Selamat membaca
Vote dan komen😁"Ini aja nih! Percaya deh sama gue!" Irene bersikeras aku memakai pakaian pilihannya.
"Yakin, lo? Nggak terlalu gimana gitu?" aku menggigit bibir bawahku. Menstap lekat-lekat bayanganku dicermin.
"Bagus! Lo pasti mau ketemu Jisoo, kan? Yakin deh dia bakal klepek-klepek!" kali ini kedua jempol Irene diangkat tinggi-tinggi.
Aku pasrah. Kemeja tanpa lengan berwaran cream dengan kerah coklat, dipadukan dengan rok selutut berwarna coklat tua. Lalu jam yang senada juga melingkar di tangan kiriku. Aku tampak lembut mengenakan pakaian ini. Simple dan manis. Kali ini aku tersenyum. Irene memang tidak bisa diragukan.
"Kingkong itu udah sampe belum ya?" ujarku yang disambut putaran bola mata dari Irene.
Irene segera mendorong tubuhku keluar kamarnya. "makannya buruan pergi! Dia pasti udah nunggu lo lama deh!"
Jadilah aku dalam perjalanan, kupakai sepatu sneakers-ku. Lagi pula ini acara santai. Siapa sih Jisoo? Aku bahkan tidak pernah serumit ini hanya untuk bertemu orang. Dalam hati aku kembali tertawa. Ya, aku tidak boleh mengelak lagi. Aku suka Jisoo. Aku jatuh cinta pada kingkong menyebalkan itu!
Hatiku menggebu-gebu, bahkan rasanya setengah berlari untuk sampai di taman. Tempat aku dan Jisoo akan bertemu. Kira-kira dia akan membicarakan apa ya? Pipiku dan bibirku sampai pegal karena tersenyum. Kupercepat langkah ketika menangkap sosok cowok tinggi dengan seragam sekolah. Itu pasti si kingkong!
Tapi....
Kakiku mendadak macet. Senyumku perlahan luntur ketika menyadari jika Jisoo tidak sendiri. Detik ini kurasakan hatiku jatuh. Buru-buru aku bersembunyi di tiang listrik dekat tembok. Menyembulkan kepala, kutangkap kedua sosok itu disana. Detik selanjutnya air mataku tiba-tiba jatuh, terus mengalir deras. Suara tangisku tertahan. Lalu untuk detik-detik sisanya aku kabur. Berlari lebih kencang dibanding saat pertama aku datang ke taman ini.
"Jahat... Jahat... Jahat!" begitu gumamku terus hingga sampai kembali ke rumah Irene. Sahabatku itu sedang duduk di terasnya.
"JEN!" memelukku erat, Irene menyerangku dengan pertanyaannya.
Aku masih sesegukan dalam pelukan itu. Tidak ada niat ataupun kekuatan untuk menjawab semuanya. Aku yakin pundak Irene telah basah parah. Dia menuntunku untuk masuk ke dalam. Aku hanya mengikutinya. Kami duduk di sofa ruang tengah untuk beberapa lama.
"Jisoo, Rene. Dia..." dengan suara parau susah payah kukeluarkan kata-kata. Terlintas kembali bayangan dimana Jisoo, kingkongku sedang menempelkan bibirnya pada nenek sihir, Bona.
Aku tidak cemburu. Oh, tidak, tidak terima kasih. Mereka harusnya malu ciuman di depan umum, apalagi itu taman tempat anak kecil biasa bermain. Lalu apa maksud Jisoo mengirim pesan agar aku ke taman itu? Untuk melihatnya pamer kemesraan dengan mantan atau sudah balikan? Atau untuk membuat hatiku kembali sakit, setelah kata-kata kasar yang dia lontarkan padaku waktu itu?
"Jen, gue nggak maksa lo buat ngomong sekarang. Istirahat dulu ya? Tenangin diri lo dulu. Ke kamar gue gih! Gue mau buat teh anget dulu buat lo" aku hanya mengangguk ketika Irene melepas pelukannya. Dia menggiringku ke kamarnya, lalu keluar sambil sebelumnya tersenyum.
Mataku sepertinya kembali bengkak. Kutekan dada dimana rasa sakit kini bersarang. Ya ampun, kenapa sesakit ini? Kembali air mataku meluncur dengan deras. Aku benci Jisoo. Aku benci Jisoo. Aku benci Jisoo. Dan aku tidak akan bosan mengatakannya sekarang.
Kurogoh saku lalu menatap layar ponsel yang menampilkan panggilan masuk.
Unknow calling...
Aku mendengus kesal sambil membanting ponsel ke ranjang. Tidak ada gunanya. Andai dia tahu kalau aku sudah tahu. Semua jelas. Jisoo tidak mudah melupakan Bona dan Bona masih begitu menyukainya walaupun jual mahal. Dan mereka sudah ditakdirkan bersama jauh sebelum kehadiranku.