14.Wrong Decision

168 39 6
                                    

Selamat membaca
Vote dan komen😁

"Masa kamu ngambek lagi sih?"

Ku kencangkan suara musik yang mengalir melalui earphone-ku. Aku tidak mau terbuai lagi dengan dia.

"Jennie sayang!"

Bohong... Bohong... Bohong...

Musik yang kuputar tidak bisa kucerna dengan baik. Hanya satu kata yang terus terulang seperti kaset rusak di pikiranku. Bohong.

"Hey, ayo kita jalan-jalan. Tadi malam udah bilang, kan? Ayok!" dia masih di depan pintu kamarku semenjak pagi tadi. Membujukku yang teguh pendirian ini agar keluar. "Ke pantai atau ke mall. Kamu suka kemana?" aku benci suaranya.

Badanku panas karena semalam kehujanan. Aku bahkan tidak bisa tidur gara-gara flu yang begitu mengganggu. Rasanya begitu lemas untuk sekedar turun dari kasur ini. Semuanya karena Jisoo. Dan sekarang, dengan tanpa rasa bersalahnya dia mengajaku jalan.

"Kamu marah kenapa?" aku masih diam dan akan tetap diam.
"Masa gara-gara aku nolongin Bona sih?" dia terkekeh sejenak.
"Hey, kalau kamu yang ada di posisi dia gimana? Kamu mau aku diam aja tanpa nyelamatin? Nggak kan?"

Air mataku yang panas mengalir membasahi pipi. Iya, Jisoo, dia benar. Tapi kenapa sampai membiarkanku sendirian malam-malam kehujanan? Kenapa hanya Bona saja yang diselamatkan sementara aku yang pacarnya -itupun kalau dia serius- malah diabaikan begitu saja.

"Jennie...." kudengar nafasnya menghela panjang. "Aku---"

"Kamu belum bisa ngelupain Bona kan?" potongku cepat. Rasanya jiwaku runtuh setelah mengucapkan itu. Kutahan raung tangis dengan menggigit selimut. Cukup suara parauku saja yang dia dengar.

"Aku berusaha...." ujarnya melemahkan suara. Membuat air mataku semakin tak bisa berhenti turun. "Buat kamu"

"Buat apa? Kejar aja Bona lagi. Dia lebih berarti dari aku, Ji" cercaku tak berhenti. Dalam hati ingin sekali kutahan, tapi tetap saja keluar.

"Kamu nggak mau mempertahanin aku?"

Kata-kata itu sejenak menjadi tamparan bagiku. Bagaimana bisa dia bilang aku tidak mempertahankannya. Tidakah dia ingat semalam kupegang lengannya erat? Oke, mungkin bukan sekedar 'mempertahankan' itu yang dia maksud. Tapi, apa pernah dia menunjukan sekali saja dia mempertahankanku juga?

"Bona, dia masa lalu aku. Sedangkan kamu yang sekarang pacar aku, masa depan aku Jennie!" bisa kudengar dia menekankan kata-kata nya.

Kulepas earphone ditelinga, lalu membenamkan wajah pada bantal. Aku terlalu bingung untuk urusan seperti ini. Tidak mengerti. Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mau kecewa lagi, sakit hati lagi, nangis hingga mataku tak berbentuk seperti ini lagi.

"Aku nelepon kamu tadi malam berkali-kali nggak diangkat kan? Aku balik lagi kamu udah nggak ada" jelasnya lagi, tidak terlalu terdengar untukku. "Jen, please. Buka pintunya buat aku. Aku mau lihat keadaan kamu sekarang. Aku tahu aku salah! Udah ninggalin kamu gitu aja tadi malam. Aku cukup khawatir, jangan bikin aku lebih kacau dari ini. Biar aku lihat kamu sebentar aja ya?" mendadak Jisoo mellow.

Benarkah dia khawatir? Sekhawatir apa kalau dibandingkan dengan Bona? Ah, Bona, Bona, Bona.

"Udahlah, nak. Nanti juga keluar kok. Udah ya?" itu suara Eomma. Aku tersenyum senang mendengarnya. Eomma selalu tahu keadaanku.

"Nggak, Eomma. Jisoo mau nunggu disini sampe Jennie keluar. Kalau dia tetap nggak mau, ya maaf aja kalau pintunya rusak untuk sementara"

Kucerna kata-kata Jisoo barusan. Kalau tidak mau keluar, pintuku akan rusak sementara. Jangan bilang kalau dia berencana mendobrak pintuku. Aihh, aku harus apa?

Remember Rain {JENSOO} √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang