LXR 39

878 81 2
                                    

Hingga ia kembali menoleh saat melihat tangannya di genggam seseorang. Lantas ia menatap Ary yang kini menahan tangannya dengan kedua bahu yang terlihat bergetar.

"Abang... Ary minta maaf... Ary gak tau kalau abang tersinggung berat karena kejadian kemarin. Maaf udah buat Abang kecewa... Tapi tolong..."

"Hikss...jangan...jangan jauh-jauh...hiks..dari kita..."

Pertahanan Ary runtuh saat itu juga. Ini kedua kalinya ia menangis di depan Rui. Jika yang pertama saat ia menemani nya di rumah sakit setelah sekian lama ia menunggunya siuman. Dan yang kedua adalah saat ia teringat Rui terus menghindari mereka.

Ary paham. Bahkan sangat paham bagaimana sikap Rui jika sudah tersinggung atau kecewa. Anak itu akan diam dan tidak pernah berbicara dengan orang yang membuatnya kecewa. Bahkan sanggup menghindari nya selama berbulan-bulan.

Tapi dirinya? Baru di diamkan beberapa hari saja sudah kesepian. Ia ingin jujur pada dunia. Bahwa ia sudah menganggap Rui lebih dari teman. Baginya Rui adalah sosok kakak, teman, dan juga guru yang membimbing nya ketika ia salah melangkah.

Orang tuanya memang masih ada, tapi perlakuan Rui adalah yang istimewa baginya. Jika dulunya orang tuanya sangat acuh padanya, perlahan ia mencoba menghiraukan nya persis sebagaimana ajaran Rui yang mengalihkan rasa haus kasih sayang nya dengan belajar.

Dan itu berhasil. Orang tuanya tidak lagi acuh. Mereka mulai perduli dan perhatian padanya akan hal-hal sepele. Bahkan sebagai tambahan saudaranya yang lain juga turut membahagiakan nya sebagaimana semestinya.

Tapi kembali ke perbincangan awal. Ia benar-benar merasa kesepian jika poros hidup yang menuntunnya hingga saat ini justru menghindari nya.

Ia tidak sanggup.

"...."

Melihat derai air mata yang mengalir membasahi kedua sisi wajah Ary entah kenapa Rui merasa dejavu.

Hingga secara naluri tangannya tergerak untuk memeluk nya.

"Ary...hiks...Ary minta maaf... Ary bakal lakuin apapun...asal Abang gak...jauhin...hiks Ary lagi..."

Suara tangis itu teredam dalam dekapannya. Hingga kemudian tangannya yang lain tergerak mengusap belakang kepala si empunya.

Untuk kali ini ia ingin jujur. Rui itu... Tidak tau caranya menghibur orang sedih. Ini terjadi karena ia yang terlalu sering melakukan butterfly hug pada dirinya sendiri di kehidupan nya yang lalu.

"Rui.. Maaf.. Gue yang bertanggung jawab perihal kemarin. Jadi maaf kalau udah buat lo kecewa, tapi tolong jangan jauhin kita kalau lo emang marah sama kita"

Melihat Ary sudah bertindak, Andara memberanikan diri menatap Rui dan berbicara.

Dirinya paham bahkan sangat mengerti jika awal pertikaian ini terjadi semuanya karena dirinya. Dirinya gagal menahan emosinya, dirinya salah paham, dan dirinya yang tidak bisa mengendalikan mulutnya agar tidak mengatakan sesuatu yang menyakiti perasaan temannya.

Ia sendiri akhir-akhir ini sering melamun karena tindakan ceroboh nya kemarin. Andai saja ia mendengarkan keseluruhan penjelasan Rui, mungkin ini tidak akan terjadi.

"Lupain"

"Hah?"

"Eh?"

"Lah?"

Kompak, ketiganya reflek mendongak saat mendengar Rui berucap demikian.

"Anggap aja kejadian itu gak pernah kejadian, jadi gak usah di perpanjang lagi" Tutur Rui seraya memalingkan muka untuk melihat Ary yang terdiam tak bergerak.

Lantas ia speechless kala menyadari Ary terlelap karena lelah menangis. Sedikit terheran juga karena yang ia tau, tidak mungkin anak itu tidur secepat ini di jam siang begini.

"Ru—"

"Kalau mau ketemuan lagi besok aja, gue sibuk nanti jadi gak bisa ajak kalian ke apart. Kalian bisa pulang duluan, biar gue anter Ary pulang" Ucapan Rui menyela ucapan Ishaq.

Dengan hati-hati ia membalikkan tubuh Ary agar berada di punggung nya dan ia naikkan agar bisa di gendong dengan nyaman.

Mendengar ucapan Rui barusan kompak membuat ketiganya tersenyum lega. Setidaknya untuk sekarang.

"Apa perlu pulang bareng? Emang gak susah lo megangin dia?" Ishaq bertanya saat melihat Ary yang kini tertidur pulas di gendongan punggung Rui.

'Ni bocah diam-diam ngambil kesempatan anjir'

Jujur, ia sedikit iri. Ia juga ingin tau rasanya di gendong oleh temannya itu.

"Gak perlu, ini udah mulai sore. Kalian pulang aja duluan"

Rui segera beranjak menghampiri motornya dan dengan hati-hati naik di sana. Begitu di rasa aman, ia mengambil jaket di tas ransel nya dan mengikatkan tubuh Ary agar tetap di dekat nya.

Begitu di rasa aman, barulah ia memakai helm dan menyalakan motornya untuk menjauhi wilayah sekolah.

"Besok tungguin di jam istirahat ya! Gue jemput buat ke kantin bareng!"

Rui hanya menyahut dengan sign tangan ketika mendengar teriakan Andara mengudara setelah ia melesat menjauhi area sekolah.

Sementara itu, kedua kutub utara yang sedari tadi menyimak perbincangan mereka mulai merasa bingung. Memangnya siapa keempatnya hingga Rui bisa berbicara santai dengan mereka?

Walau nada bicara yang digunakan sangat dingin dan sarkas. Tapi tidak menutup rasa penasaran mereka yang melihat bagaimana interaksi Rui dan keempatnya. Apalagi perhatian nya yang memilih mengalah menyudahi pertikaian itu.

'Dia seperti sudah terbiasa dengan mereka, memangnya mereka siapa' Sang Wakil Ketua OSIS terlihat menatap tiga orang yang ada di sana kini beranjak menuju halte di luar sekolah menunggu jemputan. Dengan tatapan rumit.

Ada sedikit rasa ketertarikan semenjak ia bertemu dengan Rui. Sayangnya sikapnya yang sebelas dua belas dengan nya membuat ia sedikit kesulitan mencari topik perbincangan saat bersamanya.

'Terlihat akrab dan... Dekat...'

Sang Ketua OSIS juga demikian. Meski di liputi rasa penasaran yang besar ada rasa ketertarikan terhadap Rui saat melihatnya mengerjakan latihan ujian tadi.

Dirinya benar-benar kagum melihat bagaimana ia menyelesaikan semua soal sulit itu hanya dalam waktu dua puluh menit untuk lima puluh soal. Dan jika di bandingkan dengan dirinya, ia kalah jauh.

'Sebenarnya... Dia kelas 11 kan?' Sang Ketua OSIS terlihat menatap bingung ke arah tempat ketiga orang tadi kini menghilang dari pandangan nya.

Ia sedikit tidak yakin jika anak yang di tunjuk mengikuti lomba itu adalah anak tingkat bawahnya. Ada sedikit rasa iri mengingatnya. Hell yeah, anak tingkat rendah nya ada yang mengungguli nya? Benar-benar kejutan tak terduga baginya.

'Dia... Harus menang'

_____________________________
__________________________
_____________________
_____________
________

To be continue....

[Transmigrasi] "Who Am I?"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang