Semua karyaku tersedia dalam bentuk ebook, pdf, playbook dan juga tersedia di karyakarsa. Mampir ya, jangan lupa dukungannya. Akun karyakarsa-ku AokiRei sama dengan nama akun wattpadku. Yang mau pdf bisa kontak di no 081917797353
Jangan lupa tinggalkan jejak yah. Happy reading.
❤❤❤❤
"Apa yang membuatmu terlihat gelisah sejak tadi, Winter?" Sybil meletakkan kuas miliknya. Ia menatap Winter tidak suka. "Kau tidak suka menghabiskan waktumu bersama, Mama?"
"Bukan seperti itu, Mama."
"Lalu apa? Sejak tiba tadi kau terlihat tidak senang karena aku memintamu menemaniku."
Winter menatap Camila dengan takut. Sejak dulu Camila memang tidak menyukainya dan ia cukup tahu diri tentang hal itu karena itulah Winter tidak pernah memaksa Brian untuk menikahinya. Ia tidak ingin hubungan Brian dan mamanya berantakan karena dirinya. Tapi Brian yang terus memperjuangkannya membuat Winter bertahan. Sykurnya Camila akhirnya menyetujui keinginan Brian untuk menikahinya meskipun sampai sekarang –setelah dua tahun pernikahan– Camila tidak kunjung menyukainya.
Selain karena ia tidak berasal dari keluarga kaya, Winter tahu dirinya yang tidak kunjung hamil juga menambah alasan kenapa Camila tidak kunjung menyukainya.
Winter sudah berusaha. Ia sudah ke dokter dan meminum segala macam ramuan untuk menyuburkan kandungan, tapi Tuhan-lah penentu segalanya. Jika Tuhan belum mengizinkan –tidak peduli segala usaha yang dilakukannya– ia tidak akan pernah bisa memiliki anak.
Winter percaya, Tuhan selalu memiliki rencana terbaik untuk umatnya. Selama Brian tidak menuntut dan menyalahkannya karena tidak kunjung mengandung, Winter yakin ia akan baik-baik saja. Selain itu ia memiliki Alma –sang adik– yang juga selalu membesarkan hatinya untuk terus bersabar dan tidak lelah berdoa kepada Tuhan.
Alma dan Brian adalah dua orang yang paling Winter sayangi. Ia tidak tahu akan seperti apa hidupnya jika tidak ada Alma dan Brian yang selalu berdiri disisinya.
"Lihatlah sikapmu itu. Seharusnya kau menjawab pertanyaanku bukan malah melamun seperti ini."
"Maafkan aku, Mama, aku hanya teringat Brian."
"Ada apa dengan Brian?"
"Hari ini adalah hari ulang tahun Brian. Aku ingin merayakan dan memberikan hadiah untuknya sebelum acara makan malam nanti."
Camila mendengkus. "Satu-satunya hadiah yang pasti Brian inginkan adalah keturunan. Sayangnya sampai sekarang kau tidak kunjung memberikan hal itu padanya."
Winter menunduk. Kepercayaan dirinya selalu hilang setiap kali Camila mengungkit tentang keturunan padanya. Seandainya saja Camila tahu betapa inginnya ia memiliki anak dari Brian, Camila mungkin tidak akan pernah memojokkannya seperti ini.
Sejujurnya Winter sangat kecewa akan sikap Camila. Sebagai seorang wanita, seharusnya Camila mengerti apa yang dirasakan Winter tapi yang terjadi justru sebaliknya. Camila kerap kali menyalahkannya karena tidak kunjung hamil.
"Jangan pasang wajah memelas seperti itu di hadapanku, Mama bosan melihatnya," Camila berdiri. "Kembalilah ke rumahmu. Aku juga sudah bosan bersamamu. Sudah saatnya kau tahu semuanya."
Winter mengangkat kepalanya dan menatap Camila dengan bingung. Ucapan Camila terdengar membingungkan. "Apa maksud Mama?"
"Ucapan yang mana?" Camila mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Sudah sana, pergilah jika kau ingin pergi. Mama ingin istirahat."
Winter hanya bisa menatap punggung Camila yang berjalan meninggalkannya sendirian. Ia masih ingin bertanya tapi ia tahu Camila tidak kana pernah memberikan jawaban yang diinginkannya.
Winter menghela nafas panjang. Ia sudah biasa mendapatkan perlakuan tidak baik dari Camila, seharusnya hal itu tidak menjadi masalah baginya tapi akhir-akhir ini sikap Camila terkesan sangat kelewatan. Wanita itu bersikap seolah-olah ia tidak pernah ada tapi anehnya Camila selalu bersikap baik pada Alma.
Jika mengingat bagaimana baiknya Camila pada Alma, Winter tidak bisa membohongi diri jika ia cemburu dan iri. Tapi perasaan itu dengan cepat Winter singkirkan karena Alma adalah adiknya. Tidak seharusnya ia memiliki perasaan seperti itu. Seharusnya ia bersyukur karena Camila bersikap baik pada Alma. Setidaknya Alma tidak merasakan sikap buruk Camila seperti yang kerap kali wanita itu perlihatkan padanya.
"Anda sudah akan kembali, My Lady?" Marry bergegas menghampiri Winter ketika wanita itu berjalan keluar dari galeri yang Camila gunakan untuk melukis.
"Iya, Mama mengizinkan aku kembali lebih awal."
"Her Ladyship menginzinkan anda kembali lebih awal?" tanya Marry kaget. Ini aneh karena biasanya Camila akan terus menahan Winter di kediamannya sampai malam hari. Ia tahu Camila pasti sengaja melakukan semua ini. Sejak dulu Camila memang tidak pernah menyukai Winter.
"Iya, seperti yang kau dengar, Mama mengizinkan aku kembali lebih awal," Winter tersenyum, tapi senyumannya perlahan menghilang ketika mendapati wajah Marry yang terlihat begitu tegang. "Ada apa denganmu, Marry? Kau terlihat tegang sekali. Apa terjadi sesuatu?" tanya Winter khawatir.
"Bukan apa-apa, My Lady, saya hanya..." Marry menggigit bibirnya. Ia tidak boleh mengatakan sesuatu yang bukan menjadi kewenangannya.
"Katakan saja, Marry. Aku akan mendengarkanmu," kata Winter lembut. Sejak kedatangannya ke kediaman keluarga Brian, Marry selalu memperlakukannya dengan baik. Marry bukan hanya seorang pelayan tapi wanita itu adalah orang kepercayaan Camila, tidak heran jika Winter sangat senang karena Marry selalu bersikap baik padanya.
"Saya pikir anda mau minum teh dulu bersama saya di dapur, My Lady," kata Marry. Ia dan Winter memang kerap minum teh bersama sebelum Winter kembali ke rumahnya yang berada di bangunan terpisah dari tempat Camila tinggal. Cukup berjalan kaki lima menit saja Winter sudah akan tiba di rumahnya dan Brian.
"Sayang sekali aku tidak bisa melakukannya sekarang. Hari ini ulang tahun Brian, aku sudah menyiapkan kejutan untuknya. Aku ingin memberikannya sebelum acara makan malam nanti."
Marry menatap Winter penuh permohonan. "Kalau saya memohon, apa anda akan bersedia minum teh bersama saya, My Lady?"
"Maafkan aku tapi aku benar-benar tidak bisa sekarang, Marry. Kita bisa minum teh besok, bagaimana? Besok aku akan menemanimu. Sekarang aku pergi dulu. Sampai bertemu Marry."
"Tapi My Lady, saya...."
Marry menghela nafas panjang ketika Winter terus saja melangkah pergi. Ia menatap wanita itu dengan tatapan kasihan. Kegembiraan yang terpancar dari wajah Winter semakin membuat Marry terenyuh. Ia tahu apa yang mungkin akan dilihat Winter begitu sampai di rumahnya, namun ia berharap Winter tidak akan pernah melihatnya sama sekali.
Sayangnya harapan Marry tidak pernah menjadi kenyataan. Winter yang kembali ke rumah melalui pintu belakang dengan niat memberi kejutan bagi sang suami, ternyata lebih dulu dibuat terkejut dengan apa yang saat ini dilihatnya. Kejutan yang tidak akan pernah bisa Winter lupakan seumur hidup.
❤❤❤❤
07072024
KAMU SEDANG MEMBACA
RAINBOW AFTER THE RAIN (BROKEN HEART SERIES #1)
RomanceCerita baru yah karena Don't Go series terakhir dari sequel of season series telah tamat jadi aku uat cerita baru. Semoga kalian sukaaa