Bab 7: Hilang

26 14 1
                                    


-🦖-

Anna duduk termenung di samping makam Stevanus Prayoga, tatapan matanya tak lepas dari nisan yang berdiri tegak di hadapannya. Sudah tiga jam sejak pemakaman, namun rasa kehilangan Anna semakin terasa mendalam. Dengan gemetar, tangannya menyentuh tanah yang menutupi makam sahabatnya.

"Van, lo beneran pergi?" desis Anna pelan, suaranya hampir terseret oleh angin senja yang berdesir di pemakaman.
"Lo pembohong Van, dulu lo janji pengen ngebahagiain gue, dulu lo janji pengen bahagia sama gue... Dan sekarang buktinya lo yang gue anggap sebagai kebahagian itu malah pergi ninggalin gue, gimana gue bisa bahagia kalo kebahagiaan itu udah ga bisa gue genggam lagi van?.

Air mata Anna tak terbendung lagi, mengingat setiap ia menangis Stevan yang akan menghibur dan menghapus air matanya.
"Gue rela bersahabat dengan rasa sakit,kalau disana gue bisa terus bareng lo, gue takut ketika gue sbahagia dan malah ngelupain lo van" lirih Anna.

Suara langkah dari belakang membuat Anna terkejut. Nadia mama Stevan, berdiri di sana dengan tatapan penuh simpati. Dia mengulurkan sebuah kotak hitam kecil ke arah Anna. "Ini dari Evan untukmu, Na," ucap Keenan lembut.

Anna memandang kotak hitam itu dengan penuh kebingungan dan sedikit harapan. "Ini apa, tante?" tanyanya gemetar.

"Sebelum Evan berangkat ke turnamen terakhirnya, dia berjanji untuk memenangkan medali emas. Dia ingin memberikan medali itu padamu sebagai hadiah ulang tahunmu," jelas Nadia sambil menatap Anna dengan penuh kehangatan.

Anna terbata-bata dalam menjawab, "Tapi seharusnya tante yang menyimpannya, bukan aku."

Nadia menggeleng lembut. "Evan ingin kamu memiliki ini, Na. Ini adalah permintaan terakhirnya. Kami harus mencoba untuk bahagia sekarang, agar Evan juga bahagia di sana," ucap Nadia sambil mencoba menenangkan Anna.

Anna meraih kotak hitam tersebut dengan gemetar, hatinya terasa hangat oleh kebaikan Evan yang tak akan pernah ia lupakan. "Setidaknya ada satu janji yang kamu tepati, Van," bisik Anna pelan, senyum getir terukir di wajahnya.

Nadia tersenyum lembut melihat Anna, sebelum akhirnya mengucapkan perpisahan. "Tante dan Om pulang dulu ya, Na. Assalamualaikum," ucap Nadia sambil berjalan pergi.

Anna menjawab dengan pelan, "Waalaikumsalam," sambil tetap menatap kotak hitam di genggamannya. Sentuhan dingin dari logam medali di dalam kotak mengingatkannya pada semua kenangan manis bersama Evan.

***

Dua minggu telah berlalu sejak kepergian Stevan, dan Anna terkunci dalam kesedihan yang mendalam. Kehidupannya yang dulu penuh tawa dan canda kini terasa seperti bayang-bayang yang memudar. Matanya sembab karena tangis yang tak pernah berhenti mengalir, pipinya semakin cekung karena kehilangan banyak berat badan akibat tidak lagi menyentuh makanan dengan semangat seperti dulu.

Di hari yang kelam itu, hujan turun dengan gemuruh, seolah memperkuat kesedihan yang ada di dalam hati Anna. Bundanya, Raina, yang tak tahan melihat putrinya yang terus-menerus menyiksa diri sendiri dengan kesedihannya, memutuskan untuk mengambil tindakan. Dengan hati yang berat, ia mempersiapkan sebuah nampan berisi makanan yang pernah menjadi favorit Anna.

Raina memasuki kamar Anna dengan langkah hati-hati, takut akan reaksi putrinya yang rapuh saat ini. Namun, cahaya redup di kamar Anna menyoroti wajahnya yang pucat. Anna duduk di pojok tempat tidur, memandang kosong ke arah jendela yang ditutup rapat.

Dengan lembut, Raina menempatkan nampan makanan di atas meja kecil di samping tempat tidur Anna. Dia duduk di sebelah putrinya, menatap wajahnya yang pucat dan terkulai lemah.
"Anna, sayang," bisik Raina dengan suara lembut,
"Bunda tahu perasaan kamu sekarang. Tapi kamu harus makan, sayang. Kalau Stevan ada disini pasti dia bakal sedih liat kondisi kamu."

Anna masih memandang ke luar jendela, seolah dunia di luar sana telah kehilangan segala makna baginya.

Dengan penuh kasih sayang, Raina mengambil sendok kecil dan mengambil sedikit nasi goreng favorit Anna, lalu menyuapkannya perlahan ke mulut putrinya yang masih tegang. sambil mengelus punggung Anna dengan penuh kehangatan.

Tuhan kali ini saja beri aku waktu lebih lama menemani Anna, aku tidak mau dia merasakan kehilangan lagi. Ucap Raina dalam hati, ada sebuah hal yang tersembunyi dibalik tatapannya, sebuah rahasia yang sulit untuk diutarakan.

***
"Anna!!!" teriak teriak trio konyol didepan rumah Anna.
Hari ini mereka memutuskan mengajak Anna ke sekolah bersama, mereka tahu perasaan Anna belum sepenuhnya pulih maka dari mereka sengaja menggantikan tugas Stevan sebisanya salah satunya menjemput Anna.

"Eh ada Alda, Ruben sama Roy" ucap Raina menyambut ketiganya.
"Ayo masuk, kita sarapan bareng yaa" sambungnya.

""Eh tante, ga usah repot-repot, kita ga laper kok, tapi kalau tante maksa sih gapapa," kata Ruben sambil tersenyum.

"Apaan sih, Ben!" geram Alda, sementara Royandi hanya bisa menggeleng sambil memukul pelan kepala Ruben.

"Maaf, tante," ucap Royandi sambil tersenyum malu.

Raina hanya tertawa "gapapa, kalian makin hari makin lucu deh, ayok masuk...sebentar tante panggilin Anna ya"

Tak lama kemudian Ann turun dengan seragamnya, setidaknya ada peningkatan, wajahnya jauh lebih cerah dan segar dari kemarin. Membuat semua orang di meja makan menatapnya penuh bahagia.

"Na, entar pulang sekolah kita mancing yok, lama banget kita ga ngumpul" ucap Ruben memecah keheningan.

Raina yang paham maksud Ruben yang mencoba mengajak Anna berbicara juga ikut berbincang "eh iya, Bunda boleh ikutan ga? Bunda bosen di rumah gada temen"

"Boleh dong Tante, kita gas bareng" sahut Alda.

"Gimana Na? Mau kan?" tanya Royandi.

Anna hanya mengangguk tersenyum, ia paham Bunda dan sahabatnya mencoba menghiburnya.

-🦖-







Kira-kira rahasia apa yaa bunda Raina?

Maaf yang Mungg Author jarang update karena belakangan ini sering sakit🙏🏻 maka dari itu kalian juga jaga kesehatan yaa...

Jangan lupa VOTE dan comment biar Author semangat 45 buat nuliss...

See you di chapter berikutnya Mungggs🖐

REVANNA Best Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang