DENOUMENT 03

943 125 9
                                    

~~••~~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~~••~~

“Adel enggak tahu harus gimana sekarang Ma.”
 
“Udah, kamu jangan nangis lagi.”

“Adel enggak bisa enggak nangis. Gimana Mas Haikal Ma? Apa dia nyerah di sini? Apa dia enggak mau memperjuangkan hubungan ini?”

Fitri menatap sang anak, Larasa. Yang kini juga menggeleng bingung. Baik Mama atau pun Larasa belum mengobrol dengan Haikal dan tak mendengar apa yang sebenarnya anak itu putuskan. Apakah dia akan berhenti sampai di sini dan tak ingin memaksakan untuk tetap bersama Adel atau ... entahlah.

“Sayangnya kami berdua juga belum ngobrol sama Haikal, Nak. Jadi baik Mama atau pun Larasa enggak tahu keputusan Haikal akan kemana sekarang. Tapi Mama yakin kok, Haikal enggak mungkin nyerah dengan mudah.”

“Iya Mbak, Abang enggak mungkin nyerah begitu aja kok. Apalagi Abang kayaknya suka banget sama Mbak Adel.”

Adel menatap dua wanita yang kini mengapitnya. Sungguh ia beruntung karena bisa dekat dengan Mama dan adik cantik Haikal. Mereka berdua sangat menerima dan baik sekali dalam memperlakukan Adel pribadi.

“Mbak jangan nangis lagi, jangan banyak pikiran ya? Larasa jamin kalau Abang bakalan tetep sama Mbak.”

Sembari mengusap wajahnya yang basah, Adel pun memegang tangan Larasa dan Mama. “Sebelumnya Adel minta maaf ya Ma, Sa. Adel sendiri enggak tahu kenapa Ayah malah kayak gini. Kenapa Ayah enggak ngasih restu buat Mas. Padahal ya Mas itu orang yang beneran baik.”

“Tenang aja, kamu enggak perlu minta maaf ya Del. Mama sih ngerti kenapa ayah kamu enggak langsung ngasih restu ke Haikal. Mendengar dari cerita Kahfi kemarin, ayah kamu nolak karena ya mungkin dia itu mau lihat gimana perjuangan Haikal buat kamu. Gimana kesungguhan Haikal ke kamu. Insya Allah ke depanya, Mama, Larasa dan semua orang mendoakan yang terbaik buat kamu dan Haikal. Semoga Allah melembutkan hati ayah sehingga dia bisa melihat kesungguhan Haikal ke kamu.” Fitri tersenyum. “Pun semisal ya, bukan Mama mau nakutin kamu. Tapi memang kalau kamu dan Haikal enggak jodoh ke depannya, insya Allah kalian akan dipertemukan dengan pasangan yang terbaik sesuai dengan pilihan Allah.”

Dan mendengar penuturan Mama barusan, bukannya semakin tenang, tangis Adel malah semakin pecah. Entah kenapa, ia bahkan tak bisa membayangkan kalau Haikal memang mundur dari kesungguhannya untuk menikahi Adel dan membersamai wanita lain.

“Mama ih, kenapa bicara kayak gitu sih?” Larasa memberenggut. “Mbak Adel please jangan dengerin omongan Mama. Jangan negatif thingking ya? Kita harus yakin kalau Allah akan memudahkan jalan kalian berdua.”

“Aku enggak yakin, tapi bener kata Mama. Aku harus inget dan realistis kalau mungkin Mas Haikal dan aku sendiri punya peluang untuk enggak dibersamakan.”

“Mbak, kalau pun memang begitu, insya Allah akan diganti dengan yang lebih baik Mbak. Aku juga kayak gitu kok dulu. Aku enggak berjodoh dengan orang yang aku suka, tapi sekarang, Allah ngasih aku suami sebaik dan sehebat Mas Kahfi. Suami yang bener-bener baik, yang pas dan melengkapi aku banget Mbak. Tapi untuk sekarang sih, Mbak jangan memikirkan itu, kita harus berbaik sangka sama Allah Mbak.”

Denoument Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang