap Cherry dengan suara keras.

"Gue harus ke kuburan Mama buat minta uang? Atau ke rumah Papa dan dapet usiran lagi? Tega Lo sama gue?!" bentak Cherry lagi.

Arzan menunduk dengan kedua tangan memegang kedua ujung meja kerjanya. Ia menatap Cherry intens, tapi sama sekali tidak membuat gadis itu takut. Sifat keras kepala mereka memang sama.

"Kalo Lo pake itu uang buat belanja atau kebutuhan Lo yang lain, gue gak papa. Berapapun, gue kasih sekarang juga. Tapi ini Lo minta buat minum-minum sama temen Lo yang gak jelas itu kan?!" sarkas Arzan berusaha meredam emosinya yang sudah ke ubun-ubun.

"Lo itu gak tau gimana isi pikiran cowok, Cher! Lihat aja Lo sekarang! Pulang malem! Baju kurang bahan! Mabok sama cowok! Gue tuh khawatir sama lo, mau sampai kapan sih lo kayak gini?"

Cherry diam, ia menatap kakak nya tanpa ekspresi. Kemudian gadis itu duduk di sofa dan bersidekap dada. Ia mengalihkan pandangan keluar jendela, menghindari tatapan Arzan.

"Lagian kalo gue lagi di club' juga gak sampe malem banget, orang-orang Lo tuh suka maksa gue balik," lirih Cherry yang masih di dengar Arzan.

"Lo minta berapa?" tanya Arzan yang membuat Cherry mengalihkan pandangan.

Dengan binar bahagia yang kentara di matanya, gadis itu menjawab, "100 juta."

Arzan mengambil handphone nya, senyum Cherry semakin lebar. "Gue transfer 200 juta sekarang, tapi Lo harus ninggalin temen cowok Lo itu."

Dahi Cherry mengerut, ia bangkit dari duduknya. "Apa sih kak?! Damar temen gue, ya! Dia baik, selalu nolongin gue kalo gue lagi susah, selalu ada buat gue, nggak kayak Lo yang katanya keluarga tapi cuek bebek sama gue!"

Setelah mengatakan semua itu, Cherry keluar dari ruangan Arzan. Meninggalkan laki-laki itu yang kini terdiam.

"Punya Adek mau banget di begoin si Damar," lirih Arzan kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya.

•••

ARZANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang