💜🐨 10. Make a Wish! [2]

114 18 60
                                    

Happy Reading!

💐🏥🥼🩺📋
_____________________
_______________________________

Suasana lorong rumah sakit milik keluarga Juna lenggang, para pasien beristirahat di bangsal-bangsal dengan pintu tertutup tempat mereka dirawat. Hanya ada satu dua tenaga kesehatan yang wara-wiri, tak banyak tapi Juna selalu menyempatkan tersenyum, menyapa mereka. Mungkin ada wajah-wajah perawat atau dokter baru, tapi petugas kebersihan yang berumur, satpam senior rumah sakit, beberapa petugas loket pendaftaran sudah dikenal Juna sejak kecil.

Ada alasan mereka tetap bertahan bekerja belasan tahun di rumah sakit ini, orang tua Juna. Sebagai pemilik, para pekerja tak pernah diperlakukan sebagai bawahan, tapi sebagai bagian dari keluarga juga.

Ayah Juna membuat citra malaikat yang sempurna di mata para pekerja rumah sakit, tunjangan kesehatan yang sangat layak. Pemberian upah lebih sebagai bonus tiap tahun, juga penghargaan bulanan pada pekerja yang berbakti. Tidak membedakan seorang pun, tidak memandang rendah siapapun, semua orang punya hak yang sama di rumah sakit ini. Juna mempelajari semua yang dilakukan Ayahnya. Meskipun tak ada niatan meneruskan rumah sakit, Juna sudah lahir untuk mendapat pelatihan bagaimana cara pengelolaan rumah sakit, banyak cabang klinik kecantikan, dan pabrik farmasi milik keluarganya. Terjebak dalam pertanyaan, siapa lagi yang akan mewarisi semua ini?

Keheningan di dalam lift, membuat pikiran Juna semakin berisik. Bel berdenting, diikuti pintu besi yang terbuka. Seorang pria, tukang bersih-bersih lain yang khusus bekerja di bangsal perawatan VVIP tersenyum, menyapa Juna begitu keluar dari lift. Di ujung lorong lantai empat, ada dua kamar VVIP rumah sakit. Langkah kaki Juna berhenti, Juna menempelkan kartu akses pada smartlock dekat gagang pintu, masuk tanpa mengetuk pintu. Tidak sembarangan orang atau pekerja rumah sakit yang diizinkan masuk ke dalam ruang VVIP pasien. Seseorang menoleh, "Kok baru datang, Jun?"

"Mobil Papa selesai diperbaiki hari ini. Tadi pagi mampir ke bengkel dulu. Papa ini beneran masih tidur kan, Om?" Juna trauma dia bicara banyak soal keburukan Ayahnya, sementara Ayahnya hanya pura-pura tidur seperti di Rumah Sakit Cahya Kawaluyan, Padalarang.

Juna baru berani masuk saat Pamannya memastikan dan menjawab iya. "Bagaimana bisnismu?" Yohan menutup laporan medis yang dia baca dan ikut duduk di sofa dekat keponakannya.

Juna menghela napa, tampak lelah. "Lancar, Om. Bisa buat nabung sama gaji satu karyawan." Jujur, dikatai suka main bunga-bungaan oleh ayahnya membuat Juna sakit hati. Hanya dengan pamannya, Juna merasa nyaman membicarakan apa yang menjadi kesukaannya.

"Terusin aja, tapi jangan sampe ganggu studimu." Yohan sangat baik di mata Juna. Baik dalam artian mendukung apa yang sedang Juna perbuat, tidak menghakimi sepihak seperti yang dilakukan ayahnya.

"Juna ragu kalo beneran bisa jadi dokter, Om."

Yohan mengulas senyum. "Pureblood. Kamu sering denger istilah itu, kan? Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Darah lebih kental dari air. Pribahasa apalagi yang pantas digambarkan buat bakat diturunkan secara alami? Jangan mengelak takdir, Juna. Cukup jalani dan jadi versi terbaik dari dirimu."

Juna hanya termenung, enggan berbicara sepatah kata pun. Yohan menilik sebuah paper bag yang ikut serta dibawa Juna ketika masuk, "Apa isinya, Jun? Hadiah?"

"Oh, ini." Juna mengeluarkan box terbalut pita rapi, di dalamnya berisi kotak kayu dengan hiasan beberapa bunga tulip yang sudah terbalut cairan resin dan berhias lampu di bawahnya dari dalam paper bag. Juna tidak ragu membongkar bungkusan itu dan memasang pitanya lagi. Cekatan. "Mau aku kasih ke Aruni. Suka bunga tulip katanya."

"Aruni? Pasien di kamar sebelah?" Pertanyaan Yohan hanya dijawab anggukan kepala oleh Juna.

"Kamu suka dia? Terus, hubunganmu sama anak Dokter Lim itu gimana?"

𝐓𝐡𝐞 𝐏𝐚𝐫𝐭 𝐨𝐟 𝐃𝐞𝐜𝐚𝐥𝐜𝐨𝐦𝐚𝐧𝐢𝐚 | Part of Purple Universe ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang