20

392 80 8
                                    

Pelayan mengangguk bingung. "Tadi malam anda meminta saya membuatkan sarapan. Anda bilang merindukan sup buatan saya. Jadi saya membuatkan sup juga obat sakit kepala. Anda tadi malam sepertinya sedikit mabuk, itu membuat saya mencampurkan obat herbal di dalamnya. Apa tidak masalah?"

Nicole sungguh ingin menggetok kepalanya sendiri. Apa sebenarnya yang dia lakukan tadi malam? Dan apa yang dia katakan? Kenapa dia membuat kekacauan seperti ini?

"Mari, Nyonya."

Dan Nicole yang begitu tidak suka membuat usaha keras orang lain menjadi sia-sia segera mengikuti pelayan tersebut. Dia masuk ke ruang makan akhirnya dan segera mencium aroma sup yang begitu menggugah selera. Rasanya seperti kembali ke masalalu di mana sup ini selalu menjadi obat sakit kepalanya jika dia sedang banyak masalah.

Nicole duduk di kursi di mana pelayan sudah menarikkan kursi untuknya. Mengucapkan terima kasihnya, Nicole segera meraih mangkuknya dan pelayan memberikan sup itu. Beberapa aroma obat herbal tercium dari mangkuk itu. Memberikan ketenangan bagi Nicole dan sedikit mengurangi segala beban perasaannya.

"Cobalah, Nyonya. Semoga masih sesuai dengan selera anda."

Nicole mengangguk dan segera mencobanya. Dia menyendok sup dan mulai mencicipinya. Saat bibirnya masih ada di sendok, Nicole tanpa sengaja menatap ke arah seseorang yang baru saja tiba dengan terburu-buru ke arah ruang makan. Dia melihat Arlen di sana dengan napas memburu, seperti hendak mengejar Nicole.

Nicole sepertinya tahu siapa yang dikejar mantan suaminya itu, tapi Nicole tidak akan mengatakannya. Dia menatap seolah dia sendiri tidak mengerti kenapa napas pria itu naik-turun.

Arlen mengatur napasnya dan segera bergabung dengan Nicole. Dia duduk di sisi Nicole dan melihat gadis itu menunduk menghabiskan supnya dengan agak terburu-buru.

"Tuan, anda juga mau sup?"

"Kau menambahkan obat-obatan?" tanya Arlen ke pelayan yang menawarkan dengan mangkuk yang sudah dia serahkan.

"Ya. Untuk sakit kepala. Nyonya sepertinya agak mabuk tadi malam."

"Aku tidak mabuk jadi jangan berikan aku supnya."

Nicole yang mendengarnya tersedak air supnya, dia melirik ke arah Arlen dengan tidak yakin. Dia tadinya sedikit lebih menenangkan dirinya karena berpikir Arlen mungkin mabuk seperti dirinya. Jika begitu, artinya mereka memang melakukan kesalahan. Setidaknya dia tidak perlu menjelaskan pada Arlen atas perbuatannya karena mereka berada pada situasi yang sama. Tapi mendengar Arlen sendiri mengaku tidak mabuk, Nicole tidak mengerti. Jika pria itu memang tidak mabuk. Lantas kenapa semua ini terjadi?

Bukankah lebih nyaman bagi mereka kalau Arlen memasukkan Nicole ke dalam bak mandi dingin untuk menyadarkannya? Meski memang akan membuat sakit, itu akan membuat mereka tidak perlu berada pada situasi canggungnya.

Tapi jika memikirkannya, sepertinya hanya Nicole yang merasa canggung. Arlen tampak biasa saja.

Pelayan akhirnya memberikan roti dan sup yang memang tidak ditambahkan obat. Untungnya pelayan memang menyiapkannya.

Arlen mengambil makanannya dan mulai makan dengan tenang. Seperti biasa, pria itu memang selalu makan dengan pekerjaan ada di tangannya. Sekarang juga begitu. Tapi yang membuat Nicole sedikit agak tercenganga, setiap beberapa saat Arlen akan mengusap kepalanya saat dia berhasil meletakkan ponselnya.

Beberapa kalimat keluar dari mulut pria itu yang hampir melelehkan perasaan Nicole.

"Pelan-pelan makannya."

"Tidak ada yang akan merebut makanan itu darimu."

Beberapa kalimat itu membuat Nicole tidak berdaya. Dia dengan hati yang begitu memenangkan situasinya segera ingin tinggal lebih lama. Membiarkan atmosfer manis ini memenuhinya. Setidaknya sampai dia benar-benar melewati masa perhatian Arlen dan kembali ke tempat dingin di sudut hatinya.

Setelah Nicole menghabiskan makannnya, dia menenggak minumannya dan menatap Arlen yang masih makan dengan pelan itu.

"Aku sudah selesai," Nicole mengatakannya untuk membuat Arlen mempercepat makannya. Karena pria itu benar-benar melakukan dua hal dalam satu waktu. Itu memuat dia makan dengan lambat.

Jika Nicole mau curiga dan sedikit besar kepala, Arlen sengaja memelankan makannya hanya untuk bisa bersamanya. Tapi gadis itu tidak mau merasa kecewa, jadi dia tidak memikirkannya.

"Jika kau meletakkan pekerjaanmu, kau bisa makan dengan lebih baik dan menyelesaikannya dengan cepat. Aku harus bekerja, Arlen. Kau bisa meminta sopir mengantarku maka kau tidak perlu dipaksa terburu-buru."

Arlen menyerahkan ponselnya pada Nicole.

"Kenapa kau menyerahkan ponselmu padaku?"

"Bacakan untukku agar aku bisa makan dengan cepat."

"Kau serius? Bukankah ini pekerjaan penting?" Nicole membacanya beberapa kata di dalam hati dan tahu kalau itu gugatan tanah untuk seorang perdana menteri yang harusnya Nicole tidak mengetahuinya. "Seharusnya aku tidak menunjukkan padamu."

"Tidak apa-apa. Baca saja."

"Bagaimana kalau ada masalah? Kau akan menyalahkan aku."

"Aku akan menyalahkan diriku sendiri karena ternyata selama kita menikah, aku tidak pernah mengajarimu membaca. Yang bisa membuatmu melakukan kesalahan hanya jika kau tidak bisa membaca."

Itu jelas sarkas, tapi entah mengapa terdengar sama sekali tidak menyinggung. Malah Nicole hampir ingin tertawa mendengarnya. Tapi gadis itu berhasil menguasai rahangnya sendiri.

"Aku mendengarkan," ucap Arlen kemudian.

"Aku akan membacanya," Nicole mengatakannya dengan gugup.

"Sudah kukatakan, aku mendengarkanmu."

Nicole hampir yakin akan mendenga kata 'selalu' di belakang kalimat itu. Tapi itu sepertinya hanya khayalannya belaka. Mana mungkin Arlen akan mengatakan demikian. Dia berusaha mengabaikan.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Di Ranjang Mantan Suami (SEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang