!!! Warning !!!
Follow dulu, sebelum baca.
Setiap bab, klik bintang vote.
Terimakasih 🤍
Warda, seorang anak pemilik pondok pesantren Ar Rahman yang mengabdi menjadi guru PAI. Dari kecil, Warda di bekali ilmu agama dan kesehariannya yang hanya berad...
Jangan lupa mampir di Instagram mereka berdua, yaa 🤍 @m4rtab4k_manies/ HaWa
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Takdir membawa kita pada pertemuan yang tak kita duga. Mungkin saja, di antara jutaan orang, takdirku adalah menjadi bagian dari ceritamu."
~ Hamza Zein Faqih ~
Warning !!! Baca nya pelan-pelan aja, biar sampai ke hati ke jiwa ke raga.
˚˖𓍢ִ໋🌷͙֒✧˚.🎀༘⋆
Suasana ruang makan saat ini terasa hening, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang sesekali beradu dengan piring. Makan siang kali ini lebih tenang dari biasanya. Di ruang makan terdapat lima orang, yaitu Aku, Abah Ahmad, Umma Daiya, Mas Ahkam, dan Haya.
Aku menyantap makananku dengan tenang, sambil melirik sesekali ke arah Haya yang tampak sibuk dengan makanannya sendiri.
Aku mengangkat wajah dan tersenyum tipis. "Gimana apanya, Abah?"
"Gimana kinerja mereka, baik atau bagaimana?" Abah melanjutkan sambil menatapku serius.
Aku meletakkan sendok dan garpu, mengambil napas sejenak. "Kalau menurut Warda mereka bagus juga kinerjanya, malah Warda sempat bingung santriwan lebih manut kalau sama mereka, Abah. Yakan, Haya?" Aku melirik ke arah Haya, berharap dia mendukung perkataanku.
Haya yang sedang menyeruput air putih, mengangguk mantap. "Apalagi kalau udah kelasnya Argha itu, Abah. Uhh langsung kelas diem semua, suer deh. Haya gak bohong," ucapnya dengan semangat, tangannya menggerakkan gelas ke depan seperti menegaskan ucapannya.
Umma yang duduk di sebelah Abah, mengerutkan kening. "Argha, yang mana?" tanyanya penasaran.
"Yang itu loh, Umma. Yang tinggi, putih, badannya kekar, terus yang dingin gak pernah ngomong itu," jawab Haya sambil menggambarkan sosok Argha dengan tangannya di udara.
Mas Ahkam yang duduk di sebelah Haya terkekeh ringan. "Detail banget kamu jelasinnya, Haya," ucapnya sambil menggelengkan kepala.
Haya tersenyum malu-malu, kemudian mendekatkan tangannya ke wajahnya, menutupi sedikit rasa malunya. "Ya jelas dong, orang Haya—" ucapnya tiba-tiba terhenti, sambil memandangku gugup.
"Haya kenapa?" tanya Mas Ahkam, memperhatikan ekspresi Haya yang tiba-tiba berubah. "Suka ya kamu?" lanjutnya dengan nada menggoda.
Wajah Haya langsung memerah. "E-enggak kok Mas," jawabnya tergagap, mencoba menghindar dari tatapan Mas Ahkam.
Mas Ahkam tersenyum lebar, mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Haya. "Halah ngeles aja," katanya sambil menyengir.
Haya menggigit bibirnya, lalu menghela napas panjang. "Yauda, iya." ucapnya akhirnya, sambil sedikit malu-malu, tatapannya tertuju pada piring di depannya.