💜🐨 08. Shop, Tulip, and Notification

159 22 69
                                    

Happy Reading!

💐🏥🥼🩺📋

_____________________
_______________________________

Juna menyeka peluh di dahinya sambil kembali memastikan, rasanya memang susah menemukan lokasi tambal ban di jalanan ini kalau tidak benar-benar paham daerah. Sejauh mata memandang tidak ada tulisan tambal ban atau semacamnya. Tadi ada satu, cuma lokasinya lumayan jauh dari rumah. Lestari apa mau menuntut motor beat punyanya tanpa mengomel? Juna menyerah, pilihan terbaik jatuh pada bertanya pada Mang Ujang saja nanti.

Kini, kakinya berhenti di depan bangunan baru yang dibicarakan Lestari tadi malam. Duduk dan beristirahat sejenak, mengatur kembali napas. Tenggorokannya terasa haus lagi. Ia merasa sudah cukup berlari, memacu laju kardio selama satu jam terakhir. Sembari membuka tutup botol tupperware abu-abu berisi air mineral yang dibawanya, Juna memperhatikan kondisi bangunan dengan seksama. Sebuah mobil putih bermerek Hyundai Creta terparkir tak jauh di sebelah bangunan itu. Tepatnya di halaman penuh rumput tinggi, depan bekas bangunan bengkel mobil yang lama terbengkalai. Juna tidak yakin siapa pemiliknya, tapi dari kabar yang didengar, bengkel tersebut sudah lama bangkrut sejak tahun lalu.

Sisa bangunannya dibiarkan begitu saja, tidak terawat dan termakan tanaman liar merambat serta rumput menjulang setinggi lutut. Tunggu sebentar? Mobil Hyundai Creta putih itu? Berarti orang yang dicari Juna juga sedang berada di sini. Netranya tak sengaja menangkap seseorang dengan kemeja putih dan celana ankle cream panjang yang begitu familier. Gayanya semi formal, tapi tetap terlihat kasual. Sedang fokus mengamati selembar kertas, mungkin detail bangunan calon kafe itu.

"Bang Bintang!"

Juna berseru sambil berlari kecil menghampirinya. Bintang dan Juna sudah akrab sejak lama, kedua keluarga mereka punya sebuah hubungan bisnis. Kakek Bintang, Tuan Wijaya Diratama adalah seorang arsitektur terkenal yang ikut andil mendesain beberapa bangunan rumah sakit, klinik, serta properti lain milik keluarga Juna. Dalam banyak kesempatan acara, keduanya juga sering bertemu. Juna dan kakak laki-lakinya selalu diajak langsung oleh ayahnya mengurus keperluan bisnis milik keluarga. Juga supaya paham pentingnya menjalin hubungan akrab dengan kolega.

Sapaan Juna membuat Bintang seketika menoleh dan menyambut dengan senyuman secerah mentari pagi. Pemilik senyuman mempesona itu mewarisi bakat dan darah dari kakeknya.

"Udah mau jadi aja nih kafe," Juna kembali meninjau sekitar bangunan. "Aku tadi ke sini, nyariin Bang Bintang. Baru nemu sekarang."

Bintang mengenyitkan dahi, "Jam berapa?"

"Jam enam," Juna terkekeh. Bersender di sebelah mobil Bintang. Mulus juga. Juna juga rasanya ingin punya mobil pribadi satu yang miliknya sendiri, tapi sebenarnya tidak terlalu butuh untuk sekarang ini.

Dalam batin Bintang mengomel, dia kira punya waktu sebanyak itu sampai ikut menginap bersama para kuli dan tukang di bangunan ini? Ada-ada aja. Jelaslah belum ada jam enam pagi. "Kamu kepagian nyarinya, Jun. Harusnya jam lima subuh."

Juna balik tertawa, "Entar dikira orang mau ngapain aku. Jam segitu udah tengak-tengok depan bangunan baru."

"Ngapain emang nyariin? Mau ikutan tanam modal di kafeku?" Bintang menilik, "Kali aja keluargamu juga minat."

Juna menggaruk belakang kepala, "Keluargaku lagi kena masalah, Bang. Udah liat berita soal klinik punya Mama? Kayaknya ortu juga gada minat melebar ke bisnis restoran atau makanan."

Bintang ikut bersimpati, dia juga tidak sengaja membaca berita soal klinik milik keluarga Juna yang sedang heboh diberitakan media. "Semoga semua fitnah lekas membaik, Jun. Aku juga yakin, Tante Yunia gak sejahat yang digemborin sosmed. Lagian kalo emang bener, klinik kecantikan dan pabrik skincare punya Mamamu gak mungkin bertahan selama itu tanpa ada kepercayaan konsumen."

𝐓𝐡𝐞 𝐏𝐚𝐫𝐭 𝐨𝐟 𝐃𝐞𝐜𝐚𝐥𝐜𝐨𝐦𝐚𝐧𝐢𝐚 | Part of Purple Universe ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang