typo.
Aula musik yang agung dipenuhi puluhan orang. Kendaraan-kendaraan indah terparkir di halaman, mayoritas tamu mengenakan gaun dan jas formal, masing-masing dari mereka memancarkan pesona dan keanggunan.
Di lounge khusus, Benjamin mengenakan jas hitamnya, meskipun wajahnya sedikit pucat, aura dan paras tampannya masih sangat memikat. Ketika seorang staff memanggilnya untuk keatas panggung. Benjamin menatap sendu pada kursi di lantai dua. William memperhatikannya lalu, memberi tepukan di bahunya.
"Aku harap dia akan mendengarkanku" sendu Benjamin
Dia melangkah ke kursi. Menyingkap ujung jasnya dan duduk ketika ujung tumit kaki kanannya mendarat di pedal. Mata Benjamin melembut, kepalanya terangkat, mendongak keatas dan menghela nafasnya, "Biarkan seluruh Orang mendengar kisah kita." bisiknya
Tangan Benjamin terangkat, jemarinya menyentuh tuts, alunan nada lahir, mengalir lembut dan ceria. Irama waltz melompat-melompat menggelitik hati para pendengar. Benjamin tersenyum, ingatannya berputar, mengalir bersama lagu pada kenangannya bersama sang terkasih.
Musik berhenti, lagu pertama selesai. Namun belum sempat penonton memberikan tepuk tangan, jemarinya telah menekan chord. Bulu remang semua orang berdiri, jemari Benjamin melompat dari satu tuts ke tuts lain dalam sekejap membawa alunan yang cepat.
"Apa dia benar-benar hanya memiliki sepuluh jari?"
"Sial, orang ini benar-benar monster."
William disisi lain khawatir kecepatan ini akan memperparah cideranya.
Begitu Nocturne yang indah berakhir. Benjamin akhirnya melepaskan pianonya setelah hampir satu jam bermain. Tepuk tangan terdengar riuh, bergema di seluruh aula. Tidak ada yang menyadarinya, tangan kanannya gemetar kuat. Dia bisa merasakan cideranya yang semakin buruk.
Ini adalah yang terakhir. setelah janjinya terlaksana dia tidak akan menyentuh piano lagi! Dia benar - benar akan melupakan semuanya dan menerimanya.
Benjamin menoleh ke kursi penonton yang dibiarkang kosong, dirinya tertawa miris. Berpikir betapa bodohnya dia mengharapkan seseorang yang sudah membencinya untuk menontonnya. Dia menghela napas, mengambil sapu tangan di saku jasnya, menyapu keringat di permukaan dirinya.
Lagu keempat. Moonlight Sonata mahakarya Beethoven di masa-masa kelamnya. Gerakan pertama mengalir tanpa peredam, seolah membawa suasana malam yang tenang ke dalam aula musik. Sebuah lagu yang mengisahkan kesedihan ketika ditinggalkan orang yang dicintai. Beethoven menulis lagu ini ketika telinganya tuli, dia mencintai seorang gadis yang pada akhirnya meninggalkannya. Membiarkan Beethoven tenggelam dalam keputusasaan dan depresi. Banyak kontroversi yang mengatakan bahwa lagu ini merupakan lagu berkabung.
Dalam sudut pandang Benjamin, dia setuju akan hal itu, baginya lagu ini mengisahkan kisah dirinya. Setahun yang lalu dimana tidak ada angin ataupun padai yang menerpa kota tiba - tiba Jake memutuskan hubungan mereka dan mengatakan bahwa dirinya akan menikah. Benjamin tidak setuju dirinya mengatakan hal yang seharusnya dirinya tidak katakan pada sang terkasih hingga tanpa sadar sebuah bus melintas ke arahnya yang tidak terlalu mendengarkan dan Jake langsung melindunginya hingga sebuah insiden yang seharusnya tak terjadi sudah terjadi.
Kecelakaan itu tidak bisa dihindari hingga dirinya koma selama 2 bulan namun dirinya tak mendapati sang terkasih! Bahkan kekasihnya hilang seperti ditelan bumi.
Mungkin ini karmanya karena menentang sebuah norma tuhan. Tuhan memberikan hukuman kepada keduanya dengan memisahkan mereka yang telah berbuat dosa dan menentang hukum dirinya.
Musik yang merdu dan damai membuat seluruh penonton membisu. Semua orang merasakan hati mereka menghangat, mencair menjadi genangan air, seperti puisi cinta yang romantis dan belaian lembut dari kekasih. Semua orang tenggelam dalam irama yang indah.
Hidung William masam dan air matanya jatuh ketika melihat Benjamin yang tersenyum dalam permainannya.
Benjamin tersenyum, "seperti yang kau katakan tentang moonlight sonata! Für Elipse juga di buat ketika Beethoven benar - benar tuli namun dia membuat sebuah lagu seindah ini! walaupun dia tuli tapi dirinya tidak pernah melupakan nada yang dikeluarkan setiap tuts piano! Seperti diriku padamu"
Biarkan tuhan menghukumnya karena dirinya akan terus menentang normanya karena Hatinya yang tak bisa melupakan seorang Jake maurice
Ketika sentuhan terakhir di lepaskan. Kedua tangannya jatuh, emosi yang dia tahan selama satu tahun meluap dan air matanya jatuh dengan deras, tangannya meremas dadanya kuat. Para penonton masih terpana, tidak ada yang menyangka bahwa mereka bisa mendengarkan Für Elise seindah ini. Aula musik itu jatuh dalam keheningan.Benjamin tercekat dan berdiri tiba-tiba. Kepalanya menoleh kearah lantai dua. Kursi yang kosong itu kini berdiri sosok yang akrab. Wajahnya yang tampan tampak halus dan murni.
Mata Bejamin melebar, ditatap dengan mata lembut kekasihnya. Suasana hatinya runtuh, dia jatuh berlutut menangis keras. Penonton tidak tahu apa yang terjadi, namun ketika melihat pianis itu menangis. Mata mereka menjadi merah. Tepuk tangan menggelegar ke langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA (Keabadian Cinta)
Fanfic{End} cinta ini selaksa pada orang yang menyukai semesta