3. Keputusan

59 13 0
                                    

"Jadi, gimana sayang keputusanmu?" Jiah mulai membuka bicara.

Aira menunduk ragu. Ia menggelengkan kepalanya pelan. Jiah dan Pendro terkejut, mengira kalau Aira menolak. "Kamu mau menolak??" ucap langsung Jiah.

*****

Matahari yang sudah terbit tidak bisa membuat kebisingan pada pagi hari di rumah Aira hilang. Jiah dan Aira sibuk mempersiapkan makanan untuk jualan di depan. Sedangkan, Nayla yang sudah ada di rumah, membantu menyiapkan sarapan ayah dan keluarganya. Pendro masih sibuk di depan lemari kamarnya untuk memilih kemeja. Nayla yang sadar kalau ayahnya belum segera keluar, langsung menghampiri ke kamar ayahnya.

"Ayahhh, kok lama banget sih?" tanya Nayla sambil mengetuk pintu kamar ayahnya.

"Iya, bentar. Ini mau selesai," mendengar itu, Nayla hanya bisa menggelengkan kepalanya terheran-heran. Lalu, ia kembali ke meja makan untuk menyiapkan makanan.

"Bun, yah, kak, udah siap nih sarapannya!" teriak Nayla jelas di balas juga dengan teriakan keluarganya yang berada di tempat berbeda.

Tak selang lama, di sinilah keluarga Aira yang sedang sarapan bersama. Sekarang lebih lengkap karena adiknya, Nayla yang sudah pulang. Kehadiran Nayla tentu meramaikan kembali suasana keluarga Aira. Adiknya itu banyak cerita tentang kehidupannya di Aceh. Sampai akhirnya, di tengah-tengah sedang sarapan, kedua orang tua Aira menatap Aira dengan serius. Suasana yang serius ini membuat Nayla yang baru datang bingung karena tidak tau apa-apa.

"Kemarin dia datang, Aira." Ucapan itu jelas membuat Aira yang baru mau makan sesuap nasinya langsung ia turunkan. Ia menatap bundanya dengan serius.

Jiah tersenyum. Begitu pula dengan Pendro yang juga tersenyum ke Aira. "Apanya? Kenapa? Siapa yang datang, bun?" tanya Nayla beruntun dengan penasaran.

"Orang yang datang untuk melamar kakak kamu, La," penjelasan itu tentu membuat Nayla membulatkan mata terkejut. Ia beralih ke kakaknya yang hanya diam karena juga terkejut.

"Serius, kak? Demi apa?? Aaaa," pekik senang Nayla sambil memeluk erat Aira yang ada di sampingnya.

"A-apa sih, kan kakak belum jawab apa-apa...," timpal Aira dengan suara yang pelan.

"Harus terima dongg! Haruuss," seru Nayla heboh membuat Jiah dan Pendra hanya menggelengkan kepala mereka. Aira tersenyum tipis. "Udah ah, lanjut makan dulu."

Perkataan bunda Aira tentu membuat Aira sama sekali tidak berhenti untuk tersenyum. Bahkan ia yang sangat jarang bertemu dengan bosnya itu atau bisa di bilang ia hampir tidak mengenali wajah bosnya sendiri, hanya dengan melamar dirinya membuatnya seperti diterbangkan begitu tinggi di atas langit. Lihat? Belum menikah, ia sudah menyukainya. Bagaimana ini?

Jiah cerita kalau Galang datang bersama keluarganya untuk melamar putrinya, tetapi ia memberi saran untuk mereka datang kembali di saat Aira juga ada untuk dilamar. Jiah juga menjawabnya dengan bijak agar menunggu bagaimana keputusan Aira. Karena mereka bisa dengan senang hati menerimanya, akan tetapi tetap saja harus menunggu keputusan dari Aira.

Mendengar itu, mereka pun memilih untuk menyelesaikan sarapannya dulu, baru kemudian membahasnya dengan serius. Pendro sampai izin telat beberapa menit untuk bisa membahas ini langsung dengan anaknya. Nayla yang baru tau pun lebih semangat membahas ini daripada Aira sendiri. Ayah dan bundanya hanya bisa terheran-heran. Setelah selesai sarapan, keluarga Aira memilih pindah tempat ke ruang tamu. Begitu pula dengan Nayla yang ikut penasaran jadi nimbrung juga.

"Jadi, gimana sayang keputusanmu?" Jiah mulai membuka bicara.

Aira menunduk ragu. Ia menggelengkan kepalanya pelan. Jiah dan Pendro terkejut, mengira kalau Aira menolak. "Kamu mau menolak??" ucap langsung Jiah.

TAKDIRA (Takdir Aira)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang