05 | Bujukan maut

418 20 0
                                    

"Kaki gue sakit."

"Ini semua gara-gara lo!"

"Kalo gue gak bisa jalan gimana!?"

"Aw! Kaki gue!"

"Lo harus tanggung jawab!"

"Ngomong bukannya diem!"

Arzan menatap Amara dengan perasaan tak enaknya. Daritadi ia hanya diam mendengarkan semua keluh kesah gadis itu mengenai kakinya yang terluka. Arzan sudah memanggil dokter, dan kaki gadis itu juga sudah diobati. Untung saja Amara tidak terluka parah.

"Maaf," ucap Arzan akhirnya.

"Emang lo pikir maaf aja bisa ngembaliin kesehatan kaki gue?!"

"Tapi lo duluan yang bikin gue marah," ucap Arzan lagi.

"Lo-" Amara menghentikan ucapannya kala mengingat tujuan sebenarnya ia datang ke rumah Arzan.

Ia sengaja datang ke rumah laki-laki itu pagi-pagi sekali karna ingin membujuk Arzan mengenai uang dan kartu atm itu. Ia sampai melupakan niatnya itu.

"Minta maaf yang bener," ucap Amara  tanpa ekspresi.

"Iya sayang. Maaf, gara-gara gue, kaki lo jadi luka."

Amara berdecak, "tanya dong, gue maafin lo apa nggak. Yakin banget gue maafin?" ketus gadis itu.

"Gue di maafin, kan?"

"Nggak!" Amara menggelengkan kepalanya keras.

"Yaudah."

"Heh! Kok gitu?!"

"Yaterus gue harus gimana? Gue udah minta maaf, kan? Tapi lo yang gak mau maafin."

"Lo tuh harusnya bujuk gue! Apa kek! Cari cara biar gue maafin!" Teriak Amara kesal.

Arzan tersenyum kecil, "Lo mau gue bujuk?"

Memalingkan wajah adalah hal yang langsung Amara lakukan. Malas menatap wajah laki-laki di hadapannya ini.

"Jadi, gue harus gimana supaya lo maafin gue?"

"Gue mau-"

Drrt
Drrt
Drrt

Getaran di saku handphone nya membuat Arzan segera mengambilnya, laki-laki itu mengangkat panggilan telfon yang masuk ke handphone nya.

"Halo?" ucapnya.

Arzan mendengarkan orang di sebrang sana yang sedang berbicara, kemudian matanya menatap tajam kearah Amara. Gadis yang di tatap seperti itu pun seketika was was.

"Biarin dulu, nanti gue telfon lagi."

Tut

Arzan mematikan panggilan telfonnya kemudian menatap Amara dengan tajam lagi. "Lo izinin Cherry ketemu cowok itu?"

Amara tau siapa cowok yang di maksud oleh Arzan. Siapa lagi jika bukan Damar?

"Gue bener-bener gak habis pikir ya sama lo."

"Gue-"

"Diem!"

"Arzan ...," Cicit Amara dengan mata berkaca-kaca. Sepertinya ia harus segera menjalankan misinya.

Amara berusaha bangkit dan mendekat ke arah Arzan. Ia memegang lengan lelaki itu yang terkepal. Sebenarnya, ia ragu jika rencananya akan berhasil, namun tidak ada salahnya untuk mencoba.

Arzan terhenyak. Ia sempat tertegun sebentar, tidak salah? Amara memegangnya? Biasanya gadis itu akan sangat malas jika berkontak fisik dengannya. Tapi kali ini?

"Gue cape," lirih Amara kemudian terisak pelan.

"Gue cape liat lo marah-marah terus, gue takut, Ar."

"Gue takut waktu lo marah apalagi sampe kasar kayak tadi. Gue takut sama lo, gue gak mau nikah sama lo karna ini."

Arzan sedikit tertarik dengan pembahasan yang gadis itu keluarkan.

"Gimana kalo nanti gue nikah sama lo, lo sering marah-marah terus KDRT sama gue?"

Laki-laki itu tertegun, ternyata ini alasan Amara tidak mau dengannya? Karna ia sering marah-marah dan bersikap kasar? Tapi itu semua juga karna Amara sendiri yang selalu memancing emosinya.

"Gue sayang sama lo, gue gak mungkin marah-marah ataupun kasar kalo lo nurut," balas Arzan pelan.

"Gue bakal nurut, asal lo juga nurutin ucapan gue kali ini."

"Lo bohong kan?"

"Nggak. Gue serius."

"Lo mau apa?"

"Biarin Cherry sama Damar, terus kasih dia uang atau kartu atm lo. Dia mau bantu Damar buat biaya operasi Ibu nya."

"Nggak!"

Arzan menggeleng pelan. Ternyata perubahan sikap Amara karna ini? Ingin membujuknya supaya mengijinkan Cherry bersama Damar hari ini? Tentu tidak. Laki-laki itu hanya memanfaatkan adiknya, dan dia yakin, mengenai operasi itu juga bohong.

Amara berdecak pelan, gagal.

Berdiri dari duduknya, Arzan keluar dari kamarnya. Amara tidak tinggal diam, ia berteriak keras.

"Arzan! Sakit!"

Arzan yang baru keluar dari kamar pun kembali bergegas ke kamarnya. Ia menatap Amara. "Kaki lo sakit lagi?"

Dengan polosnya, Amara menggelengkan kepalanya perlahan. Ia tersenyum kemudian memegang perutnya. "Perut gue yang sakit, belum makan."

"Lo belum makan?!"

"Belum. Tadinya gue mau ajak lo sarapan pagi tau, tapi lo nya lagi marah-marah."

"Lo- argh! Lo kok gak bilang?!"

"Jangan marah-marah dulu bisa? Gue laper," ucap Amara datar.

"Tunggu, gue masakin sesuatu buat lo."

"Ikut!"

"Nggak! Lo tunggu aja di sini, gue gak lama."

"Gamau!"

"Tunggu!"

"Nggak!"

"Tunggu di sini, Amara!"

"Mau ikut!"

"Tapi kaki lo-"

"Gendong!"

Arzan membulatkan matanya syok. Apa ia tidak salah dengar? Gendong? Gadis itu memintanya untuk digendong?

"Hah?"

"Oh jadi lo gak mau? Karna gue berat, ya? Yaud-"

Tanpa basa basi lagi, Arzan segera menggendong gadis itu. Ini kesempatan yang tidak bisa ia lewatkan dalam hidupnya. Lima bulan menjalin hubungan bersama gadis itu, baru kali ini Amara dengan sukarela memintanya untuk digendong.

"Lo wangi, Ar."

Amara memeluk tubuh atletis cowok itu. Arzan berjalan sepelan mungkin, ia benar-benar bahagia. Ingin tak ingin melepas Amara sekarang. Ia ingin terus dalam posisi seperti sekarang.

"Lo suka?" tanya Arzan.

"Suka. Parfum baru, ya?" Amara mendongak.

Arzan tersenyum kecut, kemudian menggelengkan kepalanya pelan. "Gue emang selalu pake parfum ini, lo nya aja yang gak sadar."

"Eh, kirain baru."

"Parfum gue aja lo lupa."

"Ih bukan gitu! Gue kan gak ngeh! Orang kita ketemu selalu debat."

"Iya iya," balas Arzan sekenanya.

"Tapi Ar, lo kok lelet banget sih? Belum sampe-sampe daritadi, perasaan dapur lo gak jauh-jauh amat."

Arzan tersadar, kemudian berjalan dengan cepat menuju dapurnya. Ia mendudukan Amara di kursi meja makan, menyuruh gadis itu agar tetap diam menunggunya.

•••

ARZANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang