Menghadapi Trauma

27 4 0
                                    

Sudah lama rasanya sejak terakhir kali aku upload. Aku merindukan kalian para pendengar setiaku 😭

Yah, kurasa akhir-akhir ini aku sedikit emosional, bahkan dalam menulis paragraf awal aku menggunakan kata-kata yang emosional.

Beberapa bulan ini hidupku sangat kacau, tak jarang "kematian" terlintas dipikiranku. Aku tidak berbohong, inilah kenyataannya. Sedikit banyak aku berharap ada seseorang entah siapa datang kepadaku dan mengulurkan tangannya untuk membawaku pergi dari hidup yang menyesakkan ini. Namun takdirku tak berkata demikian dan aku harus terus sendirian dalam waktu yang cukup lama.

Aku muak tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.

Mengakhiri hidup? Sangat tidak baik dan tidak boleh untuk dilakukan tapi ya, aku sudah mencobanya.

Saat itu kusadari hidup sangatlah menyakitkan dan aku merasa seperti "dipojokkan" oleh kehidupan ini. Tak ada yang berpihak padaku, semuanya menuntutku atas sesuatu, sedangkan aku sendiri sudah tak mampu untuk melakukan hal kecil sekalipun. Itu semua terjadi saat aku berharap dengan traumaku. Aku merasa benar-benar terpojokkan. Perasaan "hampir gila" memenuhi kepala dan tak ada yang lebih menggiurkan di pikiranku saat itu kecuali melarikan diri dengan kematian.

Disclaimer: Ceritaku di paragraf selanjutnya mungkin terdengar sangat lucu tapi yasudahlah, namanya juga pengalaman. Aku juga tidak berhenti tertawa ketika mengingatnya.

Diriku yang berharap mati pun mencoba dengan tidak makan, seperti halnya ketika sudah mati kita tidak akan makan. Dengan dasar pemikiran itu aku memulainya. Beberapa hari berlalu, aku hanya minum dan itu sangat sedikit sekali, sungguh! Hal yang kulakukan saat itu hanyalah tidur dan tidur saja, berharap saat bangun aku sudah tiada. Lama-kelamaan aku mulai bisa merasakan diriku yang sedikit demi sedikit kehilangan raganya. Aku mulai tak bisa membedakan mana mimpi dan kenyataan. Ingatanku kabur dan bias, bercampur dengan ingatan di mimpi yang kukira terjadi asli di dunia nyata. Saat itu aku masih semangat menjemput ajal, meski tubuh mulai menunjukkan reaksinya tapi aku teruskan saja. Hingga akhirnya, perasaan tak nyaman mulai menyelimuti, emosi tak stabil, badan pegal-pegal, tubuh terasa sangat aneh, dan kelaparan ini makin menjadi-jadi. Terasa seperti "hampir gila" part 2. Kusimpulkan, rasa sakit sebelum mati itu sangat tidak enak. Jika aku harus menahan perasaan yang sangat tidak enak itu hingga ajalku datang, kurasa aku bisa benar-benar gila. Padahal aku juga sedang menahan kegilaan karena trauma, ini malah ditambah gila karena menunggu ajal, ribet sekali! Aku pun mulai berpikir jika harus gila, cukup salah satu saja alasannya! Entah karena trauma atau karena menunggu ajal. Aku tidak mau dua-duanya! Tidak enak!

Akhirnya aku pun mengurungkan niatku untuk mati. Aku tidak tahan merasakan sakit sebelum mati. Astaga... Rasanya sungguh tidak nyaman!

Akhirnya kupilih untuk menghadapi trauma saja.

Lagian aku tidak tahu mau bagaimana lagi... Huft!

Begitulah, sampai di situ saja cerita suramku yang ternyata cukup lucu. Aku menulisnya tidak untuk ditiru ya kawan. Jika kau kesepian, merasakan hal yang sama sepertiku, tenang kau tidak sendirian. Aku ada di sini! Lihatlah, aku melanjutkan hidupku meski aku merasa benci. Itu tidak masalah karena aku benci dengan "repot" yang dua kali lipat. Selain itu, ada alasan lainnya, simak sampai bawah ya!

Part kali ini aku akan memberi beberapa saran untuk kalian yang juga merasakan hal yang sama sepertiku~

Oke lanjut!

Kalian punya trauma besar dalam hidup kalian? Jika iya, bukankah kalian berpikir untuk tidak pernah menjumpai penyebab trauma itu lagi untuk selamanya? Benar bukan? Siapa pun tak ingin mengulang traumanya lagi.

Cukup satu trauma maka hidupmu tidak akan pernah sama lagi untuk selamanya. Sikapmu akan berubah, perasaanmu akan berubah, dan cara pandangmu terhadap dunia akan benar-benar berubah. Tidak ada yang sama lagi untuk selamanya. Meski kau mungkin masih bisa memikirkan perspektif dirimu yang sebelumnya, tapi pasti keputusan yang kau ambil sangat berbeda dari sebelumnya. Kenapa? Karena kita sudah belajar dari pengalaman. Selain itu juga trauma selalu membuat diri kita merasa tidak nyaman, dan itu membuat kita menjadi lebih reaktif dalam menanggapi segala sesuatu. Hal itu benar-benar menyulitkan kita dalam berinteraksi, iya kan?!

Sebenarnya, aku ini hidup berdampingan satu atap dengan sumber traumaku. Aku terus tinggal bersamanya, hingga suatu saat aku punya kesibukan di luar kota selama beberapa tahun sehingga aku jauh darinya.

Hidup terbebas dari sumber trauma terasa sangat lega, bebas, dan menyejukkan. Namun hanya sebatas itu saja hingga aku kembali hidup satu atap dengan sumber traumaku lagi.

Setelah tinggal dengan "udara sejuk" itu, sepulangnya aku dari sana aku langsung dihantam dengan sangat keras oleh traumaku.

Beberapa tahun terakhir aku pergi merantau, resistensi diriku terhadap trauma mungkin melemah sehingga aku sampai ingin segera mati padahal sebelumnya dulu aku bisa hidup dengan trauma itu selama 18 tahun.

Jujur saja memang trauma itu benar-benar mengerikan, tapi bukan berarti tidak bisa dihadapi. Hanya saja, untuk menghadapi dan berdamai dengan itu akan sangat menguras hidupmu. Bahkan, harga untuk menghadapi trauma adalah membuang seluruh kesibukan duniamu dan fokus hanya pada satu hal itu tanpa diganggu. Sulit bukan berarti tidak bisa. Sulit artinya ada harga mahal untuk membayarnya.

Intinya, jangan menyerah menghadapi traumamu. Jika mungkin, tantang saja trauma itu untuk membunuhmu. Toh, aku sudah pernah mencoba membunuh diriku sendiri dan itu tidak berhasil, apalagi "dia" (seseorang yang menjadi sumber traumamu) atau bahkan trauma itu sendiri (trauma terhadap sesuatu hal). Maksudku, "aku" yang berhak atas nyawaku sendiri saja tidak memiliki kendali atas nyawaku (untuk dicabut ataupun tidak), aku masih harus menunggu restu Tuhanku untuk mengakhiri hidupku, apalagi orang selain diriku yang tidak memiliki hak atas nyawaku.

Aku yakin jika memang sudah saatnya ajalku menjemput maka nyawaku pasti akan terenggut. Tapi jika memang ajalku belum datang, mau sebanyak apapun percobaan yang kulakukan, aku tidak akan mati. Meski awalnya aku berharap untuk segera ... . Tapi sekarang tidak lagi.

Entah bagaimana aku merasa lebih menyayangi diriku sendiri saat ini. Aku tersadar, "dia" sudah menemaniku melalui semua kesulitan hidup ini. "Dia" satu-satunya yang tidak meninggalkan "jiwa"-ku yang kesepian meski aku telah berusaha menyiksanya sedemikian rupa. "Dia" adalah ragaku, tubuhku sendiri.

Bisa saja, "dia" membuang jiwaku dan menerima jiwa lain yang lebih baik dariku tapi "dia" tak pernah melakukan itu. Kurasa itu sudah cukup untuk menyadarkanku.

Begitulah sedikit banyak cerita dariku malam ini. Ambillah pesan baiknya dan buang yang buruk-buruk!

Jangan ambil hal-hal negatif seperti perbuatanku yang tidak patut dicontoh! Aku menuliskan ini agar aku bisa melihat lebih banyak orang berhasil melawan traumanya, atau setidaknya bertahan dan tidak kalah dari traumanya ya! Bukan sebaliknya!

Selamat malam semua, semoga hidup kalian bahagia selalu! Aku berharap yang terbaik untuk kalian meski aku tak kenal siapa kalian disana, bye!

-INFJ 6w7

Tentang INFJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang